Divo blingsatan ketika nilai
ulangan Fisika dibagikan Pak Yono. Dia melirik kertas ulangan Ega yang duduk
di sebelahnya, angka delapan segede pisang terlukis disitu. Dengan cemberut Divo
mengalihkan pandangannya ke kertas ulangan-nya, ada sebuah lukisan yang dari
segi estetika sebenarnya jauh lebih keren dibanding angka delapan. Tetapi dari
segi martabat, sangat jauh dari harapan. Apa daya, Pak Yono dengan sepenuh hati
menghadiahkan sebuah lukisan masterpiece
di kertas ulangan Divo, lukisan burung elang terbang manuver alias angka tiga. Masih
terngiang pesan Pak Yono saat memberikan kertas ulangannya tadi kepada Divo : “belajar yang bener dong!”.
Divo hanya meringis, sementara
dalam hati sebenarnya dia menjawab “Maksud
loe????”. Habis bagaimana lagi, Divo sudah merasa belajar setengah mati, sudah mempelajari rumus ini
dan itu. Juga sudah menghafal hukum kekekalan energi, bahkan Divo sudah
berpikir untuk menciptakan intonasi dan gerakan tubuh khusus untuk melafalkan
hukum kekekalan energi agar terdengar seperti puisi. Parahnya, hukum kekekalan
energi itu tidak pernah keluar dalam soal ulangan.
“Bagaimana sih caranya agar gue
pintar Fisika”, celutuh Divo kepada Ega saat keduanya sedang duduk di kantin
sekolah pas jam istirahat. Ega menatap wajah Divo dengan serius, kemudian
merinding.
“Heh, loe biasa aja dong”, hardik Divo sewot.
“Habis, pertanyaan loe aneh
banget”
“Aneh gimana?”
“Ya aneh dong. Loe mau pintar
Fisika? Please deh”
“Emang kenapa? Nggak boleh?”
“Bukan begitu maksud gue”
“Terus, maksud loe apa dong?
Menurut loe otak gue enggak bakalan sanggup menguasai pelajaran Fisika?”. Ega terdiam
sejenak, tampak tidak enak untuk berkata jujur kepada sahabatnya itu.
“Gue percaya kok kalo loe bisa
pinter dalam pelajaran Fisika”, guman Ega pelan, terdengar tidak yakin dengan
perkataan-nya sendiri.
“Nah, gitu dong. Sebagai sahabat
gue yang paling semriwing, loe emang musti dukung gue, membesarkan hati gue,
nyuci sepatu gue”.
“Semriwing nenek loe!”, ledek Ega
cepat. “Iya, loe pasti bisa kok. Tapi nanti”. Senyum Divo langsung pudar.
“Nanti kapan maksud loe?”
“Pas lebaran monyet”.
“Sialan!!!”
Divo kembali uring-uringan. Dia
sudah bergabung dengan sebuah kursus Fisika dan sudah merasa belajar ekstra
ketat, seketat rok mini-nya Julia Perez. Hasilnya, nilai ulangan Fisikanya ada
peningkatan, tetapi hanya satu tingkat, dari lukisan elang terbang manuver
menjadi kursi terbalik alias angka empat. Penderitaan Divo semakin bertambah
karena pada saat yang sama nilai ulangan Bahasa Inggris juga dibagikan dan tuinggggggg.....Divo mendapat lukisan
ular naga kelimis alias angka lima. Divo nyaris jantungan karena selama ini
nilai ulangan bahasa Inggrisnya tidak pernah dibawah angka sembilan. Tetapi kini
Divo merasa layak mendapat penghargaan dari MURI karena berhasil memecahkan rekor.
“Eh, kenapa sih tuh muka cemberut
aja”, tegur Lusi - cewek Divo, saat Divo menjemputnya untuk menemani Lusi
berburu kodok di empang untuk tugas praktikum Biologi besok.
“Cemberut gimana? Muka gue udah
seperti ini sejak keluar dari pabriknya”, jawab Divo seenaknya.
“Iya, gue tau muka loe udah
kriminil sejak dulu. Tetapi kayaknya akhir-akhir ini bukan hanya kriminil lagi,
tetapi juga mistis”
“Loe enggak suka sama tampang gue
yang begini? Loe lebih suka sama yang tampang-nya lempeng? Ya udah, loe pacaran
sama tembok”.
Lusi terkikik, dia paling suka
melihat Divo lagi sewot, soalnya kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya
pasti lucu. Kalau Divo lagi normal sih biasanya garing kayak daun pisang yang
udah kering kerontang.
“Eh, jujur deh, sebenernya loe kenapa?”
“Gue lagi kesel!”
“Kesel kenapa?”
“Nilai Fisika gue jeblok melulu,
eh nilai bahasa Inggris gue juga kemaren ikut-ikutan jeblok pula”
“Kok bisa?”
