“Berhenti menyuapi
aku! Aku tidak lapar!”, teriak Mirky, si anak Mirkat mungil itu dengan kesal.
“Blahhhh….”. Dia memutahkan bangkai capung yang barusan dimasukkan ke dalam mulutnya secara paksa.
“Blahhhh….”. Dia memutahkan bangkai capung yang barusan dimasukkan ke dalam mulutnya secara paksa.
“Jangan bodoh. Lapar
atau tidak, kamu harus terus makan. Apa kamu berani bertaruh kalau besok kamu
masih bisa makan?”, omel Mirko si mirkat dewasa.
“Kenapa kamu tidak
mengurus dirimu sendiri saja?”
“Kami para mirkat
dewasa harus mendahulukan mirkat kecil dulu”.
“Tetapi aku kan
bukan anakmu”.
“Kamu harus belajar
lebih banyak lagi, Nak. Mirkat dewasa selalu memberi makan anak kecil, tidak
peduli itu anaknya atau tidak”, ujar mirkat
dewasa lain.
“Bah, kebiasaan yang aneh”, guman Mirky yang bengal itu.
Tiba-tiba sebuah
suara mengejutkan suasana siang yang terik itu.
“Ada bahaya, ada
bahaya. Segera berlindung!”, seru Mirkat Pengawas dari atas bongkahan batu yang
besar yang menjadi tempat pemantauan situasi. Serentak
semua mirkat berdiri di atas kaki
belakangnya, berdiri tegak lurus menoleh ke arah
Mirkat pengawas.
“Aku bilang ada
bahaya, bukan sirkus. Kenapa kalian berdiri seperti tiang jemuran?”, bentak
Mirkat pengawas.
Tanpa disuruh dua
kali, seluruh mirkat lari terbirit-birit memasuki lubang di bawah
tunas rumput alang-alang. Mirkat Pengawas
masuk terakhir ke dalam lubang sambil terengah-engah.
“Apa yang kamu lihat,
Pengawas?”, tanya Mirkat Kepala Suku.
“Cacing tambang”,
jawab Mirkat Pengawas santai.
“Apa?”
“Bercanda! Tadi ada
burung elang, besar sekali”.
Terdengar helaan nafas lega dari seluruh mirkat yang memenuhi lubang itu.
Terdengar helaan nafas lega dari seluruh mirkat yang memenuhi lubang itu.
Sunyi sejenak,
sejurus kemudian terdengar tangis seekor mirkat kecil.
“Sudahlah, tak perlu
menangis. Kita semua selamat kok”, ujar Mirkat Pengawas kepada mirkat
kecil yang menangis itu.
“Aku tidak menangis
gara-gara itu, tau!”, teriak mirkat kecil.
“Lalu kenapa?”, tanya
induknya sambil mengusap punggung anaknya.
“Tadi ada yang
menginjak punggungku waktu berlari”, adu mirkat
kecil itu sambil melirik Mirky si bengal.
“Mirky? Apa
penjelasanmu?”, tanya Mirkat Kepala Suku yang menjadi kepala suku sambil
menatap tajam Mirky.
“Aku kan tidak
sengaja. Kemarin waktu lari menyelamatkan diri, dia juga menginjak leherku. Aku
tidak mengeluh apa-apa”.
“Mirky, dia itu masih
kecil. Harusnya kamu dong yang hati-hati. Menyelamatkan diri boleh saja, tetapi
jangan sampai membahayakan mirkat lain”, petuah Mirkat Kepala Suku panjang
lebar.
“Kamu mengerti
Mirky?”
“Hmmm…”
“Kamu mengerti
tidak?”
“Hmm…”
“Mirky!!!”
“Apa sih?”
“Apakah kucing telah
mengigit lidahmu?”
“Coba saja kalau dia berani”
“Mirky!!!”
“Iya…”
“Apanya yang iya?”
“Iya, aku mengerti”.
“Bagus”
“Memang bagus”
“Mirky!!!!”. Kali ini
semua mirkat menatap tajam Mirky.
“Kenapa sih semua mirkat di lubang ini cerewet-cerewet. Heran!”, dengus
Mirky sebal sambil melenggang keluar lubang.
“Mirky, apa yang kamu
lakukan?”, lagi-lagi semua kawanan mirkat menjerit serentak.
“Menurut kalian apa?
Berkelahi dengan kaktus? Aku mau melihat keadaan apakah sudah aman atau tidak”.
“Kamu benar mau
melakukan itu?”
“Kenapa tidak? Aku
adalah calon Mirkat Pengawas”.
“Siapa yang
mengangkat kamu menjadi Mirkat Pengawas?”
“Tidak ada, tetapi
aku berbakat menjadi Mirkat Pengawas”
“Oh ya?”, ujar Mirkat
Kepala Suku. “Baik, sekarang coba kamu ke atas sana dan pastikan situasinya
aman”.
