Pages

Subscribe:

Labels

Monday, 24 February 2014

Presiden Cuma Satu Orang



Divo blingsatan ketika nilai ulangan Fisika dibagikan Pak Yono. Dia melirik kertas ulangan Ega yang duduk di sebelahnya, angka delapan segede pisang terlukis disitu. Dengan cemberut Divo mengalihkan pandangannya ke kertas ulangan-nya, ada sebuah lukisan yang dari segi estetika sebenarnya jauh lebih keren dibanding angka delapan. Tetapi dari segi martabat, sangat jauh dari harapan. Apa daya, Pak Yono dengan sepenuh hati menghadiahkan sebuah lukisan masterpiece di kertas ulangan Divo, lukisan burung elang terbang manuver alias angka tiga. Masih terngiang pesan Pak Yono saat memberikan kertas ulangannya tadi kepada Divo : “belajar yang bener dong!”.  

Divo hanya meringis, sementara dalam hati sebenarnya dia menjawab “Maksud loe????”. Habis bagaimana lagi, Divo sudah merasa belajar  setengah mati, sudah mempelajari rumus ini dan itu. Juga sudah menghafal hukum kekekalan energi, bahkan Divo sudah berpikir untuk menciptakan intonasi dan gerakan tubuh khusus untuk melafalkan hukum kekekalan energi agar terdengar seperti puisi. Parahnya, hukum kekekalan energi itu tidak pernah keluar dalam soal ulangan.

“Bagaimana sih caranya agar gue pintar Fisika”, celutuh Divo kepada Ega saat keduanya sedang duduk di kantin sekolah pas jam istirahat. Ega menatap wajah Divo dengan serius, kemudian merinding.
“Heh,  loe biasa aja dong”, hardik Divo sewot.
“Habis, pertanyaan loe aneh banget”
“Aneh gimana?”
“Ya aneh dong. Loe mau pintar Fisika? Please deh”
“Emang kenapa? Nggak boleh?”
“Bukan begitu maksud gue”
“Terus, maksud loe apa dong? Menurut loe otak gue enggak bakalan sanggup menguasai pelajaran Fisika?”. Ega terdiam sejenak, tampak tidak enak untuk berkata jujur kepada sahabatnya itu.

“Gue percaya kok kalo loe bisa pinter dalam pelajaran Fisika”, guman Ega pelan, terdengar tidak yakin dengan perkataan-nya sendiri.
“Nah, gitu dong. Sebagai sahabat gue yang paling semriwing, loe emang musti dukung gue, membesarkan hati gue, nyuci sepatu gue”.
“Semriwing nenek loe!”, ledek Ega cepat. “Iya, loe pasti bisa kok. Tapi nanti”. Senyum Divo langsung pudar.
“Nanti kapan maksud loe?”
“Pas lebaran monyet”.
“Sialan!!!”

Divo kembali uring-uringan. Dia sudah bergabung dengan sebuah kursus Fisika dan sudah merasa belajar ekstra ketat, seketat rok mini-nya Julia Perez. Hasilnya, nilai ulangan Fisikanya ada peningkatan, tetapi hanya satu tingkat, dari lukisan elang terbang manuver menjadi kursi terbalik alias angka empat. Penderitaan Divo semakin bertambah karena pada saat yang sama nilai ulangan Bahasa Inggris juga dibagikan dan tuinggggggg.....Divo mendapat lukisan ular naga kelimis alias angka lima. Divo nyaris jantungan karena selama ini nilai ulangan bahasa Inggrisnya tidak pernah dibawah angka sembilan. Tetapi kini Divo merasa layak mendapat penghargaan dari MURI karena berhasil memecahkan rekor.

“Eh, kenapa sih tuh muka cemberut aja”, tegur Lusi - cewek Divo, saat Divo menjemputnya untuk menemani Lusi berburu kodok di empang untuk tugas praktikum Biologi besok.
“Cemberut gimana? Muka gue udah seperti ini sejak keluar dari pabriknya”, jawab Divo seenaknya.
“Iya, gue tau muka loe udah kriminil sejak dulu. Tetapi kayaknya akhir-akhir ini bukan hanya kriminil lagi, tetapi juga mistis”
“Loe enggak suka sama tampang gue yang begini? Loe lebih suka sama yang tampang-nya lempeng? Ya udah, loe pacaran sama tembok”.
Lusi terkikik, dia paling suka melihat Divo lagi sewot, soalnya kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya pasti lucu. Kalau Divo lagi normal sih biasanya garing kayak daun pisang yang udah kering kerontang.