“Gue juga nggak tau”
“Kok enggak tau?”
“Ya emang gue enggak tau. Kalau
gue tau, gue enggak bakal uring-uringan kayak begini”
“Kok begitu?”
“Eh, loe berniat simpati atau
ngajak gue berantem nih?”
“Hihihihi..sorry”, Lusi tertawa
puas. “Emangnya nilai bahasa Inggris loe dapet berapa?”
“Pokoknya dadah babay banget”
“Kok begitu?”. Divo langsung
melotot gede.
“Eh, gue bingung aja gitu lho. Bukannya loe
pinter bahasa Inggris, kok bisa nilai loe jeblok?. Ini kan mengherankan banget.
Kalo nilai Fisika loe yang jeblok sih gue udah maklum, karena gue tau untuk
mata pelajaran berhitung otak loe emang tulalit”.
“Loe menghina gue?”
“Lho, kenyataan memang begitu”
“Iya, tetapi jangan terlalu
frontal gitu dong. Tersinggung nih gue”
“Eh, tetapi gue curious lho...kok bisa tiba-tiba nilai bahasa Inggris loe jeblok”
“Abis gimana, gue selama satu
bulan ini fokus ke Fisika...jadi bahasa Inggris gue agak-agak terlengkabai”
“Terbengkalai!”
“Iya, terlengkabai”
“Terbengkalai, bukan
terlengkabai”
“Iya, itu maksud gue...”
“Coba ngomong ‘terbengkalai’,
udah bisa belum?”
“Terleng.....Ah, udah ah.
Pokoknya itu yang loe bilang tadi”
“Jadi itu pokok masalahnya. Loe
ngorbanin mata pelajaran lain yang loe pintar sejak lahir demi mata pelajaran
yang sebenernya loe udah goblok sejak masih orok?”
“Gue bosan jeblok melulu di
Fisika”
“Nah, loe udah ngorbanin bahasa
Inggris demi Fisika. Apakah sekarang loe jadi jago Fisikanya?”
“Oh, enggak tuh”, jawab Divo
dengan bangga.
“Loe kok bangga?”
“Eh, salah sikap ya gue?”, Divo
garuk-garuk kepala.
“Begini lho, Nyet...”
“’Nyet?’. Maksud loe ‘monyet’?”
“Udah, enggak usah dibahas.
Tetapi begini lho, ada istilah kuno mengatakan bahwa tidak ada seorang
manusiapun yang bisa sempurna disemua hal. Misalnya yang pintar Fisika belum
tentu pintar Seni, begitu juga sebaliknya. Yang jago komputer belum tentu jago
Kimia, begitu juga sebaliknya. Istilahnya, setiap orang itu unik dan punya
kelebihan masing-masing. Kayak yang lagi hangat menjadi perbincangan nih : yang
jago politik belum tentu tau etika. Makanya ada anggota DPR kita yang
bela-belain pengen ke Yunani hanya untuk belajar Etika”.
“Iya kali ya, gue juga pernah
dengar seorang Filosofis berkata : “I
don’t believe there’s anyone who good at anything”.
“Artinya apa tuh?”
“Itu artinya barang yang sudah
dibeli tidak boleh dikembalikan”, jawab Divo kesal yang langsung dijitak Lusi
pakai ember yang dipegangnya.
“Nah, itu maksud gue. Ngapain loe
ngotot pengen kayak orang lain yang belum tentu loe bisa. Apa yang loe bisa,
itu aja yang loe kembangin atau perdalam. Kalo misalnya semua orang jadi dokter, pasiennya siapa
dong? Kalau semua orang jadi arsitek, klien dan design interiornya siapa dong?”
“Hmmmm”, Divo memicingkan matanya
seperti berpikir keras.
“Kalo loe ber-hemmmm gitu gue tau
loe belum ngerti”. Divo nyengir.
“Ibaratnya gini lho, Presiden kan
cuma satu. Kalo semua jadi presiden, rakyatnya siapa? Nah, Presiden juga butuh banyak menteri.
Mentrinya juga bukan hanya dari satu bidang, tetapi ada yg mengurusi masalah
tegnologi, plitik, pertahanan keamanan, tata busana...
“Lho, emang ada ya Menteri Tata
Busana”
“Mudah-mudahan”, jawab Lusi
pendek.
“Oh, gue ngerti sekarang maksud loe.
Itu sebabnya masing-masing orang punya
bakat yang berbeda agar bisa saling membutuhkan. Semua profesi itu sama
pentingnya, nggak ada profesi yang paling penting dari profesi yang lain”.
“Tumben loe cepat ngerti,
biasanya lola”
“Apa tuh ‘lola’?”
“Loading-nya lamaaaaaaa.....”
“Hehehe, kalau begitu, cium dulu
dong”, ujar Divo sambil menyodorkan bibirnya.
“Cium tuh ember!!!”