“Baik”, jawab Mirky
sambil melangkah keluar. Sebelum benar-benar menghilang dari ujung lubang, dia
masih sempat menoleh kebelakang. Bukan untuk meminta doa restu dari
mirkat-mirkat di belakangnya, tetapi untuk meleletkan lidah ke arah mirkat kecil yang masih sesegukan menangis.
“Mirky, kamu
seharusnya malu sama dirimu sendiri. Kamu seharunya lahir sebagai kadal saja,
bukan mirkat”, omel induk mirkat kecil itu.
Belum ada lima detik,
tiba-tiba Mirky sudah masuk lagi ke lubang
dengan tergopoh-gopoh.
Sontak semua mirkat
menahan nafas, menunggu laporan dari Mirky. Tetapi
sampai hitungan kesepuluh Mirky masih belum bicara, masih memegangi dadanya
sambil menahan nafas.
“Mirky, kami menunggu
laporanmu?”.
“Laporan apa”, Mirky
malah bertanya.
“Apa yang kamu lihat
di luar sana?”
“Lapangan berpasir,
rumput, batu, sinar matahari yang teriknya sanggup membuat kulit kepalamu
gosong. Tidak ada yang istimewa”
“Mirky!!!!”
“Apa?”
“Kami bertanya
tentang bahaya”
“Bahaya apa?”
“Mirky!!!”
“Memangnya aku tadi
bilang ada bahaya?”.
Akhirnya Mirky Kepala
Suku menghampiri Mirky dan berbicara dengan tegas.
“Mirky, bawa bokongmu
keluar sana dan gunakan matamu. Sekali lagi gunakan matamu untuk memantau situasi.
Dan jangan kembali dengan laporan yang tidak penting. Mengerti???”.
Sambil
bersungut-sungut Mirky kembali keluar dari lubang.
“Heran! Mirkat-mirkat
dewasa sama sekali tidak punya selera humor. Payah!”.
Dengan
mengendap-endap, Mirky menoleh kanan kiri. Merasa tidak ada bahaya, dia maju
beberapa langkah. Tidak ada gerakan atau benda yang tampak mencurigakan. Segera
Mirky berlari menuju batu tempat Mirkat Pengawas,
kemudian berdiri tegak dengan kedua kaki belakangnya. Dia memandang
sekelilingnya, kemudian melihat ke langit.
Tidak ada tanda-tanda monster bersayap di angkasa.
“Aman!”, pikirnya.
Kemudian dia
berteriak sekeras-kerasnya,
”Situasi aman, guys! Silahkan keluar!”.
Tidak ada respon.
”Situasi aman, guys! Silahkan keluar!”.
Tidak ada respon.
“Aku bilang situasi
aman!”, teriak Mirky lagi. Tetap tak
ada jawaban.
“Apakah kalian sudah
mati berdiri di situ? Aku bilang sudah aman!”.
Masih tidak ada sahutan.
Masih tidak ada sahutan.
“Terkutuklah
mirkat-mirkat tuli”, sungut Mirky sambil turun dari batu pengawas dan berlari
masuk ke lubang.
“Apakah tikus tanah
telah membawa kabur telinga kalian?”.
“Mirky, bicara yang
sopan!”, bentak Mirkat Kepala Suku.
“Aku sudah dari tadi
berteriak-teriak dari luar seperti mirkat kesurupan, kenapa kalian tidak
menjawab?”
“Apa yang kamu
teriakkan?”
“Ya Tuhan!”, Mirky
kesal bukan kepalang.
“Situasi sudah aman, tau! Kecuali kalau kalian lebih suka tinggal di lubang dan saling mencari kutu sepanjang hari”.
“Situasi sudah aman, tau! Kecuali kalau kalian lebih suka tinggal di lubang dan saling mencari kutu sepanjang hari”.
“Apakah kamu yakin
sudah aman?”. Mirkat Kepala Suku menyipitkan matanya memandang Mirky.
“Oh tidak, tentu saja
tidak! Di luar lubang ada segerombolan kucing liar yang
akan menggigit leher kalian sampai putus begitu kalian menjulurkan leher
kalian”.
“Mirky, selera
humormu sungguh buruk”, ujar salah seekor mirkat dewasa ketika seluruh mirkat
berjalan keluar.
“Mirky, selera
humormu sungguh buruk. Cihhhh!”, Mirky menirukan
ucapan mirkat barusan dengan mimik konyol.
Selain pemberang dan cerewet, Mirky memang adalah mirkat kecil yang tidak sopan kepada yang lebih dewasa. Tetapi dia punya cita-cita mulia, ingin menjadi Mirkat Pengawas untuk koloninya.
Selain pemberang dan cerewet, Mirky memang adalah mirkat kecil yang tidak sopan kepada yang lebih dewasa. Tetapi dia punya cita-cita mulia, ingin menjadi Mirkat Pengawas untuk koloninya.