“Vin!!!”, sebuah teriakan bariton
langsung mengagetkan Vivian yang sedang bergegas menuju kelasnya diujung
koridor. Semua mata langsung memandang sebal
kearah sumber suara yaitu Boy. Dia pikir ini dihutan, teriak-teriak seenak
perutnya. Tetapi Boy cuek saja sambil terus berlari-lari kecil mengejar Vivian.
“Vin!!!”. Lagi-lagi teriakan itu
membahana. Vivian tidak tahan lagi dan langsung
berbalik sambil memasang muka perang.
“Apaan sih. Van, Van, Vin. Penting
banget ya teriak-teriak gitu?”, sembur Vivian galak. Yang digalakin malah
cengengesan tanpa dosa.
“Sorry, Vin. Habis kamu dipanggil
nggak nyahut-nyahut”, ujar Boy masih mesem-mesem. “Lagian tadi aku manggil Vin
doang kok, bukan Van, Vin, Van, Vin”.
“Ya ampun, pake dibahas segala,” rutuk Vivian
dalam hati. “Ada
apa sih?”
Vivian masih mempertahankan nada suara
galaknya.
“Eh Anu, Vin”, Boy malah salah
tingkah.
“Apaan?”
“Anu Vin”
“Iya, anu kamu kenapa?”
“Ah Vin, jangan porno dong”. Muka Boy
tiba-tiba berubah warna menjadi merah muda. Vivian mulai habis
kesabarannya.
“Dengerin ya. Aku nggak punya banyak
waktu untuk hal-hal cemen kayak gini. Kalo elo mau ngomongin sesuatu yang
penting, ngomong aja sekarang. Kalo nggak ada, gue mau buru-buru kekelas, ada
PR gue yang belum selesai”.
“Buset dah, hari gini masih nggak
ngerjain PR?”
Vivian melotot. “Kamu mau membahas
itu?. Sorry, aku enggak ada waktu. Selamat tinggal!”. Vivian berbalik dan
berjalan meninggalkan Boy.
“Eh Vin, tunggu dulu. Sebentar aja!”
Dengan setengah hati Vivian berbalik
lagi. “OK, kesempatan terakhir”.
“Iya
deh”. Boy memilin-milin ujung jarinya. Matanya malu-malu menatap Vivian,
kemudian mengalihkan pandangannya kesepatunya. Begitu bolak-balik sampai Vivian
nyaris naik darah. Vivian sudah hampir membuka mulutnya untuk nyerocos ketika
Boy sudah mulai ngomong.
“Kamu sudah terima suratku?”, tanya
Boy takut-takut.
“Sudah”, jawab Vivian santai.
“Bagus kalau begitu”
“Apanya yang bagus?”
“Eh, maksudku bagaimana jawabanmu?”
“Jawaban apa?”
“Jawaban isi suratku”
“Emang apa isi suratmu?”
“Lho, kamu belum baca?”
“Belum”
“Kenapa?”
“Penting gitu?”
Boy terdiam. “Kamu baca dulu deh
suratku, besok aku ngomong sama kamu lagi”.
Sambil menunduk entah sedih atau malu,
Boy balik kanan dan berjalan kearah kelasnya diujung koridor yang satu lagi.
Di dalam kamarnya, Vivian
menimang-nimang sebuah amplop biru muda yang diterimanya dari Boy kemarin lusa.
Vivian bukan tipe orang hobby korespondensi, makanya surat dari Boy sama sekali tidak dia buka.
Lagian, hari gini masih surat-suratan? Apa kata dunia?
Vivian sudah hampir melupakan amplop
biru muda itu kalau saja dia tidak bertemu Boy tadi pagi disekolah, bertanya
tentang tanggapan Vivian terhadap isi suratnya.
Vivian kemudian merobek salah satu
ujung amplop itu dan mengeluarkan sebuah lipatan surat dari dalam.
“Ampun, ini tulisan tangan atau
cakaran kucing?”, sungut Vivian sambil mengejap-ejapkan matanya memandangi
tulisan tangan Boy. “Nggak kebaca!”.
Tetapi ada sebuah kalimat pendek
dibagian bawah alinea tulisan indah itu yang ditulis memakai huruf besar sehingga
menjadi satu-satunya yang bisa terbaca. Disana tertulis “I
LOVE YOU”.
Dengan segara Vivian meremas surat itu dan
melemparnya kesudut kamarnya denga
gemas.
“Ughhhh, apa dia yang sadar kalau aku
nggak suka sama dia? Pake nyatain cinta lewat surat segala lagi”, omel Vivian sendirian.
