Kerajaan Bima Sakti
sedang gonjang-ganjing. Pasalnya seluruh anggota kerajaan sedang sakit. Sudah
tiga hari ini sang Raja muntah-muntah, sang Ratu sakit perut dan sang Pangeran
dan Putri pusing dan sempoyongan. Tabib istana sudah memeriksa usus mereka dan
tidak bisa menemukan apa yang membuat anggota kerajaan mengalami sakit seperti
itu. Yang jelas gejala penyakit itu terjadi sesaat setelah mereka sarapan,
makan siang, minum teh di sore hari dan makan malam.
”Juru masak
istana, apakah kau bermaksud meracuni aku dan keluargaku”, tanya Raja suatu
hari. Juru masak istana menangis tersedu-sedu.
”Bagaimana mungkin
hamba berpikir untuk meracuni baginda dan keluarga kerajaan. Hamba sudah
mengabdi selama puluhan tahun dan sudah menganggap baginda dan keluarga kerajaan
seperti keluarga hamba sendiri”, jawab juru masak istana dengan sedih. Sang
Raja manggut-manggut, dia percaya kepada juru masaknya itu.
”Baiklah kalau
begitu, untuk sementara kau ambil cuti dulu beberapa hari dari pekerjaanmu.
Mungkin kau terlalu lelah selama ini sehingga ada yang salah dengan
masakanmu”,ujarnya kemudian. Juru masak istana menurut saja.
Maka demikianlah,
karena juru masak istana sedang cuti maka diadakanlah sayembara mencari
pengganti sementara juru masak istana. Berduyun-duyun ahli masak dari seluruh
pelosok negeri datang untuk mengikuti sayembara itu. Sang Raja sendiri yang
turun tangan untuk menguji para ahli masak itu.
Calon juru masak
yang pertama masuk ke dapur. Dia memasak air untuk
merebus ayam. Tetapi karena
dia memasak sambil terkantuk-kantuk, maka airnya mendidih sampai kering dan
periuk pecah terbelah empat.
”Kau ceroboh
sekali”, teriak Raja. ”Aku tidak mau mempunyai juru masak sepertimu”.
Calon juru masak
yang kedua memasak nasi. Tetapi karena takaran air dan berasnya tidak
sebanding, maka nasi yang ditanak ada yang mentah dan gosong.
”Kau tidak
teliti”, hardik Raja kesal. ”Kau hanya akan membuang-buang bahan makanan
keluarga kerajaan dengan percuma”.
Calon juru masak
yang ketiga membuat gado-gado. Tetapi karena dia memilah-milih sayuran sambil
membaca puisi, dia keliru memilih buncis menjadi daun talas.
”Kau tidak fokus”,
guman Raja jengkel. ”Kau akan membuat semua hidangan menjadi berantakan”.
Demikianlah hingga
calon juru masak yang ke-seribu empat belas diuji dan tak satupun yang lulus.
Raja sudah hampir putus asa. Calon juru masak yang yang ke-seribu lima belas
muncul ketika hari menjelang sore. Dia anak lelaki bernama Agung yang berumur
sebelas tahun, anak petani miskin yang tinggal di tepi hutan.
”Baiklah, Nak. Apa
yang akan kau coba masak untuk keluarga kerajaan?”, tanya sang Raja lembut.
”Maaf Paduka,
hamba bermaksud menghidangkan teh manis untuk keluarga paduka”, jawabnya sopan.
”Teh manis?
Baiklah, sekarang memang saatnya keluarga kerajaan minum teh”.
Maka Agung mulai
menyiapkan segala sesuatunya. Dia menyalakan kompor dan menjerang air sambil
bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Dia menata perangkat minum teh sambil
bersiul-siul riang, sesekali dia memukul lembut cangkir dengan ujung sendok sehingga
menghasilkan dentingan musik yang indah. Alunan lembutnya terdengar ke seluruh
penjuru ruangan istana sehingga seluruh penguni istana merasa terhibur. Ketika
teh sudah di hidangkan, semua anggota kerajaan dipersilahkan menikmatinya.
”Astaga...”, pekik sang Ratu tiba-tiba setelah menyeruput
teh-nya.”Apakah teh ini dibuat di surga?”. Anggota keluarga kerajaan yang lain
mengangguk setuju.
”Katakan, Nak. Apa
resep membuat teh manis senikmat ini” tanya sang Raja kepada Agung.
”Hamba tidak punya
resep khusus, Paduka. Itu hanya teh biasa”, jawab Agung sopan dan rendah hati.
”Tidak mungkin.
Kami belum pernah mencicipi teh manis senikmat ini”.
”Benar Paduka. Itu
hanya teh biasa. Hanya cara menyajikannya saja yang berbeda”.
”Apa maksudmu”
”Begini paduka.
Saya menyajikan teh itu dengan hati yang riang gembira dan penuh rasa syukur.
Orangtua saya mengajarkan kepada saya bahwa kalau kita melakukan segala sesuatu
dengan hati yang riang gembira dan penuh rasa syukur, maka hasil dari pekerjaan
kita akan membawa berkah”.
Seluruh anggota
keluarga istana mengangguk-angguk kagum dengan pengetahuan anak itu.
”Apakah juru
masak-ku selama tiga hari ini tidak riang gembira sehingga masakannya membuat
kami sakit perut, muntah dan pusing?”, tanya Raja bingung.
”Betul sekali,
Paduka. Hamba selama tiga hari ini sedang sakit gigi, jadi hamba sering
marah-marah saat memasak di dapur”. Juru masak istana mengaku sambil malu-malu.
”Ya ampun, pantas
saja masakanmu menjadi malapetaka karena kau tidak mengerjakannya dengan hati
riang dan penuh syukur. Sebaiknya kau segera mendatangi tabib istana untuk
mengobati gigimu itu”, titah Raja dengan tegas.
Kemudian kepada
Agung, sang Raja berkata, ”Dan kau, Nak. Mulai hari ini kau akan menjadi juru
masak pendamping juru masak yang lama. Dia sudah tua, tak lama lagi akan
pensiun dan kau yang akan menggantikannya”.
Demikianlah, Agung
akhirnya dikenal sebagai juru masak yang terhebat di seluruh pelosok dunia hanya karena satu hal : dia mengerjakan pekerjaannya
dengan hati yang riang dan penuh rasa syukur.