“Eh, jujur deh, sebenernya loe kenapa?”
“Gue lagi kesel!”
“Kesel kenapa?”
“Nilai Fisika gue jeblok melulu, eh nilai bahasa Inggris gue juga kemaren ikut-ikutan jeblok pula”
“Kok bisa?”
“Gue juga nggak tau”
“Kok enggak tau?”
“Ya emang gue enggak tau. Kalau gue tau, gue enggak bakal uring-uringan kayak begini”
“Kok begitu?”
“Eh, loe berniat simpati atau ngajak gue berantem nih?”
“Hihihihi..sorry”, Lusi tertawa puas. “Emangnya nilai bahasa Inggris loe dapet berapa?”
“Pokoknya dadah babay banget”
“Kok begitu?”. Divo langsung melotot gede.
 “Eh, gue bingung aja gitu lho. Bukannya loe pinter bahasa Inggris, kok bisa nilai loe jeblok?. Ini kan mengherankan banget. Kalo nilai Fisika loe yang jeblok sih gue udah maklum, karena gue tau untuk mata pelajaran berhitung otak loe emang tulalit”.
“Loe menghina gue?”
“Lho, kenyataan memang begitu”
“Iya, tetapi jangan terlalu frontal gitu dong. Tersinggung nih gue”

 “Eh, tetapi gue curious lho...kok bisa tiba-tiba nilai bahasa Inggris loe jeblok”
“Abis gimana, gue selama satu bulan ini fokus ke Fisika...jadi bahasa Inggris gue agak-agak terlengkabai”
“Terbengkalai!”
“Iya, terlengkabai”
“Terbengkalai, bukan terlengkabai”
“Iya, itu maksud gue...”
“Coba ngomong ‘terbengkalai’, udah bisa belum?”
“Terleng.....Ah, udah ah. Pokoknya itu yang loe bilang tadi”
“Jadi itu pokok masalahnya. Loe ngorbanin mata pelajaran lain yang loe pintar sejak lahir demi mata pelajaran yang sebenernya loe udah goblok sejak masih orok?”
“Gue bosan jeblok melulu di Fisika”
“Nah, loe udah ngorbanin bahasa Inggris demi Fisika. Apakah sekarang loe jadi jago Fisikanya?”
“Oh, enggak tuh”, jawab Divo dengan bangga.
“Loe kok bangga?”
“Eh, salah sikap ya gue?”, Divo garuk-garuk kepala.

“Begini lho, Nyet...”
“’Nyet?’.  Maksud loe ‘monyet’?”
“Udah, enggak usah dibahas. Tetapi begini lho, ada istilah kuno mengatakan bahwa tidak ada seorang manusiapun yang bisa sempurna disemua hal. Misalnya yang pintar Fisika belum tentu pintar Seni, begitu juga sebaliknya. Yang jago komputer belum tentu jago Kimia, begitu juga sebaliknya. Istilahnya, setiap orang itu unik dan punya kelebihan masing-masing. Kayak yang lagi hangat menjadi perbincangan nih : yang jago politik belum tentu tau etika. Makanya ada anggota DPR kita yang bela-belain pengen ke Yunani hanya untuk belajar Etika”.
“Iya kali ya, gue juga pernah dengar seorang Filosofis berkata : “I don’t believe there’s anyone who good at anything”.
“Artinya apa tuh?”
“Itu artinya barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan”, jawab Divo kesal yang langsung dijitak Lusi pakai ember yang dipegangnya.

“Nah, itu maksud gue. Ngapain loe ngotot pengen kayak orang lain yang belum tentu loe bisa. Apa yang loe bisa, itu aja yang loe kembangin atau perdalam. Kalo misalnya  semua orang jadi dokter, pasiennya siapa dong? Kalau semua orang jadi arsitek, klien dan design interiornya siapa dong?”
“Hmmmm”, Divo memicingkan matanya seperti berpikir keras.
“Kalo loe ber-hemmmm gitu gue tau loe belum ngerti”. Divo nyengir.
“Ibaratnya gini lho, Presiden kan cuma satu. Kalo semua jadi presiden, rakyatnya siapa?  Nah, Presiden juga butuh banyak menteri. Mentrinya juga bukan hanya dari satu bidang, tetapi ada yg mengurusi masalah tegnologi, plitik, pertahanan keamanan, tata busana...
“Lho, emang ada ya Menteri Tata Busana”
“Mudah-mudahan”, jawab Lusi pendek.

“Oh, gue ngerti sekarang maksud loe. Itu sebabnya masing-masing orang  punya bakat yang berbeda agar bisa saling membutuhkan. Semua profesi itu sama pentingnya, nggak ada profesi yang paling penting dari profesi yang lain”.
“Tumben loe cepat ngerti, biasanya lola”
“Apa tuh ‘lola’?”
Loading-nya lamaaaaaaa.....”
“Hehehe, kalau begitu, cium dulu dong”, ujar Divo sambil menyodorkan bibirnya.
“Cium tuh ember!!!”