Beberapa bulan terakhir ini
ibuku mendadak menjadi seperti layaknya selebriti yang sedang naik daun. Pemberitaannya
bahkan mengalahkan feature anak-anak muda jebolan kontes idola di televisi.
Ekpose berita tentang ibuku juga terlihat lebih berkelas.
Ibuku tidak muncul di
infotainmen atau acara gossip lainnya dimana selebriti sering mengumbar berita
atau sensasi yang tidak penting dengan pembawa cara yang cengengesan dan centil
seperti orang bodoh.. Tetapi justru diprogram berita skala nasional dengan
pembawa acara yang terlihat berwibawa dan cerdas. Selain di layar kaca, berita
dan foto ibuku juga wara-wiri dihalaman halaman depan media-media cetak
terbitan ibukota atau daerah. Layaknya selebriti yang banci tampil dan banci
foto, Ibuku tampak menarik dalam liputan media-media tersebut. Sama sekali
kontras dengan konteks pemberitaan tentang ibuku.
Memiliki ibu yang tiba-tiba
dikenal dari se-Indonesia Raya seharusnya bisa membuat aku bangga. Bila aku
mau, setidaknya aku bisa mendompleng kepopuleran ibuku sebagai modal untuk
dilirik produser sinetron atau film lokal yang sebagian besar hanya mengandalkan
popularitas dan tampang dibanding bakat.
Tetapi tunggu dulu. Sebagai
manusia dengan jalan pikiran yang masih normal, tentu saja aku tidak bangga
dengan popularitas ibuku. Bagaimana aku bisa bangga? Ibuku sekarang menjadi headline semua berita karena menjadi
tersangka kasus korupsi. Menurut sekilas berita yang aku baca, katanya ibuku
terlibat korupsi likuiditas sebuah bank. Apa maksudnya, entahlah. Daya pikirku
yang lemah membuat aku pusing dan tidak sanggup mencerna istilah-istilah
ekonomi, moneter dan hukum yang mendominasi artikel sehubungan dengan tindak korupsi ibuku. Pokoknya yang aku tau,
ibuku sedang populer saat ini. Popularitas yang ajaib karena membuat aku berharap
orang-orang tidak tau kalau dia adalah ibuku.
Sore ini aku baru saja
sampai dirumah. Diserambi depan tampak ayahku sedang duduk sambil mebaca sebuah
harian yang terbit sore. Sekilas aku melihat bagian artikel yang sedang dibaca
ayahku. Sebuah artikel pendek yang lagi-lagi memajang foto ibuku.
“Papa mengikuti terus kasus
Mama?”, tanyaku sambil duduk disamping ayah. Ayahku menatapku sejenak.
“Memangnya kamu tidak?”.
“Buat apa?”
“Buat apa bagimana? Masa
kamu tidak mau tau kasus yang sedang menimpa Mamamu?”
Aku menghela nafas sejenak.
“Aku pusing membaca beritanya. Banyak istilah dan kalimat-kaliamt yang tidak
aku mengerti”. Mendengar jawaban itu ayahku geleng-geleng kepala.
“Makanya sejak kecil
biasakan membaca biar otaknya terbiasa mencerna kalimat-kalimat sederhana
sampai kalimat-kalimat yang kompleks”.
Aku hanya mendengus tidak
peduli. “Membaca artikel tentang ibu hanya akan membuat aku menjadi benci dan
malu sama Mama”.
“Memangnya kamu tidak malu
dan benci?”
“Ya tidak”.
“Lho?”
“Lho bagaimana? Memangnya
Papa mengharapkan aku malu dan benci sama Mama?”
“Bukan begitu. Tetapi
bagaimana dengan reaksi orang-orang? Apakah kamu siap menerimanya?”
“Reaksi orang memang
bermacam-macam, Pa. Tetapi aku tidak peduli”.
“Kamu tidak terganggu?”
“Kenapa harus terganggu?
Aku selama ini tidak pernah merasa ikut menikmati uang hasil korupsi Mama. Aku
memenuhi kebutuhanku sendiri dengan menjadi penulis lepas sejak masih SMA
hingga sekarang”
“Tetapi orang-orang khan
tidak berpikir seperti itu. Satu orang koruptor, maka seluruh keluarganya juga
koruptor”.
