Pages

Subscribe:

Labels

Monday, 24 February 2014

(Not) Like Father Like Son



Beberapa bulan terakhir ini ibuku mendadak menjadi seperti layaknya selebriti yang sedang naik daun. Pemberitaannya bahkan mengalahkan feature anak-anak muda jebolan kontes idola di televisi. Ekpose berita tentang ibuku juga terlihat lebih berkelas.

Ibuku tidak muncul di infotainmen atau acara gossip lainnya dimana selebriti sering mengumbar berita atau sensasi yang tidak penting dengan pembawa cara yang cengengesan dan centil seperti orang bodoh.. Tetapi justru diprogram berita skala nasional dengan pembawa acara yang terlihat berwibawa dan cerdas. Selain di layar kaca, berita dan foto ibuku juga wara-wiri dihalaman halaman depan media-media cetak terbitan ibukota atau daerah. Layaknya selebriti yang banci tampil dan banci foto, Ibuku tampak menarik dalam liputan media-media tersebut. Sama sekali kontras dengan konteks pemberitaan tentang ibuku.

Memiliki ibu yang tiba-tiba dikenal dari se-Indonesia Raya seharusnya bisa membuat aku bangga. Bila aku mau, setidaknya aku bisa mendompleng kepopuleran ibuku sebagai modal untuk dilirik produser sinetron atau film lokal yang sebagian besar hanya mengandalkan popularitas dan tampang dibanding bakat.

Tetapi tunggu dulu. Sebagai manusia dengan jalan pikiran yang masih normal, tentu saja aku tidak bangga dengan popularitas ibuku. Bagaimana aku bisa bangga? Ibuku sekarang menjadi headline semua berita karena menjadi tersangka kasus korupsi. Menurut sekilas berita yang aku baca, katanya ibuku terlibat korupsi likuiditas sebuah bank. Apa maksudnya, entahlah. Daya pikirku yang lemah membuat aku pusing dan tidak sanggup mencerna istilah-istilah ekonomi, moneter dan hukum yang mendominasi artikel sehubungan dengan  tindak korupsi ibuku. Pokoknya yang aku tau, ibuku sedang populer saat ini. Popularitas yang ajaib karena membuat aku berharap orang-orang tidak tau kalau dia adalah ibuku.
Sore ini aku baru saja sampai dirumah. Diserambi depan tampak ayahku sedang duduk sambil mebaca sebuah harian yang terbit sore. Sekilas aku melihat bagian artikel yang sedang dibaca ayahku. Sebuah artikel pendek yang lagi-lagi memajang foto ibuku.

“Papa mengikuti terus kasus Mama?”, tanyaku sambil duduk disamping ayah. Ayahku menatapku sejenak.
“Memangnya kamu tidak?”.
“Buat apa?”
“Buat apa bagimana? Masa kamu tidak mau tau kasus yang sedang menimpa Mamamu?”
Aku menghela nafas sejenak. “Aku pusing membaca beritanya. Banyak istilah dan kalimat-kaliamt yang tidak aku mengerti”. Mendengar jawaban itu ayahku geleng-geleng kepala.

“Makanya sejak kecil biasakan membaca biar otaknya terbiasa mencerna kalimat-kalimat sederhana sampai kalimat-kalimat yang kompleks”.
Aku hanya mendengus tidak peduli. “Membaca artikel tentang ibu hanya akan membuat aku menjadi benci dan malu sama Mama”.
“Memangnya kamu tidak malu dan benci?”
“Ya tidak”.
“Lho?”
“Lho bagaimana? Memangnya Papa mengharapkan aku malu dan benci sama Mama?”
“Bukan begitu. Tetapi bagaimana dengan reaksi orang-orang? Apakah kamu siap menerimanya?”
“Reaksi orang memang bermacam-macam, Pa. Tetapi aku tidak peduli”.
“Kamu tidak terganggu?”
“Kenapa harus terganggu? Aku selama ini tidak pernah merasa ikut menikmati uang hasil korupsi Mama. Aku memenuhi kebutuhanku sendiri dengan menjadi penulis lepas sejak masih SMA hingga sekarang”
“Tetapi orang-orang khan tidak berpikir seperti itu. Satu orang koruptor, maka seluruh keluarganya juga koruptor”.
“Biarkan saja, Pa. Mukaku sudah badak kok. Aku tidak pernah berkeinginan mengubah mindset orang-orang. Biarkan saja mereka dengan pemikiran mereka. Yang penting kita tidak seperti yang mereka pikirkan”.
Ayahku diam sejenak, kemudian melipat Koran ditangannya dan menatapku serius. Aku kembali melanjutkan.

