Aku menatap anak laki-laki
bertubuh sedikit lebih besar dari aku itu dengan pandangan bingung campur
ngeri. Dia berdiri tepat didepanku dengan tujuan untuk menghalangi jalanku. Aku
pikir dia akan merampok es krim milikku. Meskipun aku pesimis aku akan kalah
kalau memaksa duel dengan ‘beruang madu’ ini, tetapi aku menolak untuk
menunjukkan ketakutanku.
“Kalau kamu mau mengambil es krim
ini, kamu harus melangkahi mayatku dulu”, ujarku sambil menggenggam erat es
krim ditanganku. Anak itu tampak sedikit terkejut mendengar ucapanku, dia tidak
tau kalau kalimat itu adalah kalimat yang sering aku dengar di film-film yang
banyak adegan berkelahinya. Sudah lama aku ingin mengucapkan kalimat itu pada
saat yang tepat dan aku baru saja mengucapkannya. Aku merasa hebat sekali.
“Aku tidak berminat dengan es
krim-mu itu”, jawabnya dingin. Aku menatap kedua sandal jepit di kedua kakiku.
“Kalau begitu kamu mau mengambil
sandalku?”. Dia mencibir.
“Bah, aku lebih baik mati
daripada mendapatkan sandal jepit butut
seperti itu”. Aku tersinggung mendengarnya, enak saja dia menghina sandal jepit
pemberian nenekku.
“Kalau begitu enyahlah dari
depanku, kamu menghalangi jalanku”, seruku jengkel.
“Dengar ya, kalau kamu tidak
berpuasa maka kamu harus menghormati orang lain yang berpuasa”, ujar anak itu
sambil matanya tidak lepas menatap wajahku dan es krim ditanganku secara
bergantian.
“Aku kan hanya membeli es krim,
aku tidak memakannya di depan orang yang berpuasa. Aku nanti akan memakannya
setelah sampai dirumah”, aku membela diri.
“Iya, tetapi caramu memegang es
krim itu terlalu mencolok. Kamu kan bisa membungkusnya agar tidak kelihatan”.
“Bagaimana caranya aku membungkus
es krim?”, aku balik bertanya. Dia tampak berpikir sejenak, kemudian
garuk-garuk kepala. Aku curiga dia memelihara selusin kutu diatas kepalanya
itu.
“Itu kan es krim milikmu, kamu
pikirkan sendiri dong bagaimana cara membungkusnya”, ujarnya dengan
malas-malasan. Kami saling menatap
sejenak, seperti sedang peran, siapa yang tahan tidak berkedip. Dari kejauhan
pasti kami terlihat seperti ayam aduan yang sedang mencoba mengatur nafas
ditengah-tengah perkelahian. Tiba-tiba bunyi bedug dan suara azan memecah
konsentrasi kami. Aku berhasil mengalahkannya karena dia yang berkedip duluan.
“Sudah waktunya buka puasa”,
serunya girang, tetapi matanya tidak lepas dari es krim ditanganku. Aku pernah
mendengar cerita ayahku kalau saatnya berbuka puasa maka orang-orang yang
berpuasa sebaiknya segera membatalkan puasanya. Sepertinya anak ini tidak punya
apa-apa untuk membatalkan puasanya selain tubuh besarnya itu.
“Kamu mau es krim-ku?”, tanyaku.
Dia menatapku ragu, antara mau dan malu. Aku mengulurkan es krim-ku kepadanya
yang langsung disambarnya dan setelah menggumankan sebuah doa pendek dalam
bahasa yang tidak aku mengerti, dia menikmati es krim-ku dengan sepenuh hati.
Setelah menikmati hampir setengah
dari es krim itu, dia menoleh kepadaku.
“Aduhhhh maaf, aku tidak sopan.
Seharusnya es krim ini kita bagi dua”, ujarnya dengan nada menyesal. “Sekarang
giliranmu”. Dia mengulurkan es krim yang sudah dijilati itu ke depan wajahku.
Eughhhh...amit-amit, aku memang sedikit menginginkan es krim itu, tetapi aku
tidak mau satu lidah dengan dia.
“Ah, tidak. Buat kamu saja”,
tolakku halus sambil berusaha tersenyum. Setelah menghabiskan semua es krim
itu, dia kembali mengucapkan doa pendek dalam bahasa yang masih asing
ditelingaku itu.
“Sebenernya aku tidak begitu suka
makan es krim, tetapi akan sangat tidak sopan kalau aku menolak tawaranmu
tadi”, ujarnya kemudian dengan wajah puas. Aku melotot. Tawaranku? Sebenarnya
tadi aku hanya bertanya, bukan menawarkan. Dan beraninya dia berkata seperti
itu setelah menghabiskannya.
“Tau nggak, ibuku hari ini
memasak kolak pisang untuk berbuka puasa. Kamu mau ikut ke rumahku?”, tanya
anak itu penuh harap.
“Ah, tidak usah. Aku kan tidak
berpuasa”, jawabku demi sebuah gengsi, padahal aku tentu saja sangat ingin
menikmati suguhan kolak pisang.
