Pages

Subscribe:

Labels

Monday 24 February 2014

Menanti Ramadhan Di Hari Natal



Aku menatap anak laki-laki bertubuh sedikit lebih besar dari aku itu dengan pandangan bingung campur ngeri. Dia berdiri tepat didepanku dengan tujuan untuk menghalangi jalanku. Aku pikir dia akan merampok es krim milikku. Meskipun aku pesimis aku akan kalah kalau memaksa duel dengan ‘beruang madu’ ini, tetapi aku menolak untuk menunjukkan ketakutanku.

“Kalau kamu mau mengambil es krim ini, kamu harus melangkahi mayatku dulu”, ujarku sambil menggenggam erat es krim ditanganku. Anak itu tampak sedikit terkejut mendengar ucapanku, dia tidak tau kalau kalimat itu adalah kalimat yang sering aku dengar di film-film yang banyak adegan berkelahinya. Sudah lama aku ingin mengucapkan kalimat itu pada saat yang tepat dan aku baru saja mengucapkannya. Aku merasa hebat sekali.

“Aku tidak berminat dengan es krim-mu itu”, jawabnya dingin. Aku menatap kedua sandal jepit di kedua kakiku.
“Kalau begitu kamu mau mengambil sandalku?”. Dia mencibir.
“Bah, aku lebih baik mati daripada mendapatkan sandal jepit  butut seperti itu”. Aku tersinggung mendengarnya, enak saja dia menghina sandal jepit pemberian nenekku.
“Kalau begitu enyahlah dari depanku, kamu menghalangi jalanku”, seruku jengkel.
“Dengar ya, kalau kamu tidak berpuasa maka kamu harus menghormati orang lain yang berpuasa”, ujar anak itu sambil matanya tidak lepas menatap wajahku dan es krim ditanganku secara bergantian.
“Aku kan hanya membeli es krim, aku tidak memakannya di depan orang yang berpuasa. Aku nanti akan memakannya setelah sampai dirumah”, aku membela diri.
“Iya, tetapi caramu memegang es krim itu terlalu mencolok. Kamu kan bisa membungkusnya agar tidak kelihatan”.
“Bagaimana caranya aku membungkus es krim?”, aku balik bertanya. Dia tampak berpikir sejenak, kemudian garuk-garuk kepala. Aku curiga dia memelihara selusin kutu diatas kepalanya itu.
“Itu kan es krim milikmu, kamu pikirkan sendiri dong bagaimana cara membungkusnya”, ujarnya dengan malas-malasan.  Kami saling menatap sejenak, seperti sedang peran, siapa yang tahan tidak berkedip. Dari kejauhan pasti kami terlihat seperti ayam aduan yang sedang mencoba mengatur nafas ditengah-tengah perkelahian. Tiba-tiba bunyi bedug dan suara azan memecah konsentrasi kami. Aku berhasil mengalahkannya karena dia yang berkedip duluan.

“Sudah waktunya buka puasa”, serunya girang, tetapi matanya tidak lepas dari es krim ditanganku. Aku pernah mendengar cerita ayahku kalau saatnya berbuka puasa maka orang-orang yang berpuasa sebaiknya segera membatalkan puasanya. Sepertinya anak ini tidak punya apa-apa untuk membatalkan puasanya selain tubuh besarnya itu.

“Kamu mau es krim-ku?”, tanyaku. Dia menatapku ragu, antara mau dan malu. Aku mengulurkan es krim-ku kepadanya yang langsung disambarnya dan setelah menggumankan sebuah doa pendek dalam bahasa yang tidak aku mengerti, dia menikmati es krim-ku dengan sepenuh hati. 

Setelah menikmati hampir setengah dari es krim itu, dia menoleh kepadaku.
“Aduhhhh maaf, aku tidak sopan. Seharusnya es krim ini kita bagi dua”, ujarnya dengan nada menyesal. “Sekarang giliranmu”. Dia mengulurkan es krim yang sudah dijilati itu ke depan wajahku. Eughhhh...amit-amit, aku memang sedikit menginginkan es krim itu, tetapi aku tidak mau satu lidah dengan dia.
“Ah, tidak. Buat kamu saja”, tolakku halus sambil berusaha tersenyum. Setelah menghabiskan semua es krim itu, dia kembali mengucapkan doa pendek dalam bahasa yang masih asing ditelingaku itu.

“Sebenernya aku tidak begitu suka makan es krim, tetapi akan sangat tidak sopan kalau aku menolak tawaranmu tadi”, ujarnya kemudian dengan wajah puas. Aku melotot. Tawaranku? Sebenarnya tadi aku hanya bertanya, bukan menawarkan. Dan beraninya dia berkata seperti itu setelah menghabiskannya.
“Tau nggak, ibuku hari ini memasak kolak pisang untuk berbuka puasa. Kamu mau ikut ke rumahku?”, tanya anak itu penuh harap.
“Ah, tidak usah. Aku kan tidak berpuasa”, jawabku demi sebuah gengsi, padahal aku tentu saja sangat ingin menikmati suguhan kolak pisang.
“Kau akan sangat menyesal kalau tidak mencicipi kolak pisang buatan ibuku”, desaknya lagi. Aku diam saja.