“Mungkin Mama memang koruptor, tetapi selama ini dia menjalankan peran sebagai Mama yang baik. Sebelum ditahan, Mama tidak pernah lupa menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Juga tidak pernah absen masuk kekamarku sebelum tidur sekedar mengucapkan selamat malam”.

“Bagus kalau kamu punya pemikiran seperti itu”, timpal ayahku singkat. Aku hanya mengangkat bahu. Aku sendiri tidak tau pasti apakah pemikiran seperti ini bagus atau tidak. Setelah hening beberapa saat, aku bertanya kepada ayahku.

“Papa sendiri bagaimana? Apakah Papa malu dengan kelakuan Mama?”
Sebelum menjawab pertanyaanku, ayahku menarik nafas dalam-dalam.
Tadinya Papa malu. Tetapi setelah mendengar perkataanmu barusan Papa jadi sadar bahwa memang kita tidak perlu malu”.
“Kok bisa begitu?”
“Lha iya. Selama ini khan Bi Surti pembantu kita meminta uang belanja setap bulan selalu dari Papa. Kamu juga Papa sekolahkan sejak SD sampai SMA pakai uang dari gaji Papa sebagai guru SMP. Jadi bisa dibilang kita tidak mengandalkan uang Mamamu kok”.
Aku agak surprise dengan ucapan Papa. Benar juga. Selama ini kami memang mengandalkan gaji Papa yang tidak seberapa itu sebagai biaya hidup.

“Jadi gaji Mama dan hasil korupsinya kemana perginya?”, tanyaku serius.
“Mungkin ditabung atau dijadikan investasi didalam dan luar negeri”.
“Kok kita tidak pernah tau soal itu?”
“Sama halnya kita juga tidak tau kalau selama ini Mamamu menjalankan praktek korupsi”, jawab Ayahku singkat.

Aku jadi teringat bagaimana situasi keluarga kami selama ini. Dengan jumlah gaji yang jauh lebih besar dari ayah, ibu sering memandang ayahku sebelah mata. Pendapat ayahku tidak pernah dihargai. Bahkan ibuku sering menyindir profesi dan jumlah gaji ayahku yang katanya hanya cukup untuk memberi makan bebek satu kandang. Untuk hal ini, aku sangat mengagumi kesabaran ayahku. Kalau hal seperti itu diucapkani pada laki-laki lain, mungkin sebuah tamparan keras akan mendarat dipipi ibuku. Tetapi ini tidak, ayahku hanya menanggapi dengan tawa sumbang. Aku masih ingat bagaimana ibuku dulu pernah berbicara pada ayahku.

“Lihat dong, Pak Donny. Dia juga guru seperti Papa. Tetapi dia kok bisa beli mobil sampai tiga buah?”
“Jalan hidup orang khan beda-beda, Ma”. Seperti biasa, ayahku selalu kalem menghadapi ibuku. “Yang penting bagaimana kita mensyukuri apa yang kita punya”.
“Bagaimana mau bersyukur kalau lebih dari sepuluh tahun bekerja, tidak kelihatan hasilnya”.
“Keberhasilan itu kan tidak melulu diukur dengan materi toh, Ma”
“Kata siapa? Kata orang tua zaman dulu? Zaman sudah berubah, Pa. Kalau tidak ada hasil yang bisa kelihatan, kita tidak akan dipandang orang”.
“Memangnya tujuan kita hidup untuk dipandang orang, Ma?”
“Ya iya dong. Mama sih mau melakukan apa saja untuk menjadi orang terpandang. Tidak seperti Papa yang dari dulu jadi orang yang dilecehkan melulu”.
“Papa tidak merasa dilecehkan kok”.
“Papa tidak tau sih. Papa jadi manusia hidupnya terlalu lurus dan jujur”
“Apakah hidup lurus dan jujur itu salah?”
“Justru hidup Papa yang lurus dan terlalu jujur itu yang membuat Papa dilecehkan orang”
“Siapa yang melecehkan?”
“Pokoknya ada deh”

Suara gerutuan dari adikku Anya yang tiba-tiba muncul dihalaman rumah  membuyarkan lamunanku.. Seragam putih abu-abunya kusut, rambutnya acak-acakan dan ada tiga goresan merah dipipi kirinya. Masih dengan wajah cemberut seperti habis marah dia menghempaskan tubuhnya di kursi sebelahku.