“Biarkan saja, Pa. Mukaku
sudah badak kok. Aku tidak pernah berkeinginan mengubah mindset orang-orang. Biarkan saja mereka dengan pemikiran mereka.
Yang penting kita tidak seperti yang mereka pikirkan”.
Ayahku diam sejenak,
kemudian melipat Koran ditangannya dan menatapku serius. Aku kembali melanjutkan.
“Mungkin Mama memang
koruptor, tetapi selama ini dia menjalankan peran sebagai Mama yang baik.
Sebelum ditahan, Mama tidak pernah lupa menanyakan apakah aku sudah makan atau
belum. Juga tidak pernah absen masuk kekamarku sebelum tidur sekedar
mengucapkan selamat malam”.
“Bagus kalau kamu punya
pemikiran seperti itu”, timpal ayahku singkat. Aku hanya mengangkat bahu. Aku
sendiri tidak tau pasti apakah pemikiran seperti ini bagus atau tidak. Setelah
hening beberapa saat, aku bertanya kepada ayahku.
“Papa sendiri bagaimana?
Apakah Papa malu dengan kelakuan Mama?”
Sebelum menjawab
pertanyaanku, ayahku menarik nafas dalam-dalam.
“Tadinya Papa malu. Tetapi
setelah mendengar perkataanmu barusan Papa jadi sadar bahwa memang kita tidak
perlu malu”.
“Kok bisa begitu?”
“Lha iya. Selama ini khan
Bi Surti pembantu kita meminta uang belanja setap bulan selalu dari Papa. Kamu
juga Papa sekolahkan sejak SD sampai SMA pakai uang dari gaji Papa sebagai guru
SMP. Jadi bisa dibilang kita tidak mengandalkan uang Mamamu kok”.
Aku agak surprise dengan ucapan Papa. Benar juga.
Selama ini kami memang mengandalkan gaji Papa yang tidak seberapa itu sebagai
biaya hidup.
“Jadi gaji Mama dan hasil
korupsinya kemana perginya?”, tanyaku serius.
“Mungkin ditabung atau dijadikan
investasi didalam dan luar negeri”.
“Kok kita tidak pernah tau
soal itu?”
“Sama halnya kita juga
tidak tau kalau selama ini Mamamu menjalankan praktek korupsi”, jawab Ayahku
singkat.
Aku jadi teringat bagaimana
situasi keluarga kami selama ini. Dengan jumlah gaji yang jauh lebih besar dari
ayah, ibu sering memandang ayahku sebelah mata. Pendapat ayahku tidak pernah
dihargai. Bahkan ibuku sering menyindir profesi dan jumlah gaji ayahku yang
katanya hanya cukup untuk memberi makan bebek satu kandang. Untuk hal ini, aku
sangat mengagumi kesabaran ayahku. Kalau hal seperti itu diucapkani pada laki-laki
lain, mungkin sebuah tamparan keras akan mendarat dipipi ibuku. Tetapi ini
tidak, ayahku hanya menanggapi dengan tawa sumbang. Aku masih ingat bagaimana
ibuku dulu pernah berbicara pada ayahku.
“Lihat dong, Pak Donny. Dia
juga guru seperti Papa. Tetapi dia kok bisa beli mobil sampai tiga buah?”
“Jalan hidup orang khan
beda-beda, Ma”. Seperti biasa, ayahku selalu kalem menghadapi ibuku. “Yang
penting bagaimana kita mensyukuri apa yang kita punya”.
“Bagaimana mau bersyukur
kalau lebih dari sepuluh tahun bekerja, tidak kelihatan hasilnya”.
“Keberhasilan itu kan tidak
melulu diukur dengan materi toh, Ma”
“Kata siapa? Kata orang tua zaman dulu? Zaman sudah
berubah, Pa. Kalau tidak ada hasil yang bisa kelihatan, kita tidak akan
dipandang orang”.
“Memangnya tujuan kita
hidup untuk dipandang orang, Ma?”
“Ya iya dong. Mama sih mau
melakukan apa saja untuk menjadi orang terpandang. Tidak seperti Papa yang dari
dulu jadi orang yang dilecehkan melulu”.
“Papa tidak merasa
dilecehkan kok”.
“Papa tidak tau sih. Papa
jadi manusia hidupnya terlalu lurus dan jujur”
“Apakah hidup lurus dan
jujur itu salah?”
