Pages

Subscribe:

Labels

Monday, 24 February 2014

Hatiku Bukan Mainan



“Vin!!!”, sebuah teriakan bariton langsung mengagetkan Vivian yang sedang bergegas menuju kelasnya diujung koridor. Semua mata langsung memandang sebal kearah sumber suara yaitu Boy. Dia pikir ini dihutan, teriak-teriak seenak perutnya. Tetapi Boy cuek saja sambil terus berlari-lari kecil mengejar Vivian.

“Vin!!!”. Lagi-lagi teriakan itu membahana. Vivian tidak tahan lagi dan  langsung berbalik sambil memasang muka perang.

“Apaan sih. Van, Van, Vin. Penting banget ya teriak-teriak gitu?”, sembur Vivian galak. Yang digalakin malah cengengesan tanpa dosa.
“Sorry, Vin. Habis kamu dipanggil nggak nyahut-nyahut”, ujar Boy masih mesem-mesem. “Lagian tadi aku manggil Vin doang kok, bukan Van, Vin, Van, Vin”.
“Ya ampun, pake dibahas segala,” rutuk Vivian dalam hati. “Ada apa sih?”
Vivian masih mempertahankan nada suara galaknya.
“Eh Anu, Vin”, Boy malah salah tingkah.
“Apaan?”
“Anu Vin”
“Iya, anu kamu kenapa?”
“Ah Vin, jangan porno dong”. Muka Boy tiba-tiba berubah warna menjadi merah muda. Vivian mulai habis kesabarannya.

“Dengerin ya. Aku nggak punya banyak waktu untuk hal-hal cemen kayak gini. Kalo elo mau ngomongin sesuatu yang penting, ngomong aja sekarang. Kalo nggak ada, gue mau buru-buru kekelas, ada PR gue yang belum selesai”.
“Buset dah, hari gini masih nggak ngerjain PR?”
Vivian melotot. “Kamu mau membahas itu?. Sorry, aku enggak ada waktu. Selamat tinggal!”. Vivian berbalik dan berjalan meninggalkan Boy.
“Eh Vin, tunggu dulu. Sebentar aja!”
Dengan setengah hati Vivian berbalik lagi. “OK, kesempatan terakhir”.
Iya deh”. Boy memilin-milin ujung jarinya. Matanya malu-malu menatap Vivian, kemudian mengalihkan pandangannya kesepatunya. Begitu bolak-balik sampai Vivian nyaris naik darah. Vivian sudah hampir membuka mulutnya untuk nyerocos ketika Boy sudah mulai ngomong.

“Kamu sudah terima suratku?”, tanya Boy takut-takut.
“Sudah”, jawab Vivian santai.
“Bagus kalau begitu”
“Apanya yang bagus?”
“Eh, maksudku bagaimana jawabanmu?”
“Jawaban apa?”
“Jawaban isi suratku”
“Emang apa isi suratmu?”
“Lho, kamu belum baca?”
“Belum”
“Kenapa?”
“Penting gitu?”
Boy terdiam. “Kamu baca dulu deh suratku, besok aku ngomong sama kamu lagi”.

Sambil menunduk entah sedih atau malu, Boy balik kanan dan berjalan kearah kelasnya diujung koridor yang satu lagi.


Di dalam kamarnya, Vivian menimang-nimang sebuah amplop biru muda yang diterimanya dari Boy kemarin lusa. Vivian bukan tipe orang hobby korespondensi, makanya surat dari Boy sama sekali tidak dia buka. Lagian, hari gini masih surat-suratan? Apa kata dunia?

Vivian sudah hampir melupakan amplop biru muda itu kalau saja dia tidak bertemu Boy tadi pagi disekolah, bertanya tentang tanggapan Vivian terhadap isi suratnya.

Vivian kemudian merobek salah satu ujung amplop itu dan mengeluarkan sebuah lipatan surat dari dalam.

“Ampun, ini tulisan tangan atau cakaran kucing?”, sungut Vivian sambil mengejap-ejapkan matanya memandangi tulisan tangan Boy. “Nggak kebaca!”.
Tetapi ada sebuah kalimat pendek dibagian bawah alinea tulisan indah itu yang ditulis memakai huruf besar sehingga menjadi satu-satunya yang bisa terbaca. Disana tertulis “I LOVE YOU”.

Dengan segara Vivian meremas surat itu dan melemparnya  kesudut kamarnya denga gemas.