“Tidak sopan lho kalau kamu menolak tawaran baik orang lain”, ujarnya lagi setelah melihat reaksiku. Aku menyukai kalimatnya barusan, karena itu membuat aku seperti terpaksa harus mengikuti ajakannya.
“Baiklah kalau kamu memaksa”, jawabku dengan sumringah.
“Aku tidak memaksa”, ledeknya.
“Kamu mau mengajakku kerumahmu atau tidak?”. Melihat aku cemberut, dia tertawa.
“Namaku Mohammad Ramdhan, tetapi panggil saja aku Ramdhan”. Dia mengulurkan tangannya. Aku membalas uluran tangannya.
“Timoteus. Tetapi aku biasa dipanggil Timmy”.
“Baiklah Timmy, ayo kita balapan ke rumahku. Siapa yang kalah, maka kalau sudah besar dia akan menikah dengan Kingkong”, seru Ramdhan sambil mulai berlari. Aku langsung mengejarnya.
“Tetapi aku belum tau dimana rumahmu”, balasku sambil berusaha menjejeri langkah kakinya yang cepat.
“Itu sebabnya kamu harus berada dibelakangku agar kamu bisa mengikutiku”, Ramdhan tertawa jahil.
“Curang!!! Aku tidak mau menikah dengan Kingkong”.

Aku menatap malu-malu sepiring kolak pisang dihadapanku. Kalau saja aku tidak tau malu, aku pasti sudah melahapnya begitu ibu Ramdhan menghidangkannya didepanku.
“Ayo Timmy, kolaknya dimakan”, ujar ibu Ramdhan lembut, dan aku tidak lagi menunggu disuruh untuk yang kedua kalinya. Kolak pisang buatan ibu Ramdhan ini memang enak sekali.
“Makannya yang banyak, Nak Timmy...biar badannya besar seperti Ramdhan”, kata bapak Ramdhan yang duduk disebelah Ramdhan. Aku hanya tersipu.
“Tau nggak, Pak. Tadi aku berbuka puasa pake es krim”, lapor Ramdhan dengan bangganya. Huh, laporan yang tidak penting.
“Es krim? Darimana kamu dapat es krim?”, tanya ibu Ramdhan.
“Dari Timmy dong”, jawab Ramdhan sambil mengedipkan matanya kepadaku. “Padahal es krim-nya hanya ada satu”.
“Lho, trus Timmy enggak dapat es krim dong?”, bapak Ramdhan menatap bingung. Aku tersenyum malu.
“Nggak apa-apa, Pak. Saya kan masih bisa beli es krim kapan-kapan. Ramdhan kan tadi harus segera berbuka puasa karena saya tau bahwa berbuka puasa sebaiknya tidak ditunda”. Bapak  dan ibu Ramdhan saling berpandangan.
“Timmy kok bisa tau seperti itu?”.
“Bapak saya sering cerita, Pak...mulai dari mengenai ngabuburit, perbedaan sunah dan wajib dan lain-lain. Menurut bapak saya, meskipun agama kita  berbeda tetapi tidak ada salahnya mempelajari hal-hal yang baik dari agama lain biar wawasannya kita luas dan kita semakin melihat perbedaan sebagai sesuatu yang indah”.
Subahana Allah....”, guman ibu dan bapak Ramdhan bersamaan sambil tersenyum.
“Pak, nanti kalau hari Natal aku bisa main-main kerumah Timmy nggak?”, tanya Timmy tiba-tiba. Piringnya sudah kosong dan sepertinya dia belum akan berhenti mengunyah.
“Memangnya kamu mau ngapain di rumah Timmy?”
“Aku suka banget melihat pohon Natal. Lampu-lampunya yang berkedip-kedip itu keren”.
“Boleh saja kalau Timmy mengizinkanmu datang kerumahnya”. Ramdhan mengarahkan padangannya kearahku.
“Boleh nggak, Tim?”
“Boleh saja, asal kamu mau membantuku menghias pohon Natal-nya. Badanku kurang tinggi untuk meletakkan hiasan bintang dipuncak pohon Natal dirumahku”.
“Ya ampun, kamu juga mengizinkan aku ikut menghias pohon Natalmu?”. Mata Ramdhan berbinar-binar bahagia. Aku mengangguk mantap karena aku memang payah kalau menghias pohon Natal sendirian. Bapak dan ibu Ramdhan hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli melihat tingkah anaknya.

Hari sudah menunjukkan jam 2 siang dan aku sudah lapar sekali. Tetapi aku bimbang karena saat ini Ramdhan sedang berada dirumahku. Aku tidak ingin melakukan sesuatu yang bisa membuat dia batal puasa. Kami sedang bertanding catur saat itu dan rupanya Ramdhan bisa menangkap gerak-gerikku yang mencurigakan.