“Kau akan sangat menyesal kalau
tidak mencicipi kolak pisang buatan ibuku”, desaknya lagi. Aku diam saja.
“Tidak sopan lho kalau kamu
menolak tawaran baik orang lain”, ujarnya lagi setelah melihat reaksiku. Aku
menyukai kalimatnya barusan, karena itu membuat aku seperti terpaksa harus
mengikuti ajakannya.
“Baiklah kalau kamu memaksa”,
jawabku dengan sumringah.
“Aku tidak memaksa”, ledeknya.
“Kamu mau mengajakku kerumahmu
atau tidak?”. Melihat aku cemberut, dia tertawa.
“Namaku Mohammad Ramdhan, tetapi
panggil saja aku Ramdhan”. Dia mengulurkan tangannya. Aku membalas uluran
tangannya.
“Timoteus. Tetapi aku biasa
dipanggil Timmy”.
“Baiklah Timmy, ayo kita balapan
ke rumahku. Siapa yang kalah, maka kalau sudah besar dia akan menikah dengan
Kingkong”, seru Ramdhan sambil mulai berlari. Aku langsung mengejarnya.
“Tetapi aku belum tau dimana
rumahmu”, balasku sambil berusaha menjejeri langkah kakinya yang cepat.
“Itu sebabnya kamu harus berada
dibelakangku agar kamu bisa mengikutiku”, Ramdhan tertawa jahil.
“Curang!!! Aku tidak mau menikah
dengan Kingkong”.
Aku menatap malu-malu sepiring
kolak pisang dihadapanku. Kalau saja aku tidak tau malu, aku pasti sudah
melahapnya begitu ibu Ramdhan menghidangkannya didepanku.
“Ayo Timmy, kolaknya dimakan”,
ujar ibu Ramdhan lembut, dan aku tidak lagi menunggu disuruh untuk yang kedua
kalinya. Kolak pisang buatan ibu Ramdhan ini memang enak sekali.
“Makannya yang banyak, Nak
Timmy...biar badannya besar seperti Ramdhan”, kata bapak Ramdhan yang duduk
disebelah Ramdhan. Aku hanya tersipu.
“Tau nggak, Pak. Tadi aku berbuka
puasa pake es krim”, lapor Ramdhan dengan bangganya. Huh, laporan yang tidak
penting.
“Es krim? Darimana kamu dapat es
krim?”, tanya ibu Ramdhan.
“Dari Timmy dong”, jawab Ramdhan
sambil mengedipkan matanya kepadaku. “Padahal es krim-nya hanya ada satu”.
“Lho, trus Timmy enggak dapat es
krim dong?”, bapak Ramdhan menatap bingung. Aku tersenyum malu.
“Nggak apa-apa, Pak. Saya kan
masih bisa beli es krim kapan-kapan. Ramdhan kan tadi harus segera berbuka
puasa karena saya tau bahwa berbuka puasa sebaiknya tidak ditunda”. Bapak dan ibu Ramdhan saling berpandangan.
“Timmy kok bisa tau seperti
itu?”.
“Bapak saya sering cerita,
Pak...mulai dari mengenai ngabuburit, perbedaan sunah dan wajib dan lain-lain.
Menurut bapak saya, meskipun agama kita
berbeda tetapi tidak ada salahnya mempelajari hal-hal yang baik dari
agama lain biar wawasannya kita luas dan kita semakin melihat perbedaan sebagai
sesuatu yang indah”.
“Subahana Allah....”, guman ibu dan bapak Ramdhan bersamaan sambil
tersenyum.
“Pak, nanti kalau hari Natal aku
bisa main-main kerumah Timmy nggak?”, tanya Timmy tiba-tiba. Piringnya sudah
kosong dan sepertinya dia belum akan berhenti mengunyah.
“Memangnya kamu mau ngapain
di rumah Timmy?”
“Aku suka banget melihat pohon
Natal. Lampu-lampunya yang berkedip-kedip itu keren”.
“Boleh saja kalau Timmy
mengizinkanmu datang kerumahnya”. Ramdhan mengarahkan padangannya kearahku.
“Boleh nggak, Tim?”
“Boleh saja, asal kamu mau
membantuku menghias pohon Natal-nya. Badanku kurang tinggi untuk meletakkan
hiasan bintang dipuncak pohon Natal dirumahku”.
“Ya ampun, kamu juga mengizinkan
aku ikut menghias pohon Natalmu?”. Mata Ramdhan berbinar-binar bahagia. Aku
mengangguk mantap karena aku memang payah kalau menghias pohon Natal sendirian.
Bapak dan ibu Ramdhan hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli
melihat tingkah anaknya.
Hari sudah menunjukkan jam 2
siang dan aku sudah lapar sekali. Tetapi aku bimbang karena saat ini Ramdhan
sedang berada dirumahku. Aku tidak ingin melakukan sesuatu yang bisa membuat
dia batal puasa. Kami sedang bertanding catur saat itu dan rupanya Ramdhan bisa
menangkap gerak-gerikku yang mencurigakan.