“Ughhhh, apa dia yang sadar kalau aku nggak suka sama dia? Pake nyatain cinta lewat surat segala lagi”, omel Vivian sendirian.


Boy dan Vivian sama-sama duduk di kelas dua sebuah SMU Satria Karya. Tetapi  mereka beda kelas. Bukan rahasia umum lagi kalau Boy sejak kelas satu sudah naksir Vivian. Boy memang bukan cowok yang jelek-jelek amat, tetapi dia sama sekali bukan tipe cowok favorit menurut standar Vivian. Vivian justru sedang suka sama anak kelas tiga. Tetapi sayang sang cowok sepertinya tidak pernah menujukkan gelagat kalau dia juga suka Vivian. Malah kalau sedang berpapasan di kantin atau di perpusatakaan, boro-boro ditegur, dilihat aja enggak.

Itu yang bikin Vivian sedikit uring-uringan akibat cinta yang tidak terbalas, apalagi ditambah dengan Boy yang menurut dia agak ganggu dan bisa menganggu misinya mendapatkan cowok impian.
“Vin!!!!!!!!!!!!!!”, kembali lagi suara itu membahana seperti kemarin. Daripada Boy mengulangi lagi jeritannya yang minta ampun itu, Vivian langsung berbalik dan menghampiri Boy.

“Kamu sudah baca suratku?”, tanya Boy dengan sumringah.
“Sudah”, jawab Vivian pendek.
“Bagaimana menurutmu?”
“Tulisan tanganmu mengerikan sekali”
“Bukan itu maksudku”
“Terus apa?”
“Bagaimana jawabanmu?”
“Jawaban apa?”
“Kamu sudah baca suratku belum?”
“Tadi aku juga sudah jawab. Kamu denger nggak sich?”. Vivian mulai kesal karena dituduh berbohong.

“Trus, bagimana jawabanmu?”
“Jawaban apa?”
“Jawaban isi suratku”.
“Emang ada yang perlu dijawab?”
“Disitu khan ada pernyataan ‘I Love You”?”
“Iya, terus?”
“Jawabanmu apa?”
“Jawaban apa?”
“Kamu jangan pura-pura bodoh dong, Vin”. Vivian langsung berkacak pinggang.

“Eh, kuya. Bukan aku yang pura-pura bodoh, tetapi emang kamu yang bodoh”
“Lho, kok?”
“Ya iya. ‘I Love You’ itu kan pernyataan, bukan pertanyaan”
“Masa sich?”
“Tuh kan, kamu emang bodoh”
“Trus?”
“Pernyataan nggak membutuhkan jawaban, tetapi pertanyaan baru membutuhkan jawaban”.
“Trus”
“Tras, trus, tras, trus. Kamu pikir angkot yang lagi mundur?”
“Trus..eh maksudku gimana dong?”
“Denger baik-baik ya?  Kamu ini cowok apa cewek sih? Masa mau nyatain cinta aja lewat surat, kayak tahun delapan puluhan saja”.
“Terus lewat apa dong? Lewat SMS?”
“Dasar kuya. Ya nyatain sendiri dong, face to face. Itu baru namanya jantan”.

“Kamu lebih suka aku nyatain ace of base?”
“Apaan ace of base?”
“Tadi kamu bilang nyatain sendiri, ace of base”
Face to face, bukan ace of base”.
“Iya seperti itu. Kamu lebih suka seperti itu ya?”
“Mungkin”
“Ya udah, I Love You deh, Vin”. Vivian cuek saja.

“I love you, Vin”. Vivian masih cuek.
“Apa jawabanmu, Vin?’
“Jawaban apa?”
“Jawaban pernyataanku”
“Ya ampun. Tadi aku sudah bilang, yang butuh jawaban itu pertanyaan bukan pernyataan”
“Oh iya..”, Boy garuk-garuk kepala.
“I love you, Vin. Kamu cinta aku juga kan?”
“Apa?”
“Lho, katanya harus kasih pertanyaan”
“Itu bukan pertanyaan, tetapi menuduh”.
“Trus harus bagimana?”
Teng, teng, teng. terdengar bunyi bel sekolah tanda pelajarn pertama akan dimulai. Save by the bell. Tanpa menghiraukan Boy, Vivian langsung melesat berlari menuju kelasnya.


Vivian sedang menikmati sepiring siomay dikantin sekolah ketika Winda siswi yang dikenal Vivian duduk dikelas 2B menghampirinya.