Boy dan Vivian sama-sama duduk di kelas dua sebuah SMU Satria Karya. Tetapi mereka beda kelas. Bukan rahasia umum lagi
kalau Boy sejak kelas satu sudah naksir Vivian. Boy memang bukan cowok yang
jelek-jelek amat, tetapi dia sama sekali bukan tipe cowok favorit menurut
standar Vivian. Vivian justru sedang suka sama anak kelas tiga. Tetapi sayang
sang cowok sepertinya tidak pernah menujukkan gelagat kalau dia juga suka
Vivian. Malah kalau sedang berpapasan di kantin atau di perpusatakaan, boro-boro
ditegur, dilihat aja enggak.
Itu yang bikin Vivian sedikit
uring-uringan akibat cinta yang tidak terbalas, apalagi ditambah dengan Boy
yang menurut dia agak ganggu dan bisa menganggu misinya mendapatkan cowok
impian.
“Vin!!!!!!!!!!!!!!”, kembali lagi
suara itu membahana seperti kemarin. Daripada Boy mengulangi lagi jeritannya
yang minta ampun itu, Vivian langsung berbalik dan menghampiri Boy.
“Kamu sudah baca suratku?”, tanya Boy
dengan sumringah.
“Sudah”, jawab Vivian pendek.
“Bagaimana menurutmu?”
“Tulisan tanganmu mengerikan sekali”
“Bukan itu maksudku”
“Terus apa?”
“Bagaimana jawabanmu?”
“Jawaban apa?”
“Kamu sudah baca suratku belum?”
“Tadi aku juga sudah jawab. Kamu
denger nggak sich?”. Vivian mulai kesal karena dituduh berbohong.
“Trus, bagimana jawabanmu?”
“Jawaban apa?”
“Jawaban isi suratku”.
“Emang ada yang perlu dijawab?”
“Disitu khan ada pernyataan ‘I Love
You”?”
“Iya, terus?”
“Jawabanmu apa?”
“Jawaban apa?”
“Kamu jangan pura-pura bodoh dong,
Vin”. Vivian
langsung berkacak pinggang.
“Eh, kuya. Bukan aku yang pura-pura
bodoh, tetapi emang kamu yang bodoh”
“Lho, kok?”
“Ya iya. ‘I Love You’ itu kan
pernyataan, bukan pertanyaan”
“Masa sich?”
“Tuh kan, kamu emang bodoh”
“Trus?”
“Pernyataan nggak membutuhkan jawaban,
tetapi pertanyaan baru membutuhkan jawaban”.
“Trus”
“Tras, trus, tras, trus. Kamu pikir angkot yang lagi
mundur?”
“Trus..eh maksudku gimana dong?”
“Denger baik-baik ya? Kamu ini cowok apa cewek sih? Masa mau
nyatain cinta aja lewat surat,
kayak tahun delapan puluhan saja”.
“Terus lewat apa dong? Lewat SMS?”
“Dasar kuya. Ya nyatain sendiri dong, face to face. Itu baru namanya jantan”.
“Kamu lebih suka aku nyatain ace of base?”
“Apaan ace of base?”
“Tadi kamu bilang nyatain sendiri, ace
of base”
“Face
to face, bukan ace of base”.
“Iya seperti itu. Kamu lebih suka
seperti itu ya?”
“Mungkin”
“Ya udah, I Love You deh, Vin”. Vivian cuek saja.
“I love you, Vin”. Vivian masih cuek.
“Apa jawabanmu, Vin?’
“Jawaban apa?”
“Jawaban pernyataanku”
“Ya ampun. Tadi aku sudah bilang, yang
butuh jawaban itu pertanyaan bukan pernyataan”
“Oh iya..”, Boy garuk-garuk kepala.
“I love you, Vin. Kamu cinta aku juga
kan?”
“Apa?”
“Lho, katanya harus kasih pertanyaan”
“Itu bukan pertanyaan, tetapi
menuduh”.
“Trus harus bagimana?”
Teng, teng,
teng. terdengar
bunyi bel sekolah tanda pelajarn pertama akan dimulai. Save by the bell. Tanpa
menghiraukan Boy, Vivian langsung melesat berlari menuju kelasnya.
Vivian sedang menikmati sepiring
siomay dikantin sekolah ketika Winda siswi yang dikenal Vivian duduk dikelas 2B
menghampirinya.
“Vin, ada titipan nih”, seru cewek itu
sambil menyodorkan sebuah amplop warna biru muda. Vivian tersenyum.
