Di
SMA tempat aku sekolah saat ini, aku bukan termasuk siswa yang petakilan.
Bahkan kata teman-temanku, aku itu agak-agak nggak gaul. Dunia memang kadang
kejam. Masa gara-gara aku lebih memilih gentayangan di antara buku-buku
perpustakaan daripada ngumpet di belakang kantin sekolah untuk merokok, aku
dituduh nggak gaul? Heran!
Tetapi tuduhan teman-temanku mungkin ada benarnya. Kalau kebetulan ada pelajaran kosong atau jam istirahat, aku lebih suka bersilaturahmi ke perpustakaan, meski kadang godaan untuk lirik-lirikan dengan cewek kelas sebelah di taman sekolah terlihat sangat menggoda. Atau bermain sepakbola di lahan kosong dekat kuburan di belakang kantin. Tetapi siapa yang peduli? Aku memang lebih suka berkutat dengan buku-buku fiksi dan biografi orang-orang terkenal.
Hari ini jam pelajaran ketiga dan ke-empat kosong. Pak Simanjuntak lagi-lagi rematiknya kumat, jadi beliau tidak masuk. Tentu saja ini merupakan kabar sukacita untuk seisi kelasku. Pak Simanjuntak adalah guru Matematika paling horor di sekolahku. Horor bukan karena ada hantunya, tetapi cubitan beliau cukup mematikan. Apalagi kalau ada siswa yang lupa mengerjakan PR, bakalan habis deh itu bodi bentol-bentol kena cubitan berbisa.
Ketika seisi kelas sudah berhamburan menuju alam masing-masing, aku langsung ngeloyor menuju perpustakaan. Setelah mengucapkan salam kepada Ibu Sri penjaga perpustakaan dan dibalas dengan seringai aneh, aku langsung berjalan menuju rak buku favoritku. Hari ini aku akan membaca kisah hidup Louis Pasteur sampe tuntas…tas…tas…tas! Persis seperti iklan terlambat datang bulan di TV.
Ketika sedang asyik membaca halaman kelima, tiba-tiba ekor mataku seperti menangkap sosok seseorang diujung sana. Glek!!! Mimpi apa aku semalam sehingga hari ini ada bidadari kesasar di perpustakaan. Ah, aku memang konyol. Sebenarnya dia bukan bidadari. Namanya Tantri, cewek kelas sebelah yang sudah aku taksir sejak hari pertama masuk sekolah. Wajahnya manis dan gayanya cuek. Sungguh cewek impian dan dambaan hati siang dan malam selama ini.
Aku hanya melirik sekilas, setelah itu aku pura-pura sibuk membaca meski jantung sudah dag dig dug crot. Aku bukan tipe cowok yang langsung jumpalitan ketika melihat cewek cakep seperti cowok yang belum pernah melihat cewek selama satu abad. Bahkan dengan cewek yang aku taksir, aku tetap suka pura-pura cuek. Tidak heran kalau banyak cewek yang aku taksir keburu disambar cowok lain.
Sosok itu mulai mendekati posisiku sambil sesekali dia mengaduk-aduk buku di atas rak yang sedang dia lewati.
“Hai…”. Tiba-tiba dia menyapa. Aku mengangkat kepalaku memandang dia, kemudian menoleh ke kanan, kiri dan belakang. Aku merasa tidak yakin dia menyapaku.
“Eh, hai…”, balasku kikuk.
“Lagi
ngapain?”, tanya dia basa-basi. Ya ampun, basa-basi sih basa-basi, tetapi
jangan basi amat dong. Aku hanya
tersenyum sambil mengangkat buku ditanganku. Dia sejenak memperhatikan judul
buku yang aku pegang.
“Wah, berat!”
“Nggak.
Bukunya tipis kok, jadi enggak berat sama sekali”. Dia tertawa kecil. Aduhhhh,
manisnya…pasti cewek ini tiap hari dikerubuti semut.
“Maksudku buku yang kamu baca isinya berat. Tentang ilmuwan”.
Aku garuk-garuk betis karena salah tingkah. Ketahuan deh ‘lola’nya. Loading-nya lama maksudnya. Kirain apa gitu yang berat seperti hasrtaku padamu kasihku.
“Maksudku buku yang kamu baca isinya berat. Tentang ilmuwan”.