“Justru hidup Papa yang
lurus dan terlalu jujur itu yang membuat Papa dilecehkan orang”
“Siapa yang melecehkan?”
“Pokoknya ada deh”
Suara gerutuan dari adikku
Anya yang tiba-tiba muncul dihalaman rumah membuyarkan lamunanku.. Seragam putih
abu-abunya kusut, rambutnya acak-acakan dan ada tiga goresan merah dipipi
kirinya. Masih dengan wajah cemberut seperti habis marah dia menghempaskan
tubuhnya di kursi
sebelahku.
“Kamu habis tawuran dengan
siapa?”, tanyaku dengan geli melihat penampilannya yang tidak karuan.
“Bukan tawuran, tetapi satu
lawan tiga”.
“Sudah satu lawan tiga,
tetapi pipimu masih bisa kena cakar?”
“Justru aku melawan tiga
orang. Aku dikeroyok, bukan mengeroyok”.
Ayahku meletakkan koran
yang ditangannya keatas meja. “Kamu ini, anak perempuan kok suka berkelahi. Kamu
mau menjadi anggota Geng Motor?”.
Anya memonyongkan mulutnya
beberapa senti. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Bagaimana aku tidak
berkelahi, Pa. Teman-temanku mengejek aku sebagai anak koruptor”
“Bukannya kamu memang anak
koruptor”, tanyaku iseng sambil menahan ketawa. Papa melotot kearahku.
“Yang koruptor itu kan Mama,
kenapa aku yang diejek. Aku kan tidak ikut-ikutan korupsi. Biaya sekolahku kan
Papa yang bayar”.
“Jadi hanya karena mereka
menyebut Mama koruptor kamu langsung baku hantam”
“Bukan karena itu”
‘Terus?”
“Waktu mereka mengatakan
kalau Mama koruptor, aku tidak bermasalah. Kan Mama memang koruptor”. Aku dan ayahku saling berpandangan, antara
geli dan terkejut.
“Yang aku tidak terima itu
waktu mereka bilang ‘like mother like daughter’.
Anak sama Mama pasti sama saja. Mereka bilang nanti pasti aku akan menjadi
koruptor juga. Tentu saja aku langsung marah dan menghajar mereka”.
“Kamu menghajar atau
dihajar?”, tanyaku penasaran sambil memperhatikan bekas cakaran dipipinya.
“Pokoknya hajar-hajaran.
Pipiku memang berhasil dicakar, tetapi aku juga berhasil meninju mata dan hidung mereka sampai
babak belur”.
“Menurutmu apakah itu akan
membuat mereka berhenti mengejekmu?”. Papa menatap Anya serius sambil melipat
kedua tangan didada. Anya
bangkit berdiri.
“Aku tidak peduli. Yang
jelas tadi aku sudah menunjukkan kepada mereka bahwa aku tidak terima dituduh
sebagai calon koruptor. Mama boleh saja jadi koruptor, tetapi aku tidak akan
pernah jadi koruptor. Memangnya anak harus selalu mengikuti apa yang dilakukan
orangtuanya? Pemikiran zaman kapan pula itu”.
Dengan kaki
dihentak-hentakkan dilantai, Anya berjalan masuk kerumah. Aku dan ayahku nyaris
tertawa mendengar penuturan polos Anya. Aku melihat ada raut muka bangga
diwajah ayahku mengetahui anak-anaknya bisa mengambil sikap dan pemikiran yang
cerdas atas kasus yang menimpa istrinya..
Kemudian dengan setengah hati aku meraih koran
yang tadi diletakkan ayahku di meja
depan kami. Aku membuka halaman yang memuat artikel tentang ibuku. Aku tidak
membaca artikelnya karena pasti aku tidak akan mengerti. Aku hanya
memperhatikan foto artikel itu yang menampilkan ibuku yang duduk sebagai
terdakwa dsebuah ruangan pengadilan. Dia tidak terlihat seperti terdakwa, lebih
mirip Ibu Menteri atau Ibu Negara dengan dandanan elegan, tatanan rambut rapi
dan serelan busana necis. Aku tersenyum.
“Itu salah satu hal yang
Papa sangat kagumi dari Mamamu. Tidak peduli dalam situasi dan kondisi apapun,
Mamamu selalu berusaha untuk kelihatan cantik dan elegan”, ujar ayahku seperti
tau apa yang ada pikiranku.