Pages

Subscribe:

Labels

Tuesday 11 March 2014

Mirky Si Merkat

“Berhenti menyuapi aku! Aku tidak lapar!”, teriak Mirky, si anak Mirkat mungil itu dengan kesal. 

“Blahhhh….”. Dia memutahkan bangkai capung yang barusan dimasukkan ke dalam mulutnya secara paksa.

“Jangan bodoh. Lapar atau tidak, kamu harus terus makan. Apa kamu berani bertaruh kalau besok kamu masih bisa makan?”, omel Mirko si mirkat dewasa.

“Kenapa kamu tidak mengurus dirimu sendiri saja?”
“Kami para mirkat dewasa harus mendahulukan mirkat kecil dulu”.
“Tetapi aku kan bukan anakmu”.
“Kamu harus belajar lebih banyak lagi, Nak. Mirkat dewasa selalu memberi makan anak kecil, tidak peduli itu anaknya atau tidak”, ujar mirkat dewasa lain.
Bah, kebiasaan yang aneh”, guman Mirky yang bengal itu.

Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan suasana siang yang terik itu.

“Ada bahaya, ada bahaya. Segera berlindung!”, seru Mirkat Pengawas dari atas bongkahan batu yang besar yang menjadi tempat pemantauan situasi. Serentak semua mirkat berdiri di atas kaki belakangnya, berdiri tegak lurus menoleh ke arah Mirkat pengawas.

“Aku bilang ada bahaya, bukan sirkus. Kenapa kalian berdiri seperti tiang jemuran?”, bentak Mirkat pengawas.

Tanpa disuruh dua kali, seluruh mirkat lari terbirit-birit memasuki lubang di bawah tunas rumput alang-alang. Mirkat Pengawas masuk terakhir ke dalam lubang sambil terengah-engah.

“Apa yang kamu lihat, Pengawas?”, tanya Mirkat Kepala Suku.
“Cacing tambang”, jawab Mirkat Pengawas santai.
“Apa?”
“Bercanda! Tadi ada burung elang, besar sekali”. 
Terdengar helaan nafas lega dari seluruh mirkat yang memenuhi lubang itu.

Sunyi sejenak, sejurus kemudian terdengar tangis seekor mirkat kecil.

“Sudahlah, tak perlu menangis. Kita semua selamat kok”, ujar Mirkat Pengawas kepada  mirkat kecil yang menangis itu.
“Aku tidak menangis gara-gara itu, tau!”, teriak mirkat kecil.
“Lalu kenapa?”, tanya induknya sambil mengusap punggung anaknya.
“Tadi ada yang menginjak punggungku waktu berlari”, adu mirkat kecil itu sambil melirik Mirky si bengal.
“Mirky? Apa penjelasanmu?”, tanya Mirkat Kepala Suku yang menjadi kepala suku sambil menatap tajam Mirky.
“Aku kan tidak sengaja. Kemarin waktu lari menyelamatkan diri, dia juga menginjak leherku. Aku tidak mengeluh apa-apa”.

“Mirky, dia itu masih kecil. Harusnya kamu dong yang hati-hati. Menyelamatkan diri boleh saja, tetapi jangan sampai membahayakan mirkat lain”, petuah Mirkat Kepala Suku panjang lebar.

“Kamu mengerti Mirky?”
“Hmmm…”
“Kamu mengerti tidak?”
“Hmm…”
“Mirky!!!”
“Apa sih?”
“Apakah kucing telah mengigit lidahmu?”
“Coba saja kalau dia berani”
“Mirky!!!”
“Iya…”
“Apanya yang iya?”
“Iya, aku mengerti”.
“Bagus”
“Memang bagus”

“Mirky!!!!”. Kali ini semua mirkat menatap tajam Mirky.
“Kenapa sih semua mirkat di lubang ini cerewet-cerewet. Heran!”, dengus Mirky sebal sambil melenggang keluar lubang.

“Mirky, apa yang kamu lakukan?”, lagi-lagi semua kawanan mirkat menjerit serentak.
“Menurut kalian apa? Berkelahi dengan kaktus? Aku mau melihat keadaan apakah sudah aman atau tidak”.
“Kamu benar mau melakukan itu?”
“Kenapa tidak? Aku adalah calon Mirkat Pengawas”.
“Siapa yang mengangkat kamu menjadi Mirkat Pengawas?”
“Tidak ada, tetapi aku berbakat menjadi Mirkat Pengawas”
“Oh ya?”, ujar Mirkat Kepala Suku. “Baik, sekarang coba kamu ke atas sana dan pastikan situasinya aman”.
“Baik”, jawab Mirky sambil melangkah keluar. Sebelum benar-benar menghilang dari ujung lubang, dia masih sempat menoleh kebelakang. Bukan untuk meminta doa restu dari mirkat-mirkat di belakangnya, tetapi untuk meleletkan lidah ke arah mirkat kecil yang masih sesegukan menangis.

