Tigri adalah anak seekor Harimau Belang. Tigri suka sekali
berguling-guling diatas tanah berdebu. Meski sudah sering diomelin induknya
karena Tigri sering pulang dalam keadaan kotor, tetapi setiap kali melihat
gumpalan debu ditanah, Tigri akan segera melompat dan berguling-guling
diatasnya. Seperti hari ini, Tigri menemukan gumpalan debu baru. Langsung saja
dia melompat dan berguling-guling sehingga debu-debu beterbangan kemana-mana.
“Uhuk, uhuk...” terdengar seekor sigung terbatuk-batuk. “Tigri, lihat perbuatanmu.
Debu-debu beterbangan. Penyakit asmaku bisa kambuh gara-gara kamu”.
Tigri hanya tertawa-tawa kegirangan, tidak peduli dengan omelan singung.
“Tigri, kamu punya kuping tidak?”
“Punya”, jawab Tigri cepat.
“Kamu tidak mendengarkan aku?”
“Aku sedang bersenang-senang”
“Dasar anak nakal”
“Waktu kamu kecil, pasti kamu juga nakal seperti aku”
“Amit-amit”
“Benarkah? Kenakalanmu lebih amit-amit dari aku?”
“Tigri, kamu nakal sekali!”
Tigri kembali tertawa-tawa sambil bergulingan diatas debu-debu. Singung itu akhirnya mengungsi dari sarangnya
yang halamannya penuh dengan debu-debu yang beterbangan.
Setelah lelah berguling-guling dan tertawa-tawa seperti macan
sinting, Tigri tertidur diatas debu. Dia terbangun ketika sesuatu menyentuh hidungnya.
Tigri membuka matanya kaget dan buru-buru berdiri.
“Apa yang kamu lakukan?”, seru Tigri kepada anak beruang didepannya.
“Aku menyentuh hidungmu”
“Untuk apa?”
“Untuk memastikan apakah kamu sudah mati atau tidak”
“Enak saja kamu mengira aku mati”
“Lalu kenapa kamu tergeletak di atas debu?”
“Bukan urusanmu”, jawab Tigri karena malu mengakui kegemarannya
berguling-guling di atas debu.
“Ya sudah”, anak beruang itu melengos dan berlalu.
“Hei, tunggu dulu”, sergah Tigri.
“Ada
apa lagi?”
“Dengan apa kamu menyentuh hidungku?”
“Dengan hidungku tentu saja”
“Menjijikkan”
“Baiklah. Lain kali aku akan menyentuh hidungmu dengan bokongku”
“Kamu tidak sopan”, teriak Tigri dengan kesal. Kemudian dia berlari
pulang.
“Tigri, ada yang aneh denganmu”, seru si anak beruang dibelakangnya.
“Kamu yang aneh”, balas Tigri sambil terus berlari.
“Aku serius!”. Tetapi Tigri sudah tidak mendengar karena sudah jauh.
“Tigri, apa yang terjadi denganmu”, suara rusa menghentikan langkah Tigri.
“Memangnya ada apa denganku?”
“Kamu tidak tau?”
“Tentu saja aku tidak tau. Kalau aku tau, aku tidak akan bertanya”
“Oh Tigri yang malang”
“Berhentilah berbasa-basi”
“Kamu kehilangan belangmu”
“Hahaha, kamu lucu sekali”, Tigri tertawa sehingga membuat rusa itu kesal.
“Kamu akan menutup mulut lebarmu itu kalau kamu melihat badanmu
sekarang”.
“Waaaaaaaa!!!!!!!!!!!”. Tigri menjerit sekencang-kencangnya ketika
menolehkan kepalanya melihat badannya yang ternyata hanya berwarna kuning polos
tanpa belang.
“Kemana belangku?”, seru Tigri panik.
“Mana aku tau?”
“Aku kehilangan belangku”
“Kenapa kau tidak tertawa saja seperti tadi?”
“Mana mungkin aku tertawa
kalau aku sedang kehilangan belangku”
“Sebaiknya kamu cari belangmu sebelum hari gelap. Kalau sudah gelap
akan susah mencari belangmu yang berwarna hitam itu”.
“Maukah kamu membantuku mencari belangku yang hilang”
“Baiklah”, jawab rusa itu.
Keduanya kemudian menyusuri jalan yang tadi dilewati Tigri.
“Lang!”, teriak Tigri. Rusa mendengus tidak mengerti.
“Bel!”, teriak Tigri lagi.
“Kamu ngapain sih?”, tanya rusa penasaran.
“Aku sedang memanggil belangku”
“Belangmu punya nama?”
“Mungkin”
“Kok mungkin?”
