Pages

Subscribe:

Labels

Monday 10 March 2014

Ngerumpi Bareng Kuntilanak

”Kenapa sih harus ada pelajaran Fisika?”, teriak Tanto tiba-tiba. Malam ini mereka sedang belajar bersama di teras rumah kosong paling ujung di kompleks perumahan tempat tinggal Tantri.  Ketiga teman kita ini sedang kumat sintingnya. Kan seharusnya belajar di rumah dong, masa di rumah kosong? Kan nanti bisa disangka mau mesum.

”Kok kamu nanya begitu?”, tanya Tristan sambil menggigit asbak bekas abu rokok. Berhubung mulutnya sedang gatal, sementara tidak ada cemilan maka dia mengigit apa saja yang berada dalam jangkauannya.

”Aku nggak suka pelajaran Fisika. Bikin pusing”.
”Berarti Fisika memang sengaja ada untuk menyiksa kamu”, timpal Tantri.
”Uhhhh, Matematika saja udah cukup bikin puyeng, apalagi ditambah Fisika. Terkutuklah semua ahli Fisika. Terkutuklah Albert Einstein, terkutuklah Thomas Alfa Edison, terkutuklah Neil Armstrong, terkutuklah Mike Tyson”

Tantri dan Tristan saling berpandangan. Mike Tyson? Sejak kapan Mike Tyson berubah profesi menjadi ahli Fisika?

By the way, kok enggak ada ya yang ronda malam ini?”. 
Tanto baru sadar bahwa sejak tadi tidak ada bapak-bapak kompleks yang seliweran, padahal jam segitu biasanya sudah ada yang ronda.
“Maklum, sekarang kan malam Jumat Kliwon. Jadi mungkin pada takut keluyuran malam-malam”
”Emang kalau malam Jumat Kliwon kenapa sih?”, tanya Tristan penasaran.
”Malam Jumat Kliwon itu malam keramat”.
”Keramat bagaimana maksudnya?”
”Keramat ya keramat”
”Maksudnya ada kera bernama Mamat?”
”Ngawur”

”Konon katanya malam Jumat Kliwon itu hantu-hantu suka menebar pesona”
”Menebar pesona? Menebar pesona sama siapa?”
”Ya sama manusia dong, masa sama kawanan kambing?”
”Kok nggak menebar pesona sama sesama hantu saja?”
”Udah bosan kali. Mungkin ingin memperluas pangsa pasar. Istilahnya go interalam”.
”Go interalam? Aku baru dengar istilah itu”. Tristan tampak surprise mendengar istilah baru itu.

”Itu istilah ciptaan-ku. Kalo Anggun C. Sasmi kan go internasional, maksudnya berkiprah melewati batas antar negara.  Nah kalo di dunia hantu namanya go interalam, maksudnya berkiprah  melewati batas antar alam”, kata Tanto sok tau.
”Pakai passport dong?”
”Ah, nggak penting. Yang penting bisa nakut-nakutin aja udah langsung bisa punya akses ke dunia manusia kok”.
”Kok kamu tau banget soal birokrasi dunia hantu. Pernah jadi hantu ya?”
”Semprul!”

”Psssstttt”. Tiba-tiba Tanto pasang tampang serius sambil pasang telinga. ”Kalian denger sesuatu nggak?”
”Eh iya, kayaknya ada yang nyanyi seriosa malam-malam”.
”Mungkin latihan untuk festival Bintang Radio dan Televisi”
”Ngawur. Hari gini sudah enggak ada lagi festival begituan”

”Eh, dengerin baik-baik deh. Kayaknya bukan nyanyi seriosa, tetapi nangis-nangis”
”Itu bukan nangis, dia sedang improvisasi tuh”
”Ih, improvisasi kok seperti tersedu-sedu gitu?”
”Dan suaranya kok terdengar semakin jauh ya...”
”Iya, mungkin latihan seriosanya sambil jalan-jalan keliling kompleks kali”

”Hihihihihihihihihi!!!!!!!!!!!!!!!!!”. Tiba-tiba suara tawa terkikik mengagetkan mereka.

”Eh, nenek-nenek naik tandu pramuka!!!”. Seperti biasa, kalau kaget Tristan langsung latah menggunakan susunan kata-kata yang berantakan. 
Suara tertawa di belakang mereka benar-benar mengejutkan. Ketiganya menoleh ke arah jendela yang menghadap teras. Di balik kacva jendela berdiri seorang perempuan berwajah judes, rambut panjang awut-awutan dan memakai daster warna putih yang berkibar-kibar gontai pada bagian bawahnya.

”Hihihihih, gitu aja kok kaget. Lagi ngerumpiin saya ya?”, sapa kuntilanak itu sambil terkikik sok manja.
”Oh, jadi tadi mbak ini yang nyanyi seriosa itu? Kok latihan seriosa malam-malam sih, Mbak. Nanti kalau ada anak kecil dengerin, dia bisa mimpi buruk lho”.
”Ah kalian ini nggak tau seni drama. Itu saya lagi nangis-nangis”
”Lho, kok malam-malam nangis?”
”Emang ada larangan kalo malam-malam enggak boleh nangis?”. Kuntilanaknya sewot.
”Enggak sih, cuma enggak etis aja”
”Ih, asal deh yey”, jawab Kuntilanak gemas sambil memelototi Tristan.

