Catatan : Cerita ini sudah pernah dimuat di Kompas Minggu, 30 Januari 2011
Angga berdiri dipintu rumah memandangi hujan gerimis yang turun sepanjang pagi ini. Dia sudah berpakaian rapi dan selesai sarapan, tetapi belum bisa berangkat ke sekolah gara-gara hujan. Tadinya Angga berencana berlari menembus hujan menuju sekolahnya yang jaraknya hanya sekitar dua ratus meter dari rumah, tetapi Mama tidak setuju.
Angga berdiri dipintu rumah memandangi hujan gerimis yang turun sepanjang pagi ini. Dia sudah berpakaian rapi dan selesai sarapan, tetapi belum bisa berangkat ke sekolah gara-gara hujan. Tadinya Angga berencana berlari menembus hujan menuju sekolahnya yang jaraknya hanya sekitar dua ratus meter dari rumah, tetapi Mama tidak setuju.
Andini, adik Angga
yang berusia lima tahun menawarkan payung imut warna pink berenda-renda miliknya
untuk dipinjam Angga. Angga hanya tersenyum manis menolak secara halus sambil
mencium pipi adiknya itu dengan gemas. Selain payung itu terlalu mungil dan
tidak mungkin bisa melindunginya dari hujan, dia pasti akan ditertawakan
teman-temannya disekolah kalau mereka melihat Angga memakai payung mainan anak
perempuan itu.
”Kenapa kamu tidak
pakai payung hitam milik Mama saja?”, usul Papa yang duduk dimeja makan. Papa
memakai baju hangat dan syal dileher, beliau sudah dua hari ini tidak masuk
kantor karena sedang demam.
”Nggak ah, Pa.
Angga mau menunggu sampai hujan reda saja”, jawab Angga cepat. Dia membayangkan
payung hitam milik Mama yang ukurannya raksasa itu. Saking besarnya payung itu,
Angga percaya payung itu pasti bisa dipakai untuk terjun payung para tentara
seperti yang sering dia lihat difilm.
”Kenapa sih kamu
nggak mau pakai payung itu?”, tanya Mama sambil menyiapkan sarapan Papa.
”Angga malu.
Payungnya besar banget”.
”Lho, kok malu?”,
Papa dan Mama saling berpandangan.
”Kalau Angga pakai
payung itu, nanti dikira ojek payung. Payung sebesar itu kan hanya dipakai anak-anak
yang mengojek payung dan orang-orang yang jualan ikan dan buah dipasar”, jawab
Angga. Papa tertawa, sementara Mama hanya geleng-geleng kepala mendengar
kata-kata Angga.
Beberapa menit
kemudian, hujannya bukannya reda malah bertambah deras. Angga mulai gelisah.
Kalau dia tidak berangkat sekarang, maka dia akan terlambat sampai disekolah.
”Kalau kamu malu
pakai payung raksasa ini, biar Papa antar kamu ke sekolah”. Tiba-tiba Papa
sudah berdiri disebelah Angga sambil memegang payung hitam itu. ”Jangan
khawatir, Papa yang akan pegang payungnya”.
Angga menyukai ide
itu, tetapi Papa kan sedang sakit. Kalau kena hujan dan angin, nanti demamnya
tambah parah. Tidak mungkin kalau Mama yang mengantar karena Mama sedang
mengajari Andini melukis diruang tengah.
”Angga akan
berangkat sendiri, Pa”. Akhirnya Angga tersenyum, kemudian meraih payung
ditangan Papa. Dia tidak mau merepotkan Papa yang sedang sakit.
”Lho, katanya malu
pakai payung raksasa?”, tanya Papa. Angga hanya nyengir lucu.
”Lebih baik malu karena
memakai payung raksasa daripada malu bolos sekolah cuma gara-gara hujan”. Papa
tertawa dan menepuk pundak Angga dengan bangga.
Angga melangkahkan
kakinya hati-hati untuk menghindari genangan air disepanjang jalan sambil
menggenggam tangkai payungnya dengan erat. Dia sudah siap jika seandainya nanti
ditertawakan teman-teman sekolahnya dan diledek sebagai ojek payung.
”Angga!!!!”,
sebuah suara terdengar memanggil dari pinggir jalan. Angga menoleh dan melihat
Yodi dan Yunika teman sekelasnya, sedang berteduh disebuah warung. Angga
langsung berjalan menghampiri.
”Ayo, sepuluh
menit lagi kita akan terlambat lho”, ajak Angga. Yodi dan Yunika melonjak
kegirangan karena payung Angga cukup besar untuk mereka bertiga. Ketika mereka
bertiga berjalan lagi kira-kira dua puluh meter, sebuah teriakan memanggil
mereka lagi.
”Anak-anak!”. Pemilik
suara itu adalah Pak Anton. Beliau adalah guru wali kelas mereka. Mereka bertiga
segera menghampiri Pak Anton yang berteduh disebuah Pos Satpam bersama Dian dan
Arto yang juga teman sekelas mereka.
”Kami boleh
menumpang nggak? Sepertinya payungmu cukup besar untuk kita berenam”, tanya Pak
Anton penuh harap. Tentu saja Angga, Yodi dan Yunika tidak keberatan. Kali ini
Pak Anton yang memegang payung karena tubuhnya yang paling tinggi diantara
mereka, sementara kelima Angga dan teman-temannya saling bergandengan tangan
disebelah kanan dan kiri beliau.
Begitu sampai
disekolah, Pak Anton, Yodi, Yunika, Dian dan Arto mengucapkan terima kasih kepada
Angga. Berkat payung raksasanya itu, mereka tidak basah dan juga tidak
terlambat sampai disekolah. Angga juga menjadi bersyukur karena keluarganya
memiliki payung ini. Karena selain untuk dipakai sendiri, dia juga bisa
menolong orang lain seperti yang terjadi barusan.
”Terima kasih ya,
Bella”, bisik Angga sambil mengelus-elus payungnya yang masih basah itu dengan
lembut. Nah, sekarang dia sudah memberi nama untuk payung itu dan mulai hari
ini akan menjadi payung kesayangannya.