“Aku tidak yakin”
“Kamu yakin hanya kehilangan dua belang”
“Tidak”
“Kenapa kamu hanya memanggil dua nama tadi?”
“Belang kan hanya memiliki kemungkinan dua nama panggilan : Bel atau
Lang”
Rusa mengernyitkan dahinya.
“Kamu yakin mereka akan menjawab panggilanmu?”
“Tidak. Mereka kan tidak punya mulut”
“Oh, kamu memang jenius sekali”
“Terima kasih”
“Ya ampun”. Rusa itu geleng-geleng kepala. Ketika mereka bertemu zebra, rusa menyikut pelan
bahu Tigri.
“Bukankah itu belangmu?”
“Mirip, tetapi sepertinya bukan. Tetapi akan aku tanyakan” . Tigri mendekati zebra.
“Maaf ya, aku ingin
bertanya. Dimana kamu menemukan belang yang sedang kamu
pakai itu?”
“Menemukan belang? Kamu aneh sekali. Belang ini sudah aku miliki
sejak lahir”
“Kalau begitu apakah kamu melihat belangku?”, tanya Tigri lagi. Zebra
itu memandangi badan Tigri.
“Memangnya kamu kehilangan belang?”
“Tentu saja. Apakah kamu melihat ada belang di tubuhnya
sekarang?’, ujar rusa tidak sabar.
“Memangnya musang memiliki belang?”, si
zebra malah balik bertanya
Tigri langsung menangis di bahu rusa.
“Hu, hu, huuu…tanpa belang,
semua akan mengira aku musang”. Rusa menatap zebra tajam.
“Lihat hasil perbuatanmu”,
omel rusa kepada zebra. Kemudian rusa mengelus kepala
Tigri. “Tidak apa-apa. Masih mending kamu disangka musang daripada kadal”.
“Aku tidak mau disangka musang atau kadal. Titik!”, rajuk Tigri. Seekor musang dan kadal melongokkan kepalanya dari balik sebuah pohon
dengan wajah tersinggung.
“Apa maksudmu?”, seru
mereka.Rusa dan Tigri langsung menyingkir.
Setelah lelah mencari seharian dan hari mulai gelap, akhirnya dengan
takut-takut Tigri pulang kerumah. Pulang dalam keadaan kotor sudah cukup buruk,
apalagi kalau pulang tanpa belang. Pasti ibunya akan marah sekali. Tetapi Tigri
sudah siap, setelah dimarahi mungkin ibunya akan bisa membuatkan belang baru
untuk Tigri.
“Kenapa pulang terlambat, anakku yang jorok?”, sambut ibunya didepan
sarang. Tigri tertunduk takut-takut. Ibunya menyentuh
hidungnya kepada hidung Tigri dengan penuh kasih sayang. Tigri merasa sedikit
tenang sekarang.
“Ibu, aku kehilangan belangku”, ujar Tigri pelan dan mulai menangis.
“Ibu bisa lihat itu”
“Tanpa belang semua akan menyangka aku musang atau kadal”. Lagi-lagi seekor musang dan kadal melongokkan
kepalanya dari balik sebuah pohon.
“Apanya yang salah sih dengan kami?”
“Ya ampun, kalian kok ada dimana-mana?”, seru Tigri gemas. Ibu Tigri
tersenyum.
“Apakah kamu berjanji tidak akan bermain-main dengan debu lagi dan
menyebabkan udara menjadi kotor kalau belangmu sudah kembali?”. Tigri mengangguk. Ibu Tigri
tersenyum penuh arti.
“Coba sekarang kamu kibas-kibaskan tubuhmu”, suruhnya. Tigri langsung
mengibas-ibaskan tubuhnya dan debu-debu beterbangan kemana-mana.
“Uhuk, uhuk, uhuk…”, Tigri terbatuk-batuk. “Dari mana datangnya
debu-debu ini?”.
“Tentu saja dari tubuhmu, tidak mungkin dari langit”, jawab Ibunya.
“Dan lihatlah, sekarang belangmu telah kembali”.
“Mana, mana…”, seru Tigri sambil memandangi tanah di bawah kakinya.
“Belang tidak berjalan sendiri, anak nakal. Tetapi melekat di badan”. Ibu
Tigri mengelus kepala Tigri pelan. “Debu-debu tadi telah menutupi belangmu”.
Dan benar saja, belang Tigri telah kembali. Sekarang Tigri sudah
memiliki belang lagi.
Tigri meloncat kesana kemari.
“Nah, sekarang kamu bertingkah seperti musang dan kadal”, ledek musang dan kadal yang masih berada di sekitar itu. Tetapi Tigri
tidak peduli, dia gembira belangnya telah kembali.