“Mirky, kamu seharusnya malu sama dirimu sendiri. Kamu seharunya lahir sebagai kadal saja, bukan mirkat”, omel induk mirkat kecil itu.

Belum ada lima detik, tiba-tiba Mirky sudah masuk lagi ke lubang dengan tergopoh-gopoh.
Sontak semua mirkat menahan nafas, menunggu laporan dari Mirky. Tetapi sampai hitungan kesepuluh Mirky masih belum bicara, masih memegangi dadanya sambil menahan nafas.

“Mirky, kami menunggu laporanmu?”.
“Laporan apa”, Mirky malah bertanya.
“Apa yang kamu lihat di luar sana?”
“Lapangan berpasir, rumput, batu, sinar matahari yang teriknya sanggup membuat kulit kepalamu gosong. Tidak ada yang istimewa”
“Mirky!!!!”
“Apa?”
“Kami bertanya tentang bahaya”
“Bahaya apa?”
“Mirky!!!”
“Memangnya aku tadi bilang ada bahaya?”.
Akhirnya Mirky Kepala Suku menghampiri Mirky dan berbicara dengan tegas.

“Mirky, bawa bokongmu keluar sana dan gunakan matamu. Sekali lagi gunakan matamu untuk memantau situasi. Dan jangan kembali dengan laporan yang tidak penting. Mengerti???”.

Sambil bersungut-sungut Mirky kembali keluar dari lubang.
“Heran! Mirkat-mirkat dewasa sama sekali tidak punya selera humor. Payah!”.

Dengan mengendap-endap, Mirky menoleh kanan kiri. Merasa tidak ada bahaya, dia maju beberapa langkah. Tidak ada gerakan atau benda yang tampak mencurigakan. Segera Mirky berlari menuju batu tempat Mirkat Pengawas, kemudian berdiri tegak dengan kedua kaki belakangnya. Dia memandang sekelilingnya, kemudian melihat ke langit. Tidak ada tanda-tanda monster bersayap di angkasa.
 “Aman!”, pikirnya.

Kemudian dia berteriak sekeras-kerasnya,
”Situasi aman, guys! Silahkan keluar!”. 
Tidak ada respon.

“Aku bilang situasi aman!”, teriak Mirky lagi. Tetap tak ada jawaban.

“Apakah kalian sudah mati berdiri di situ? Aku bilang sudah aman!”
Masih tidak ada sahutan.

“Terkutuklah mirkat-mirkat tuli”, sungut Mirky sambil turun dari batu pengawas dan berlari masuk ke lubang.

“Apakah tikus tanah telah membawa kabur telinga kalian?”.
“Mirky, bicara yang sopan!”, bentak Mirkat Kepala Suku.
“Aku sudah dari tadi berteriak-teriak dari luar seperti mirkat kesurupan, kenapa kalian tidak menjawab?”
“Apa yang kamu teriakkan?”
“Ya Tuhan!”, Mirky kesal bukan kepalang. 
“Situasi sudah aman, tau! Kecuali kalau kalian lebih suka tinggal di lubang dan saling mencari kutu sepanjang hari”.

“Apakah kamu yakin sudah aman?”. Mirkat Kepala Suku menyipitkan matanya memandang Mirky.
“Oh tidak, tentu saja tidak! Di luar lubang ada segerombolan kucing liar yang akan menggigit leher kalian sampai putus begitu kalian menjulurkan leher kalian”.
“Mirky, selera humormu sungguh buruk”, ujar salah seekor mirkat dewasa ketika seluruh mirkat berjalan keluar.

“Mirky, selera humormu sungguh buruk. Cihhhh!”, Mirky menirukan ucapan mirkat barusan dengan mimik konyol. 
Selain pemberang dan cerewet, Mirky memang adalah mirkat kecil yang tidak sopan kepada yang lebih dewasa. Tetapi dia punya cita-cita mulia, ingin menjadi Mirkat Pengawas untuk koloninya.