Pages

Subscribe:

Labels

Monday 24 February 2014

Mencari Juru Masak Istana



Kerajaan Bima Sakti sedang gonjang-ganjing. Pasalnya seluruh anggota kerajaan sedang sakit. Sudah tiga hari ini sang Raja muntah-muntah, sang Ratu sakit perut dan sang Pangeran dan Putri pusing dan sempoyongan. Tabib istana sudah memeriksa usus mereka dan tidak bisa menemukan apa yang membuat anggota kerajaan mengalami sakit seperti itu. Yang jelas gejala penyakit itu terjadi sesaat setelah mereka sarapan, makan siang, minum teh di sore hari dan makan malam.

”Juru masak istana, apakah kau bermaksud meracuni aku dan keluargaku”, tanya Raja suatu hari. Juru masak istana menangis tersedu-sedu.

”Bagaimana mungkin hamba berpikir untuk meracuni baginda dan keluarga kerajaan. Hamba sudah mengabdi selama puluhan tahun dan sudah menganggap baginda dan keluarga kerajaan seperti keluarga hamba sendiri”, jawab juru masak istana dengan sedih. Sang Raja manggut-manggut, dia percaya kepada juru masaknya itu.

”Baiklah kalau begitu, untuk sementara kau ambil cuti dulu beberapa hari dari pekerjaanmu. Mungkin kau terlalu lelah selama ini sehingga ada yang salah dengan masakanmu”,ujarnya kemudian. Juru masak istana menurut saja.

Maka demikianlah, karena juru masak istana sedang cuti maka diadakanlah sayembara mencari pengganti sementara juru masak istana. Berduyun-duyun ahli masak dari seluruh pelosok negeri datang untuk mengikuti sayembara itu. Sang Raja sendiri yang turun tangan untuk menguji para ahli masak itu.

Calon juru masak yang pertama masuk ke dapur. Dia memasak air untuk merebus ayam. Tetapi karena dia memasak sambil terkantuk-kantuk, maka airnya mendidih sampai kering dan periuk pecah terbelah empat.

”Kau ceroboh sekali”, teriak Raja. ”Aku tidak mau mempunyai juru masak sepertimu”.
Calon juru masak yang kedua memasak nasi. Tetapi karena takaran air dan berasnya tidak sebanding, maka nasi yang ditanak ada yang mentah dan gosong.

”Kau tidak teliti”, hardik Raja kesal. ”Kau hanya akan membuang-buang bahan makanan keluarga kerajaan dengan percuma”.
Calon juru masak yang ketiga membuat gado-gado. Tetapi karena dia memilah-milih sayuran sambil membaca puisi, dia keliru memilih buncis menjadi daun talas.

”Kau tidak fokus”, guman Raja jengkel. ”Kau akan membuat semua hidangan menjadi berantakan”.

Demikianlah hingga calon juru masak yang ke-seribu empat belas diuji dan tak satupun yang lulus. Raja sudah hampir putus asa.  Calon juru masak yang yang ke-seribu lima belas muncul ketika hari menjelang sore. Dia anak lelaki bernama Agung yang berumur sebelas tahun, anak petani miskin yang tinggal di tepi hutan.

”Baiklah, Nak. Apa yang akan kau coba masak untuk keluarga kerajaan?”, tanya sang Raja lembut.
”Maaf Paduka, hamba bermaksud menghidangkan teh manis untuk keluarga paduka”, jawabnya sopan.
”Teh manis? Baiklah, sekarang memang saatnya keluarga kerajaan minum teh”.

Maka Agung mulai menyiapkan segala sesuatunya. Dia menyalakan kompor dan menjerang air sambil bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Dia menata perangkat minum teh sambil bersiul-siul riang, sesekali dia memukul lembut cangkir dengan ujung sendok sehingga menghasilkan dentingan musik yang indah. Alunan lembutnya terdengar ke seluruh penjuru ruangan istana sehingga seluruh penguni istana merasa terhibur. Ketika teh sudah di hidangkan, semua anggota kerajaan dipersilahkan menikmatinya.

”Astaga..., pekik sang Ratu tiba-tiba setelah menyeruput teh-nya.”Apakah teh ini dibuat di surga?”. Anggota keluarga kerajaan yang lain mengangguk setuju.
”Katakan, Nak. Apa resep membuat teh manis senikmat ini” tanya sang Raja kepada Agung.
”Hamba tidak punya resep khusus, Paduka. Itu hanya teh biasa”, jawab Agung sopan dan rendah hati.
”Tidak mungkin. Kami belum pernah mencicipi teh manis senikmat ini”.
”Benar Paduka. Itu hanya teh biasa. Hanya cara menyajikannya saja yang berbeda”.
”Apa maksudmu”
”Begini paduka. Saya menyajikan teh itu dengan hati yang riang gembira dan penuh rasa syukur. Orangtua saya mengajarkan kepada saya bahwa kalau kita melakukan segala sesuatu dengan hati yang riang gembira dan penuh rasa syukur, maka hasil dari pekerjaan kita akan membawa berkah”.
Seluruh anggota keluarga istana mengangguk-angguk kagum dengan pengetahuan anak itu.

”Apakah juru masak-ku selama tiga hari ini tidak riang gembira sehingga masakannya membuat kami sakit perut, muntah dan pusing?”, tanya Raja bingung.
”Betul sekali, Paduka. Hamba selama tiga hari ini sedang sakit gigi, jadi hamba sering marah-marah saat memasak di dapur”. Juru masak istana mengaku sambil malu-malu.
”Ya ampun, pantas saja masakanmu menjadi malapetaka karena kau tidak mengerjakannya dengan hati riang dan penuh syukur. Sebaiknya kau segera mendatangi tabib istana untuk mengobati gigimu itu”, titah Raja dengan tegas.

Kemudian kepada Agung, sang Raja berkata, ”Dan kau, Nak. Mulai hari ini kau akan menjadi juru masak pendamping juru masak yang lama. Dia sudah tua, tak lama lagi akan pensiun dan kau yang akan menggantikannya”.

Demikianlah, Agung akhirnya dikenal sebagai juru masak yang terhebat di seluruh pelosok dunia hanya karena satu hal : dia mengerjakan pekerjaannya dengan hati yang riang dan penuh rasa syukur.