Aku garuk-garuk betis karena salah tingkah. Ketahuan deh ‘lola’nya. Loading-nya lama maksudnya. Kirain apa gitu yang berat seperti hasrtaku padamu kasihku.
Dia kemudian kembali tekun mengaduk-aduk buku dirak sebelahku.
“Kamu sering ke perpustakaan kan?”, tanya dia lagi sambil masih sibuk mencari-cari buku. Aku diam. Pertanyaan nggak penting.
“Kamu
sering keperpustakaan kan?’. Dia mengulang pertanyaannya, kali ini sambil
menatapku serius.
Ya ampun. Tatapannya itu sungguh menusuk sekaligus menggoda imanku. Seolah-olah kalau terlalu sering mengunjungi perpustakaan adalah sebuah tindakan kriminal.
“Iya”, jawabku takut-takut. Nah, aku sudah ketularan menganggap hobby nongkrong di perpustakaan adalah melanggar hukum.
“Kebetulan!!!”,
serunya tiba-tiba. Aku nyaris melonjak karena kaget. “Aku lagi nyari buku
tentang puisi-puisi nih. Tetapi nggak ketemu dari tadi. Bisa bantuin aku
nggak?”
Astaganaga. Mencari buku puisi di deretan rak buku-buku biografi sama saja dengan mencari bayi kucing di tumpukan kulit duren. Cantik-cantik, ternyata tulalit juga. Tetapi aku tetap suka kok. Menikahlah denganku.
Dengan mantap dan tanpa mengucapkan sepatah kata, aku langsung berdiri dan berjalan gagah menuju rak buku-buku Sastra di koridor paling Selatan. Dia berlari-lari kecil mengikutiku seperti anak anjing mengikuti induknya.
“Kalau
mau nyari buku-buku puisi atau cerpen, nyarinya di rak buku Sastra”, ujarku
sambil mempersilahkan dia mencari sendiri.
“Ya
ampun. Kok aku enggak kepikiran ya mencari di rak buku Sastra. Hehehe…”, dia
cengengesan. “Terima kasih ya. Kamu adalah pahlawanku”, pujinya kemudian. Kalau
begitu, cium dong.
Wajahku mungkin sudah berubah warna menjadi pelangi gara-gara celutukannya yang terakhir. Tubuhku serasa langsung terbang ke langit-langit. Dasar norak! Kelihatan sekali belum pernah dipuji cewek. Buru-buru aku melambai sambil kembali ketempatku semula sebelum ketahuan kalau aku girang sekali dipuji seperti itu.
Wajahku mungkin sudah berubah warna menjadi pelangi gara-gara celutukannya yang terakhir. Tubuhku serasa langsung terbang ke langit-langit. Dasar norak! Kelihatan sekali belum pernah dipuji cewek. Buru-buru aku melambai sambil kembali ketempatku semula sebelum ketahuan kalau aku girang sekali dipuji seperti itu.
Sejak saat itu, Tantri mulai sering minta bantuanku. Ketika kelasnya sedang ada tugas untuk membuat karya tulis tentang bercocok tanam palawija atau bedah cerpen Sutan Takdir Alisyahbana atau referensi tentang ekosistem katak, dia langsung merayuku untuk menemaninya mencari buku-buku yang berhubungan dengan tugas-tugasnya itu.
Berhubung dia adalah siswi yang hanya tiga kali setahun mengunjungi perpustakaan, maka untuk mencari sebuah buku di perpustakaan dia bisa menghabiskan waktu seharian karena dia akan mencari dari sudut sebelah sini sampai ke sebelah itu.
Sementara
dengan bantuanku, aku hanya perlu menunjuk dengan sekali tunjuk rak buku
tertentu untuk menunjukkan lokasi buku yang dia cari. Maklum, sejak SD dan SMP
perpustakaan sudah seperti daerah kekuasaanku karena hampir tiap hari aku
kesana. Jadi aku sudah hafal buku apa letaknya disebelah mana.
Aku pikir dengan semakin intensnya pertemuanku dengan dia, maka akan semakin terbuka jalanku untuk mendekati dia. Bahkan aku sudah mulai lancang membayangkan dia akhirnya berhasil menjadi pacarku. Mungkin sekarang dia sudah mulai suka kepadaku karena dia sering minta bantuanku. Kata lirik lagu kan cinta bisa tumbuh seiring waktu berjalan.