“Kamu habis tawuran dengan siapa?”, tanyaku dengan geli melihat penampilannya yang tidak karuan.
“Bukan tawuran, tetapi satu lawan tiga”.
“Sudah satu lawan tiga, tetapi pipimu masih bisa kena cakar?”
“Justru aku melawan tiga orang. Aku dikeroyok, bukan mengeroyok”.
Ayahku meletakkan koran yang ditangannya keatas meja. “Kamu ini, anak perempuan kok suka berkelahi. Kamu mau menjadi anggota Geng Motor?”.
Anya memonyongkan mulutnya beberapa senti. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Bagaimana aku tidak berkelahi, Pa. Teman-temanku mengejek aku sebagai anak koruptor”
“Bukannya kamu memang anak koruptor”, tanyaku iseng sambil menahan ketawa. Papa melotot kearahku.

“Yang koruptor itu kan Mama, kenapa aku yang diejek. Aku kan tidak ikut-ikutan korupsi. Biaya sekolahku kan Papa yang bayar”.
“Jadi hanya karena mereka menyebut Mama koruptor kamu langsung baku hantam”
“Bukan karena itu”
‘Terus?”
“Waktu mereka mengatakan kalau Mama koruptor, aku tidak bermasalah. Kan Mama memang koruptor”.  Aku dan ayahku saling berpandangan, antara geli dan terkejut.

“Yang aku tidak terima itu waktu mereka bilang ‘like mother like daughter’. Anak sama Mama pasti sama saja. Mereka bilang nanti pasti aku akan menjadi koruptor juga. Tentu saja aku langsung marah dan menghajar mereka”.
“Kamu menghajar atau dihajar?”, tanyaku penasaran sambil memperhatikan bekas cakaran dipipinya.
“Pokoknya hajar-hajaran. Pipiku memang berhasil dicakar, tetapi aku juga berhasil meninju mata dan hidung mereka sampai babak belur”.

“Menurutmu apakah itu akan membuat mereka berhenti mengejekmu?”. Papa menatap Anya serius sambil melipat kedua tangan didada. Anya bangkit berdiri.

“Aku tidak peduli. Yang jelas tadi aku sudah menunjukkan kepada mereka bahwa aku tidak terima dituduh sebagai calon koruptor. Mama boleh saja jadi koruptor, tetapi aku tidak akan pernah jadi koruptor. Memangnya anak harus selalu mengikuti apa yang dilakukan orangtuanya? Pemikiran zaman kapan pula itu”.

Dengan kaki dihentak-hentakkan dilantai, Anya berjalan masuk kerumah. Aku dan ayahku nyaris tertawa mendengar penuturan polos Anya. Aku melihat ada raut muka bangga diwajah ayahku mengetahui anak-anaknya bisa mengambil sikap dan pemikiran yang cerdas atas kasus yang menimpa istrinya..

 Kemudian dengan setengah hati aku meraih koran yang tadi diletakkan ayahku di meja depan kami. Aku membuka halaman yang memuat artikel tentang ibuku. Aku tidak membaca artikelnya karena pasti aku tidak akan mengerti. Aku hanya memperhatikan foto artikel itu yang menampilkan ibuku yang duduk sebagai terdakwa dsebuah ruangan pengadilan. Dia tidak terlihat seperti terdakwa, lebih mirip Ibu Menteri atau Ibu Negara dengan dandanan elegan, tatanan rambut rapi dan serelan busana necis. Aku tersenyum.

“Itu salah satu hal yang Papa sangat kagumi dari Mamamu. Tidak peduli dalam situasi dan kondisi apapun, Mamamu selalu berusaha untuk kelihatan cantik dan elegan”, ujar ayahku seperti tau apa yang ada pikiranku.