“Thanks ya”, katanya sambil menerima
amplop tersebut kemudian meletakkannya diatas meja dengan malas-malasan.
Sejak tadi pagi, Vivian belum mendapat
gangguan dari Boy. Padahal biasanya dia sudah mengincar Vivian sejak dari
gerbang sekolah.
Tiga hari berlalu, tiga hari pula
Vivian tidak pernah lagi melihat Boy. Bahkan diantara cowok-cowok anak kelas 2B
yang berkerumun dikantin dan dikordor sekolah, Vivian tidak melihat Boy ada
diantara mereka.
“Ah, apa peduliku?”, kata Vivian dalam
hati.”Aku seharusnya merasa senang karena tidak lagi diganggu oleh celotehan
konyolnya”.
Seminggu berlalu, seharusnya Vivian
menjalan aktifitasnya seperti biasa. Tetapi entah kenapa dia merasa seperti ada
yang hilang. Tiba-tiba
saja setiap dia berjalan di koridor
kelas 2 dia berharap akan mendengar teriakan khas Boy memanggil namanya dan
kembali nyerocos konyol seperti dulu. Ketika melewati kelas 2F, dia ingin
sekali melongok sebentar untuk melihat seseorang di dalam kelas. Tetapi urung
dilakukannya.
Dua minggu berlalu. Ketika istirahat
pertama, ada keanehan kecil dikelas 2F. Semua anak saling berbisik dan
tertunduk sedih.
“Kasihan banget ya”, guman Diana yang
berjalan gontai kemudian berdiri disamping Vivian yang sedang menyender
ditembok depan kelas.
“Apanya yang kasihan?’, tanya Vivian.
“Boy”
“Kenapa dengan Boy?”
“Dia meninggal tadi pagi”
Vivian merasa jantungnya tiba-tiba
berdebar kencang. Boy? Meninggal?
Melihat Winda yang sedang lewat di depannya, Vivian langsung
menarik tangannya dan membawa kesudut koridor.
“Win, Boy kenapa?”. Winda menatap Vivian dengan
pandangan bingung.
“Kamu belum tau ya?”
“Tau apa?”
“Aku pikir dia sudah cerita sama kamu
lewat surat
yang kemarin dititipin lewat
aku. Jadi begini, dia sudah dua minggu nggak masuk karena….. Lho Win, mau kemana?”
Winda baru saja akan bercerita ketika
Vivian tiba-tiba berlari meninggalkan Winda menuju kelasnya. Dia teringat
sesuatu. Surat
didalam amplop warna biru yang belum dia buka sejak Winda memberikannya.
Bergegas Vivian berjalan masuk kedalam
perpustakaan dan mencari meja paling sudut yang kosong.
Dengan tangan bergetar dan jantung
masih berdebar-debar dia merobek ujung amplop dan mengeluarkan suratnya.
Tulisan tangan Boy masih sangat
mengerikan, tetapi kali ini Vivian mau bersusah payah membacanya.
Buat
Vivian
Saat
kamu menerima surat ini, mungkin kamu tidak akan melihat aku lagi karena hari
ini aku berangkat ke Amerika. Ada tumor bersarang diotakku, mungkin gara-gara
itu juga aku agak bodoh seperti katamu.
Aku
lega kamu sudah tau kalau aku cinta sama kamu. Aku tidak berharap kamu untuk
cinta sama aku juga. Aku cuma berharap jawaban yang tegas darimu : ya atau
tidak. Apapun jawabanmu, itu akan membuatku sangat lega.
Aku
bukannya pesimis, tetapi aku harus realistis. Operasi pengangkatan tumor dari
otakku sangat beresiko. Tetapi aku memilih tidak menyerah setelah mencoba daripada menyerah sebelum mencoba.
Aku
berharap, seandainya operasi ini gagal, aku masih sempat mendapatkan jawabanmu.
Salam
dari Boy.
Sebuah tetes air jatuh diatas surat
itu. Vivian menangis diam-diam. Dia merasa menjadi orang yang sangat keji dan
jahat terhadap Boy. Vivian memang tidak mencintai Boy, tetapi Vivian tidak pernah
memberi jawaban ‘tidak’. Dia selama ini sengaja mempermainkan perasaan Boy,
karena diam-diam Vivian mulai menikmati gangguan Boy setiap pagi disekolah
menanyakan jawabannya.
Vivian berharap dia bisa mengembalikan
waktu dimana Boy dengan tampang lugunya mengharapakn jawaban pasti dari Vivian,
dan Vivian akan menjawab ‘ya’.