“Ini sudah siang lho, kok kamu
belum makan?”, tanya Ramdhan sambil matanya tetap konsentrasi memandangi papan
catur didepannya. Dia sudah kehilangan dua kuda dan satu menteri.
Aku menatapnya ragu. Aduh,
bagaimana ya?
“Sebentar lagi”, jawabku kemudian karena
merasa tidak enak.
“Eh, jangan begitu. Kamu harus
makan dong. Jangan gara-gara aku ada disini sehingga kamu jadi tidak bisa
makan”.
“Tetapi kalau aku makan nanti
kamu jadi tergiur, puasa kamu bisa batal”. Ramdhan tersenyum penuh pengertian.
“Kata ayahku, godaan yang
sebenarnya itu justru berasal dari diri sendiri”.
“Maksudnya?”
“Begini lho. Meskipun kamu nggak
makan didepanku, tetapi kalau pikiranku jorok atau memikirkan makanan tetap
saja puasaku akan batal. Sebaliknya, meskipun kamu makan sate, puding,
tiramisu, jerami...”
“Eh, aku nggak makan jerami”,
protesku cepat.
“Ini cuma misalnya saja. Jadi meskipun
kamu makan dihadapanku, kalau memang aku berniat puasa dari dalam hati, pasti
aku tidak akan tergoda”. Aku melongo antara mengerti dan tidak.
“Tetapi kalau aku makan
didepanmu, itu artinya aku tidak menghormati kamu yang sedang berpuasa”. Ramdhan
menggeleng.
“Kata ibuku, kita tidak bisa
meminta atau memaksa orang lain untuk menghormati kita. Rasa hormat kepada atau
dari orang lain itu datang secara alami. Kalau tingkah laku dan ucapan kita
selama ini baik dan patut dihormati, orang akan menghormati kita tanpa diminta
atau dipaksa”.
“Dalam berpuasa juga begitu?”
“Ya, iya dong”
“Oh, begitu ya.”
“Ya begitu”
Aku tersenyum penuh syukur karena
seperti baru mendapat pelajaran hidup yang sangat bermakna.
“Kalau begitu aku makan dulu ya”
“Silahkan, paduka”, goda Ramdhan.
Aku meringis geli disebut paduka.
“Tetapi aku sebaiknya makan
didapur saja ya”. Ramdhan tampak berpikir sejenak. “Hmmm....OK, tetapi apakah
kamu enggak curiga kalo nanti caturnya aku pindah-pindahin supaya aku nanti
bisa menang?”
“Kamu kan lagi puasa, jadi aku
percaya padamu”, ujarku sambil bangkit dan berjalan menuju dapur. Ramdhan
terseyum senang.
“Tim, disudut sana kok ada meja
kecil kosong?”, tiba-tiba aku mendengar suara Ramdhan dari ruang tengah saat
aku baru selesai berdoa sebelum menyantap makan siangku dimeja makan.
“Oh, itu nanti untuk tempat untuk
meletakkan pohon Natal”, jawabku.
“Wahhh, aku sudah tidak sabar
menunggu Natal agar aku bisa ikut menghias pohon Natal”, ujar Timmy gembira.
“Natal tinggal tiga bulan lagi
kok”, jawabku dengan mulut penuh nasi. Mudah-mudahan Ramdhan bisa mendengar
ucapanku.
Beberapa minggu sebelum Natal
tiba, Ramdhan berlibur bersama ayah ibunya ke Bali. Dan aku mendengar dari
bapak kalau saat makan malam disebuah restoran di Bali, mereka menjadi korban
ledakan bom yang dilakukan oleh para teroris. Aku berdoa sepanjang waktu agar
mereka selamat dan bisa segera kembali pulang ke rumah mereka. Aku tidak sabar
untuk memberi kehormatan kepada Ramdhan untuk meletakkan hiasan bintang besar
di puncak pohon Natal keluargaku.
Beberapa minggu setelah kejadian ledakan bom
itu, aku pergi ke rumah Ramdhan dan menemukan rumah itu masih kosong. Beberapa
karangan bunga yang sudah mulai layu dan yang masih segar diletakkan berjejer
di pintu gerbang rumahnya. Aku belum mengerti apa arti dari sebuah kehilangan,
tetapi entah kenapa saat itu tanpa aku sadari air mataku mengalir pelan.
Itu adalah kejadian dua tahun
yang lalu. Betapa aku kehilangan sebuah keluarga yang bisa menghargai sebuah
perbedaan dengan sangat indah. Sesuatu yang masih sangat jarang bisa aku
temukan atau saksikan hingga saat ini. Setiap Natal tiba, aku tetap sendirian
menghias pohon Natal di rumahku. Ramadhan dulu, sekarang dan yang akan datang
tetap selalu kutunggu karena akan selalu mengingatkan aku pada sebuah kenangan
yang indah tentang Ramdhan dan ayah ibunya. Mudah-mudahan Ramdhan bisa melihat kilau-kilau lampu pohon Natal di rumahku dari atas sana.