“Ini sudah siang lho, kok kamu belum makan?”, tanya Ramdhan sambil matanya tetap konsentrasi memandangi papan catur didepannya. Dia sudah kehilangan dua kuda dan satu menteri.
Aku menatapnya ragu. Aduh, bagaimana ya?
 “Sebentar lagi”, jawabku kemudian karena merasa tidak enak.
“Eh, jangan begitu. Kamu harus makan dong. Jangan gara-gara aku ada disini sehingga kamu jadi tidak bisa makan”.
“Tetapi kalau aku makan nanti kamu jadi tergiur, puasa kamu bisa batal”. Ramdhan tersenyum penuh pengertian.
“Kata ayahku, godaan yang sebenarnya itu justru berasal dari diri sendiri”.
“Maksudnya?”
“Begini lho. Meskipun kamu nggak makan didepanku, tetapi kalau pikiranku jorok atau memikirkan makanan tetap saja puasaku akan batal. Sebaliknya, meskipun kamu makan sate, puding, tiramisu, jerami...”
“Eh, aku nggak makan jerami”, protesku cepat.
“Ini cuma misalnya saja. Jadi meskipun kamu makan dihadapanku, kalau memang aku berniat puasa dari dalam hati, pasti aku tidak akan tergoda”. Aku melongo antara mengerti dan tidak.
“Tetapi kalau aku makan didepanmu, itu artinya aku tidak menghormati kamu yang sedang berpuasa”. Ramdhan menggeleng. 

“Kata ibuku, kita tidak bisa meminta atau memaksa orang lain untuk menghormati kita. Rasa hormat kepada atau dari orang lain itu datang secara alami. Kalau tingkah laku dan ucapan kita selama ini baik dan patut dihormati, orang akan menghormati kita tanpa diminta atau dipaksa”.
“Dalam berpuasa juga begitu?”
“Ya, iya dong”
“Oh, begitu ya.”
“Ya begitu”
Aku tersenyum penuh syukur karena seperti baru mendapat pelajaran hidup yang sangat bermakna.
“Kalau begitu aku makan dulu ya”
“Silahkan, paduka”, goda Ramdhan. Aku meringis geli disebut paduka.
“Tetapi aku sebaiknya makan didapur saja ya”. Ramdhan tampak berpikir sejenak. “Hmmm....OK, tetapi apakah kamu enggak curiga kalo nanti caturnya aku pindah-pindahin supaya aku nanti bisa menang?”
“Kamu kan lagi puasa, jadi aku percaya padamu”, ujarku sambil bangkit dan berjalan menuju dapur. Ramdhan terseyum senang.
“Tim, disudut sana kok ada meja kecil kosong?”, tiba-tiba aku mendengar suara Ramdhan dari ruang tengah saat aku baru selesai berdoa sebelum menyantap makan siangku dimeja makan.
“Oh, itu nanti untuk tempat untuk meletakkan pohon Natal”, jawabku.
“Wahhh, aku sudah tidak sabar menunggu Natal agar aku bisa ikut menghias pohon Natal”, ujar Timmy gembira.
“Natal tinggal tiga bulan lagi kok”, jawabku dengan mulut penuh nasi. Mudah-mudahan Ramdhan bisa mendengar ucapanku.

Beberapa minggu sebelum Natal tiba, Ramdhan berlibur bersama ayah ibunya ke Bali. Dan aku mendengar dari bapak kalau saat makan malam disebuah restoran di Bali, mereka menjadi korban ledakan bom yang dilakukan oleh para teroris. Aku berdoa sepanjang waktu agar mereka selamat dan bisa segera kembali pulang ke rumah mereka. Aku tidak sabar untuk memberi kehormatan kepada Ramdhan untuk meletakkan hiasan bintang besar di puncak pohon Natal keluargaku. 

Beberapa minggu setelah kejadian ledakan bom itu, aku pergi ke rumah Ramdhan dan menemukan rumah itu masih kosong. Beberapa karangan bunga yang sudah mulai layu dan yang masih segar diletakkan berjejer di pintu gerbang rumahnya. Aku belum mengerti apa arti dari sebuah kehilangan, tetapi entah kenapa saat itu tanpa aku sadari air mataku mengalir pelan.
Itu adalah kejadian dua tahun yang lalu. Betapa aku kehilangan sebuah keluarga yang bisa menghargai sebuah perbedaan dengan sangat indah. Sesuatu yang masih sangat jarang bisa aku temukan atau saksikan hingga saat ini. Setiap Natal tiba, aku tetap sendirian menghias pohon Natal di rumahku. Ramadhan dulu, sekarang dan yang akan datang tetap selalu kutunggu karena akan selalu mengingatkan aku pada sebuah kenangan yang indah tentang Ramdhan dan ayah ibunya. Mudah-mudahan Ramdhan bisa melihat kilau-kilau lampu pohon Natal di rumahku dari atas sana.