Pages

Subscribe:

Labels

Monday 24 February 2014

Payung Raksasa


Catatan : Cerita ini sudah pernah dimuat di Kompas Minggu, 30 Januari 2011

Angga berdiri dipintu rumah memandangi hujan gerimis yang turun sepanjang pagi ini. Dia sudah berpakaian rapi dan selesai sarapan, tetapi belum bisa berangkat ke sekolah gara-gara hujan. Tadinya Angga berencana berlari menembus hujan menuju sekolahnya yang jaraknya hanya sekitar dua ratus meter dari rumah, tetapi Mama tidak setuju. 

Andini, adik Angga yang berusia lima tahun menawarkan payung imut warna pink berenda-renda miliknya untuk dipinjam Angga. Angga hanya tersenyum manis menolak secara halus sambil mencium pipi adiknya itu dengan gemas. Selain payung itu terlalu mungil dan tidak mungkin bisa melindunginya dari hujan, dia pasti akan ditertawakan teman-temannya disekolah kalau mereka melihat Angga memakai payung mainan anak perempuan itu.

”Kenapa kamu tidak pakai payung hitam milik Mama saja?”, usul Papa yang duduk dimeja makan. Papa memakai baju hangat dan syal dileher, beliau sudah dua hari ini tidak masuk kantor karena sedang demam.

”Nggak ah, Pa. Angga mau menunggu sampai hujan reda saja”, jawab Angga cepat. Dia membayangkan payung hitam milik Mama yang ukurannya raksasa itu. Saking besarnya payung itu, Angga percaya payung itu pasti bisa dipakai untuk terjun payung para tentara seperti yang sering dia lihat difilm.

”Kenapa sih kamu nggak mau pakai payung itu?”, tanya Mama sambil menyiapkan sarapan Papa.
”Angga malu. Payungnya besar banget”.
”Lho, kok malu?”, Papa dan Mama saling berpandangan.
”Kalau Angga pakai payung itu, nanti dikira ojek payung. Payung sebesar itu kan hanya dipakai anak-anak yang mengojek payung dan orang-orang yang jualan ikan dan buah dipasar”, jawab Angga. Papa tertawa, sementara Mama hanya geleng-geleng kepala mendengar kata-kata Angga.     

Beberapa menit kemudian, hujannya bukannya reda malah bertambah deras. Angga mulai gelisah. Kalau dia tidak berangkat sekarang, maka dia akan terlambat sampai disekolah.      

”Kalau kamu malu pakai payung raksasa ini, biar Papa antar kamu ke sekolah”. Tiba-tiba Papa sudah berdiri disebelah Angga sambil memegang payung hitam itu. ”Jangan khawatir, Papa yang akan pegang payungnya”.
Angga menyukai ide itu, tetapi Papa kan sedang sakit. Kalau kena hujan dan angin, nanti demamnya tambah parah. Tidak mungkin kalau Mama yang mengantar karena Mama sedang mengajari Andini melukis diruang tengah. 

”Angga akan berangkat sendiri, Pa”. Akhirnya Angga tersenyum, kemudian meraih payung ditangan Papa. Dia tidak mau merepotkan Papa yang sedang sakit.
”Lho, katanya malu pakai payung raksasa?”, tanya Papa. Angga hanya nyengir lucu.
”Lebih baik malu karena memakai payung raksasa daripada malu bolos sekolah cuma gara-gara hujan”. Papa tertawa dan menepuk pundak Angga dengan bangga.


Angga melangkahkan kakinya hati-hati untuk menghindari genangan air disepanjang jalan sambil menggenggam tangkai payungnya dengan erat. Dia sudah siap jika seandainya nanti ditertawakan teman-teman sekolahnya dan diledek sebagai ojek payung.

”Angga!!!!”, sebuah suara terdengar memanggil dari pinggir jalan. Angga menoleh dan melihat Yodi dan Yunika teman sekelasnya, sedang berteduh disebuah warung. Angga langsung berjalan menghampiri.

”Ayo, sepuluh menit lagi kita akan terlambat lho”, ajak Angga. Yodi dan Yunika melonjak kegirangan karena payung Angga cukup besar untuk mereka bertiga. Ketika mereka bertiga berjalan lagi kira-kira dua puluh meter, sebuah teriakan memanggil mereka lagi.

”Anak-anak!”. Pemilik suara itu adalah Pak Anton. Beliau adalah guru wali kelas mereka. Mereka bertiga segera menghampiri Pak Anton yang berteduh disebuah Pos Satpam bersama Dian dan Arto yang juga teman sekelas mereka.

”Kami boleh menumpang nggak? Sepertinya payungmu cukup besar untuk kita berenam”, tanya Pak Anton penuh harap. Tentu saja Angga, Yodi dan Yunika tidak keberatan. Kali ini Pak Anton yang memegang payung karena tubuhnya yang paling tinggi diantara mereka, sementara kelima Angga dan teman-temannya saling bergandengan tangan disebelah kanan dan kiri beliau.


Begitu sampai disekolah, Pak Anton, Yodi, Yunika, Dian dan Arto mengucapkan terima kasih kepada Angga. Berkat payung raksasanya itu, mereka tidak basah dan juga tidak terlambat sampai disekolah. Angga juga menjadi bersyukur karena keluarganya memiliki payung ini. Karena selain untuk dipakai sendiri, dia juga bisa menolong orang lain seperti yang terjadi barusan.

”Terima kasih ya, Bella”, bisik Angga sambil mengelus-elus payungnya yang masih basah itu dengan lembut. Nah, sekarang dia sudah memberi nama untuk payung itu dan mulai hari ini akan menjadi payung kesayangannya.