”Kenapa sih mbak malam-malam begini tersedu-sedu begitu. Anak kucing mbak ada yang mati?”
”Itu kan ciri khas saya. Kalau saya ngesot, namanya Suster Ngesot dong”
”Lha, emang mbak ini apa?”
”Kuntilanak. Masa kalian enggak ngeh sih? Ih, enggak gaul deh!”
”Oh, ini toh Kuntilanak yang terkenal itu?”
”Em!”
”Apa itu ’em’???”
”Ember. Maksudnya emang bener. Ih, kalian kok ketinggalan banget ya bahasa gaul zaman sekarang di dunia manusia. Saya aja tau”, cibirnya.            

”Betewe bibir memble, memangnya saya terkenal ya?”. Kuntilanak itu terlihat sedikit bangga.
”Em!”, jawab Tanto, Tristan dan Tantri serentak.
”Apa itu ’em’?”, gantian Kuntilanak itu yang bertanya.
”Ember”
”Ih, yey ikut-ikutan saya deh. Dasar kopi kucing!”
”Apa tuh kopi kucing”
”Itu istilah buat orang yang suka niru-niru”
Copycat, Mbak...bukan kopi kucing”.
”Cat artinya apa?”
”Kucing”
”Jadi bener dong kopi kucing”
????. Tantri, Tristan & Tanto saling berpandangan frustasi.

”Betewe gue kece, segimana terkenalnya sih saya di dunia kalian?”, tanya Si Kuntilanak antusias.
”Eh, bukan terkenal di dunia kami, tetapi di dunia pewayangan”.
”Serius loe?”. Kuntilanak itu terlihat surprise sambil menggunakan kedua jari telunjuknya menunjuk ke arah depan, persis remaja-remaja alay zaman sekarang.
”Iya”, jawab Tristan yakin.
”Jadi Hercules kenal saya dong?”
”Lho, kok Hercules?”
”Lho, Hercules bukan dari dunia wayang ya?”
”Mbak, dapat salam dari Echa”
”Siapa tuh Echa?”
”Nama lengkapnya Echa Puek Deh”.
”Nama yang aneh”, guman Kuntilanak itu nggak ngeh dengan ledekan Tristan.

”Mbak ini kan Bibi Kunti yang doyan punya anak itu kan?”
”Sembarangan ah. Saya dulu emang doyan bikin anak. Enak gila! Tetapi belum ada yang jadi tuh, abis keburu kepergok satpam. Hihihihihi, kasian deh saya
”Lho, yang Pandawa Lima itu bukannya anak mbak?”.
Yo olloh tollong!”. Kuntilanak bertingkah seperti baru kena setrum. ”Itu kunti yang beda kali, namanya Ibu Kunti. Saya mah kunti yang Kuntilanak itu, kembang desa di dunia dedemit ”.
”Oh, Bibi Kunti dan Kuntilanak beda toh?”, tanya Tanto dengan polosnya.
Yo olloh tollong!”. Tanto, Tristan dan Kuntilanak serentak bertingkah seperti baru kena setrum saking jengkelnya.

”Betewe muka loe mirip pete, Mbak Kunti ngapain kesini?”
Yo olloh tollong, pertanyaannya gitu banget deh. Nggak seneng ya gue mampir disini?”
“Bukan begitu. Maksudnya ada keperluan apa?”
”Mau nyulik bayi”, jawab Kuntilanak tanpa merasa berdosa.
”Emang di sini ada bayi?”, tanya Tanto.
”Tuh…”, Kuntilanak genit itu menunjuk Tristan tepat di hidung.

”Mbak rabun ayam kali. Masa body segede kingkong remaja gini dibilang bayi?”.
”Di dunia kami, orang yang tongkrongannya kayak gini disebut bayi, tetapi bayi  gurita. Hihihihihi”.
”Eh, jangan sembarangan kalo ngomong ya, Mbak!”, Tristan tersinggung sampai ke ubun-ubun. ”Mbak Kunti belum pernah kelilipan sisir ya?”.
”Kok sisir sih?”
”Abis, cuma itu senjata yang aku punya”.
”Sensitif amat sih, Bu. Lagi dapet ya?”, sindir Kuntilanak sambil mentowel pipi Tristan. ”Gue becanda kali. Gue enggak pernah nyulik bayi, itu kan kerjaan si ganjen Wewe Gombel”.


”Bener nggak sih mbak kalau kuntilanak itu berasal dari ibu-ibu yang meninggal karena melahirkan?”, tanya Tanto penasaran.
”Itu fitnah”
”Lho, kok fitnah?”
“Di mana-mana orang kalau meninggal ya perginya ke neraka atau ke surga, tergantungnya dapat tiketnya yang jurusan kemana waktu masih hidup. Nggak ada tuh orang meninggal terus berubah menjadi kuntilanak atau badak bercula satu”.