“Vin, ada titipan nih”, seru cewek itu sambil menyodorkan sebuah amplop warna biru muda. Vivian tersenyum.

“Thanks ya”, katanya sambil menerima amplop tersebut kemudian meletakkannya diatas meja dengan malas-malasan.
Sejak tadi pagi, Vivian belum mendapat gangguan dari Boy. Padahal biasanya dia sudah mengincar Vivian sejak dari gerbang sekolah.


Tiga hari berlalu, tiga hari pula Vivian tidak pernah lagi melihat Boy. Bahkan diantara cowok-cowok anak kelas 2B yang berkerumun dikantin dan dikordor sekolah, Vivian tidak melihat Boy ada diantara mereka.

“Ah, apa peduliku?”, kata Vivian dalam hati.”Aku seharusnya merasa senang karena tidak lagi diganggu oleh celotehan konyolnya”.

Seminggu berlalu, seharusnya Vivian menjalan aktifitasnya seperti biasa. Tetapi entah kenapa dia merasa seperti ada yang hilang. Tiba-tiba saja setiap dia berjalan di koridor kelas 2 dia berharap akan mendengar teriakan khas Boy memanggil namanya dan kembali nyerocos konyol seperti dulu. Ketika melewati kelas 2F, dia ingin sekali melongok sebentar untuk melihat seseorang di dalam kelas. Tetapi urung dilakukannya.


Dua minggu berlalu. Ketika istirahat pertama, ada keanehan kecil dikelas 2F. Semua anak saling berbisik dan tertunduk sedih.

“Kasihan banget ya”, guman Diana yang berjalan gontai kemudian berdiri disamping Vivian yang sedang menyender ditembok depan kelas.
“Apanya yang kasihan?’, tanya Vivian.
“Boy”
“Kenapa dengan Boy?”
“Dia meninggal tadi pagi”
Vivian merasa jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Boy? Meninggal?
Melihat Winda yang sedang lewat di depannya, Vivian langsung menarik tangannya dan membawa kesudut koridor.

“Win, Boy kenapa?”. Winda menatap Vivian dengan pandangan bingung.
“Kamu belum tau ya?”
“Tau apa?”
“Aku pikir dia sudah cerita sama kamu lewat surat yang kemarin dititipin lewat aku. Jadi begini, dia sudah dua minggu nggak masuk karena….. Lho Win, mau kemana?”

Winda baru saja akan bercerita ketika Vivian tiba-tiba berlari meninggalkan Winda menuju kelasnya. Dia teringat sesuatu. Surat didalam amplop warna biru yang belum dia buka sejak Winda memberikannya.

Bergegas Vivian berjalan masuk kedalam perpustakaan dan mencari meja paling sudut yang kosong.
Dengan tangan bergetar dan jantung masih berdebar-debar dia merobek ujung amplop dan mengeluarkan suratnya.
Tulisan tangan Boy masih sangat mengerikan, tetapi kali ini Vivian mau bersusah payah membacanya.

Buat Vivian
Saat kamu menerima surat ini, mungkin kamu tidak akan melihat aku lagi karena hari ini aku berangkat ke Amerika. Ada tumor bersarang diotakku, mungkin gara-gara itu juga aku agak bodoh seperti katamu.
Aku lega kamu sudah tau kalau aku cinta sama kamu. Aku tidak berharap kamu untuk cinta sama aku juga. Aku cuma berharap jawaban yang tegas darimu : ya atau tidak. Apapun jawabanmu, itu akan membuatku sangat lega.

Aku bukannya pesimis, tetapi aku harus realistis. Operasi pengangkatan tumor dari otakku sangat beresiko. Tetapi aku memilih tidak menyerah setelah  mencoba daripada menyerah sebelum mencoba.

Aku berharap, seandainya operasi ini gagal, aku masih sempat mendapatkan jawabanmu.

Salam dari Boy.


Sebuah tetes air jatuh diatas surat itu. Vivian menangis diam-diam. Dia merasa menjadi orang yang sangat keji dan jahat terhadap Boy. Vivian memang tidak mencintai Boy, tetapi Vivian tidak pernah memberi jawaban ‘tidak’. Dia selama ini sengaja mempermainkan perasaan Boy, karena diam-diam Vivian mulai menikmati gangguan Boy setiap pagi disekolah menanyakan jawabannya.

Vivian berharap dia bisa mengembalikan waktu dimana Boy dengan tampang lugunya mengharapakn jawaban pasti dari Vivian, dan Vivian akan menjawab ‘ya’.