Dion dan Doni
adalah saudara kembar. Meski mereka saudara kembar tetapi mereka memiliki watak
yang berbeda. Dion anaknya sabar, sementara Doni selalu ingin menang sendiri.
Sebagai anak kembar, Papa dan Mama selalu membelikan barang yang sama untuk
mereka.
Pada hari Minggu
yang cerah, Papa dan Mama mengajak si kembar jalan-jalan ke sebuah toko mainan.
Dion menginginkan sebuah robot yang dipajang di etalase. Ketika Papa hendak membelikannya untuk Dion dan Doni, ternyata
harganya cukup mahal. Uang Papa tidak cukup untuk membeli dua mainan seperti
biasa karena harganya mahal. Papa mencoba memberi pengertian kepada si kembar
supaya mereka sabar menunggu uang Papa cukup untuk membeli dua robot bulan
depan. Seperti biasa, Dion mengangguk setuju tetapi Doni mulai cemberut dan
menangis.
”Papa beli saja untuk
Doni duluan, untuk Dion biar bulan depan saja”, ujar Dion penuh pengertian.
Akhirnya Papa membeli robot itu untuk Doni. Sepanjang perjalanan pulang, Doni
terus tersenyum sambil menimang-nimang robotnya. Dion ikut tersenyum melihat
saudara kembarnya yang gembira.
Bulan berikutnya, sesuai
janjinya Papa dan Mama kembali membawa si kembar untuk membeli robot untuk
Dion. Didalam toko mainan, ternyata ada mainan baru berbentuk mobil-mobilan
yang lebih menarik minat Dion.
”Papa, boleh nggak
aku minta mobil-mobilan saja?”, tanya Dion dengan sopan. Tentu saja Papa setuju
karena harga mobil-mobilan itu lebih murah dari harga robot. Akhirnya Papa membelikan
mobil-mobilan itu untuk Dion. Ternyata Doni juga berminat dengan mobil-mobilan
seperti yang diminta Dion. Papa mencoba memberi pengertian kepada Doni bahwa dia
sudah mendapat mainan robot bulan lalu, dan sekarang giliran Dion yang
dibelikan mainan. Doni mengangguk, tetapi wajahnya tetap cemberut. Sepanjang
perjalanan pulang, Dion menimang-nimang mobil-mobilannya, dia sesekali melirik
Doni yang masih saja cemberut. Hatinya menjadi sedih.
Sampai dirumah,
Doni mulai berulah. Dia berteriak kepada Papa dan Mama bahwa dia juga ingin
memiliki mobil-mobilan seperti milik Dion.
”Papa dan Mama
tidak adil, kenapa hanya Dion yang dibelikan mobil-mobilan?”, seru Doni dengan
kesal.
”Lho, bulan lalu
Papa sudah membelikan kamu robot yang harganya lebih mahal karena kamu tidak
sabar menunggu sampai Papa punya cukup uang untuk membeli untuk kalian berdua”,
Papa mencoba menjelaskan. ”Sekarang giliran Dion yang dibelikan mainan”.
”Tetapi bulan lalu
aku dibelikan robot, bukan mobil-mobilan seperti Dion”.
”Seandainya kamu
sabar menunggu dan tidak memaksa membelikan robot itu bulan
lalu, pasti sekarang Papa punya uang yang
cukup untuk membeli dua mobil-mobilan untuk kalian”, Papa mulai jengkel dengan
kelakuan buruk Doni yang selalu saja keras kepala dan mau menang sendiri.
Merasa
keinginannya tidak dipenuhi, Doni mulai menangis sambil berguling-guling
dilantai. Melihat itu Dion menjadi sedih, seandainya dia tadi tidak minta
dibelikan mobil-mobilan, mungkin Doni tidak akan cemburu.
Sore harinya Doni
terbangun. Tadi dia menangis diatas tempat tidur sampai akhirnya jatuh
tertidur. Matanya tertuju pada sebuah benda yang tergeletak disampingnya,
mobil-mobilan milik Dion. Doni kembali menangis karena merasa Dion sedang
mengolok-oloknya dengan cara meletakkan mobil-mobilan miliknya didekatnya agar
Doni semakin cemburu. Dengan kesal Doni meraih mobil-mobilan itu dan
melemparnya kearah dinding. BRAK!!! Mobil-mobilan itu membentur dinding dengan
keras dan kemudian jatuh kelantai. Salah satu rodanya copot dan menggelinding
kebawah tempat tidur. Beberapa bagian bahkan terlihat penyok dan pecah. Pintu
kamar tiba-tiba terbuka, Dion menyembul dari balik pintu dengan wajah ramah.
”Kamu sudah bangun?
Main mobil-mobilan yuk”, ajak Dion sambil mengacungkan mobil-mobilan
ditangannya. Doni melihat Dion masih memegang mobil-mobilan miliknya. Jadi
mobil-mobilan yang tadi dia banting ke tembok itu milik siapa?
”Tadi waktu kamu
tidur, Papa akhirnya membelikan mobil-mobilan yang sama dengan milikku untuk
kamu. Papa membelinya pakai uang tabunganku lho, tetapi aku nggak keberatan
kok”, sambung Dion lagi sambil tersenyum. ”Aku kan tidak ingin kamu sedih
karena tidak punya mainan yang sama dengan punyaku”.
Doni semakin
menangis sekeras-kerasnya sambil memandangi mobil-mobilan yang ternyata adalah
miliknya sudah hancur berantakan dilantai. Kali ini tangisnya bukan karena
marah, tetapi karena menyesal. Seandainya saja dia tadi tidak langsung berprasangka
buruk tentang Dion, pasti mobil-mobilan itu akan baik-baik saja. Dion memandang mobil-mobilan milik Doni yang
sudah berbentuk rongsokan itu dilantai.
“Lho, kok mobil-mobilannya jadi begini?”,
tanya Dion kebingungan.
“Huaaaaa.....”, Dion
menangis semakin keras.