”Kalau Mbak Kunti dulunya berasal dari mana?”
”Tadinya gue ulat bulu, kemudian jadi kepompong”
”Lho, seharusnya Mbak jadi kupu-kupu dong”
”Harusnya sih begitu, tetapi mungkin salah resep waktu dalam adonan”.
”Adonan?”
”Hihihihi, itu cuma istilah saya aja. Ceritanya kan ulat makan daun, nah waktu itu saya makan jerami. Jadi pas waktunya keluar dari kepompong yang keluar justru kuntilanak, bukan kupu-kupu”.
”Tetapi gatalnya sama kan dengan ulat bulu?”, celutuk Tristan.
”Emang saya gatal ya? Perasaan saya enggak pernah garuk-garuk tuh”.
”Bukan gatal yang seperti itu, Mbak. Tetapi gatal yang maksudnya suka gangguin orang”.
”Eh, jangan sembarangan kalau nuduh. Belum pernah kelilipan taplak meja ya?”
”Lho, kok taplak meja?”
”Habis, cuma itu senjata yang saya punya. For your information ya, saya ini  kuntilanak yang punya martabat dan harga diri. Mine is mine, yours is yours. Dalam kamus saya, enggak ada cerita deh gangguin hidup orang”.

“Tetapi selama ini kita sering dengar orang-orang yang suka digangguin kuntilanak”
”Ah itu mitos”
”Kok mitos?”
”Sebenarnya justru manusia yang suka ngundang kita untuk gangguin mereka”
”Maksudnya?”
”Udah tau saya mangkal di lokasi tertentu, eh masih saja ada orang yang suka nongkrong di situ. Kalau cuma nongkrong sih nggak masalah, tetapi kalo sambil ngomong atau mikirin yang jorok-jorok kan saya jadi napsu. Eh...terganggu, maksudnya”.

”Terganggu karena menjadi tergoda untuk ikutan mikirin dan ngomongin yang jorok-jorok ya?”, ledek Tanto sambil nyengir. Kuntilanak itu hanya meringis malu-malu.
Hihihihi, you know me so well, Beb”, jawabnya kenes.

”Ngomong dan mikirin yang jorok-jorok maksudnya membahas tentang anak babi yang main lumpur di tanah becek?”, tanya Tristan dengan polosnya. 
Kuntilanak melotot jengkel kearah Tristan.
”Yey umurnya berapa sih?”
”Enam belas tahun”, jawab Tristan masih dengan lugunya.
”Yey udah berbulu nggak?”
”Udah. Mau liat?”, tantang Tristan. Kuntilanak makin jengkel sampai ke ubun-ubun.
"Kamu mau pamer atau mau ngajak berkelahi?"

”Betewe tampang loe pedas kayak cabe, mbak kok suka nyanyi seriosa gitu? Sekali-sekali nyanyi lagu dangdut atau jazz dong”, Tanto mencoba mengalihkan pembicaraan sebelum situasi semakin ngawur.
”Hihihihi, itu gue bukan lagi nyanyi seriosa tetapi lagi nangis”
”Kok nangis?"
"Kan udah dibilangin tadi kalau itu emang ciri khas saya. Di dunia hantu setiap individu sudah mendapat merek dagang masing-masing. Misalnya Mas Gen sebelum muncul akan memberi tanda seperti aroma sesuatu yang terbakar. Kalau Jeng Wewe ditandai dengan kawanan kelelawar yang hiruk pikuk. Nah kalo saya, ciri khasnya ya tersedu-sedu gitu. Emang melankolis dan lemah banget kesannya, tetapi itu sudah menjadi merek dagang saya. Terima aja dengan pasrah”. 
Kuntilanak menjelaskan dengan panjang lebar.  Tristan, Tanto dan Tantri manggut-manggut.
           
”Eh, saya pergi dulu ya. Kayaknya saya ada duty call nih, di daerah tempat mangkal saya sepertinya ada yang cowok-cowok lagi pipis sembarangan. Lumayan, cuci mata”.

”Jadi bener kan mbak nggak gangguin orang yang enggak gangguin mbak?”
Em!. Intinya jangan saling mengganggu”
Apa itu ’em’?”
Yo olloh tollong, baru tadi dijelasin”
“Oh, ’em’ itu artinya ’yo olloh tolong’?”
“Dapat salam dari Echa. Nama lengkapnya eh..siapa tadi ya nama lengkapnya?”, tanya Kuntilanak itu kepada Tantri.
”Yeeee....”

“Udah ah, gue cabut dulu. Deeeeee...”
Deeeee... Kapan-kapan ngobrol lagi ya”, seru Tristan.
”Yakin loe?”
Hehehe, cuma basa-basi dong kok”. Tristan garuk-garuk betis.
”Dasar..”. 
Wusssssssss....dan Kuntilanak itupun menghilang di balik pepohonan.