Pages

Subscribe:

Labels

Monday 24 February 2014

Si Kembar Yang Berbeda



Dion dan Doni adalah saudara kembar. Meski mereka saudara kembar tetapi mereka memiliki watak yang berbeda. Dion anaknya sabar, sementara Doni selalu ingin menang sendiri. Sebagai anak kembar, Papa dan Mama selalu membelikan barang yang sama untuk mereka.

Pada hari Minggu yang cerah, Papa dan Mama mengajak si kembar jalan-jalan ke sebuah toko mainan. Dion menginginkan sebuah robot yang dipajang di etalase. Ketika Papa hendak membelikannya untuk Dion dan Doni, ternyata harganya cukup mahal. Uang Papa tidak cukup untuk membeli dua mainan seperti biasa karena harganya mahal. Papa mencoba memberi pengertian kepada si kembar supaya mereka sabar menunggu uang Papa cukup untuk membeli dua robot bulan depan. Seperti biasa, Dion mengangguk setuju tetapi Doni mulai cemberut dan menangis.

”Papa beli saja untuk Doni duluan, untuk Dion biar bulan depan saja”, ujar Dion penuh pengertian. Akhirnya Papa membeli robot itu untuk Doni. Sepanjang perjalanan pulang, Doni terus tersenyum sambil menimang-nimang robotnya. Dion ikut tersenyum melihat saudara kembarnya yang gembira.

Bulan berikutnya, sesuai janjinya Papa dan Mama kembali membawa si kembar untuk membeli robot untuk Dion. Didalam toko mainan, ternyata ada mainan baru berbentuk mobil-mobilan yang lebih menarik minat Dion.

”Papa, boleh nggak aku minta mobil-mobilan saja?”, tanya Dion dengan sopan. Tentu saja Papa setuju karena harga mobil-mobilan itu lebih murah dari harga robot. Akhirnya Papa membelikan mobil-mobilan itu untuk Dion. Ternyata Doni juga berminat dengan mobil-mobilan seperti yang diminta Dion. Papa mencoba memberi pengertian kepada Doni bahwa dia sudah mendapat mainan robot bulan lalu, dan sekarang giliran Dion yang dibelikan mainan. Doni mengangguk, tetapi wajahnya tetap cemberut. Sepanjang perjalanan pulang, Dion menimang-nimang mobil-mobilannya, dia sesekali melirik Doni yang masih saja cemberut. Hatinya menjadi sedih.

Sampai dirumah, Doni mulai berulah. Dia berteriak kepada Papa dan Mama bahwa dia juga ingin memiliki mobil-mobilan seperti milik Dion.
           
”Papa dan Mama tidak adil, kenapa hanya Dion yang dibelikan mobil-mobilan?”, seru Doni dengan kesal.
”Lho, bulan lalu Papa sudah membelikan kamu robot yang harganya lebih mahal karena kamu tidak sabar menunggu sampai Papa punya cukup uang untuk membeli untuk kalian berdua”, Papa mencoba menjelaskan. ”Sekarang giliran Dion yang dibelikan mainan”.
”Tetapi bulan lalu aku dibelikan robot, bukan mobil-mobilan seperti Dion”.
”Seandainya kamu sabar menunggu dan tidak memaksa membelikan robot itu bulan
 lalu, pasti sekarang Papa punya uang yang cukup untuk membeli dua mobil-mobilan untuk kalian”, Papa mulai jengkel dengan kelakuan buruk Doni yang selalu saja keras kepala dan mau menang sendiri.
Merasa keinginannya tidak dipenuhi, Doni mulai menangis sambil berguling-guling dilantai. Melihat itu Dion menjadi sedih, seandainya dia tadi tidak minta dibelikan mobil-mobilan, mungkin Doni tidak akan cemburu.

Sore harinya Doni terbangun. Tadi dia menangis diatas tempat tidur sampai akhirnya jatuh tertidur. Matanya tertuju pada sebuah benda yang tergeletak disampingnya, mobil-mobilan milik Dion. Doni kembali menangis karena merasa Dion sedang mengolok-oloknya dengan cara meletakkan mobil-mobilan miliknya didekatnya agar Doni semakin cemburu. Dengan kesal Doni meraih mobil-mobilan itu dan melemparnya kearah dinding. BRAK!!! Mobil-mobilan itu membentur dinding dengan keras dan kemudian jatuh kelantai. Salah satu rodanya copot dan menggelinding kebawah tempat tidur. Beberapa bagian bahkan terlihat penyok dan pecah. Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Dion menyembul dari balik pintu dengan wajah ramah.    

”Kamu sudah bangun? Main mobil-mobilan yuk”, ajak Dion sambil mengacungkan mobil-mobilan ditangannya. Doni melihat Dion masih memegang mobil-mobilan miliknya. Jadi mobil-mobilan yang tadi dia banting ke tembok itu milik siapa?

”Tadi waktu kamu tidur, Papa akhirnya membelikan mobil-mobilan yang sama dengan milikku untuk kamu. Papa membelinya pakai uang tabunganku lho, tetapi aku nggak keberatan kok”, sambung Dion lagi sambil tersenyum. ”Aku kan tidak ingin kamu sedih karena tidak punya mainan yang sama dengan punyaku”.
Doni semakin menangis sekeras-kerasnya sambil memandangi mobil-mobilan yang ternyata adalah miliknya sudah hancur berantakan dilantai. Kali ini tangisnya bukan karena marah, tetapi karena menyesal. Seandainya saja dia tadi tidak langsung berprasangka buruk tentang Dion, pasti mobil-mobilan itu akan baik-baik saja. Dion memandang mobil-mobilan milik Doni yang sudah berbentuk rongsokan itu dilantai.

 “Lho, kok mobil-mobilannya jadi begini?”, tanya Dion kebingungan.
“Huaaaaa.....”, Dion menangis semakin keras.