Jam istirahat, aku langsung menuju perpustakaan. Tadi pagi aku dan Tantri janjian untuk bertemu di perpustakaan. Dia katanya membutuhkan buku tentang Revolusi Prancis sebagai referensi lomba debat yang akan dia ikuti minggu depan di Balai Kota.
Aku sudah menunggu selama sepuluh menit dan dia belum muncul juga. Sementara buku tebal dengan judul Revolusi TerBesar di Dunia tergeletak begitu saja dihadapanku. Perpustakaan yang sepi semakin mengukuhkan niatku. Ya, hari ini aku berniat akan menyatakan cinta kepada Tantri, tentu saja setelah aku membantunya mencari bahan tentang Revolusi Prancis. Mungkin setelah mendapat bantuanku, dia nanti akan merasa tidak enak untuk menolakku. Hahaha, aku memang sedikit licik.
Lima belas menit berlalu, akhirnya dia muncul. Tetapi dia tidak sendiri, dia datang bersama seorang cowok siswa kelas tiga yang (jujur saja ya) tidak lebih cakep dariku.
“Hai,
sudah lama?”, sapanya ramah.
Aku
hanya tersenyum simpul.
“Oh
iya, kenalin dong. Ini cowokku. Dia juga sedang cari bahan fisika tentang
Hidrodinamika.”.
Glek. Aku tercegat. Cowoknya? Gagal lagi deh. Ternyata cewek impian sudah keburu disambar orang lagi. Cowok itu mengulurkan tangannya setengah hati, matanya tetap menatap Tantri. Aku membalas uluran tangan cowok itu tak kalah ogah-ogahan, juga ikut-ikutan menatap Tantri. Emang enak?
“Ini bukunya, sudah ketemu”, ujarku sambil menyodorkan buku yang sejak tadi sudah aku temukan.
“Udah ketemu ya. Aduh, terima kasih”, seru Tantri girang. Dia menatap cowok di sebelahnya dengan mesra. Si cowok mengedipkan matanya genit. Keduanya mulai saling pandang-pandangan dan nyengir-nyengir nafsu. Puihhhh…menjengkelkan sekali. Dasar pasangan mesum. Get a room, please!
Aku sudah tidak tahan lagi. Bagai pemain sinetron, aku langsung berakting ala kadarnya.
“Eh, sorry ya. Aku ada PR yang belum aku kerjakan. Aku harus balik ke kelas nih sekarang”, ujarku buru-buru sambil hendak beranjak pergi.
Glek. Aku tercegat. Cowoknya? Gagal lagi deh. Ternyata cewek impian sudah keburu disambar orang lagi. Cowok itu mengulurkan tangannya setengah hati, matanya tetap menatap Tantri. Aku membalas uluran tangan cowok itu tak kalah ogah-ogahan, juga ikut-ikutan menatap Tantri. Emang enak?
“Ini bukunya, sudah ketemu”, ujarku sambil menyodorkan buku yang sejak tadi sudah aku temukan.
“Udah ketemu ya. Aduh, terima kasih”, seru Tantri girang. Dia menatap cowok di sebelahnya dengan mesra. Si cowok mengedipkan matanya genit. Keduanya mulai saling pandang-pandangan dan nyengir-nyengir nafsu. Puihhhh…menjengkelkan sekali. Dasar pasangan mesum. Get a room, please!
Aku sudah tidak tahan lagi. Bagai pemain sinetron, aku langsung berakting ala kadarnya.
“Eh, sorry ya. Aku ada PR yang belum aku kerjakan. Aku harus balik ke kelas nih sekarang”, ujarku buru-buru sambil hendak beranjak pergi.
“Eh,
tunggu dulu. Revolusi Prancis ada di halaman berapa?”. Tantri menahan tanganku
sambil mengacungkan buku tebal di tangannya.
“Lihat aja daftar isinya”, jawabku pendek. Aduhh, bidadariku ini masih saja tulalit.
“Buku hidrodinamikanya bagaimana?”, aku masih sempat mendengar teriakan Tantri di belakangku ketika aku melewati pintu keluar.
“Cari
aja sendiri”, jawabku dalam hati.
“Di
rak sebelah mana?”
“Cari
aja di semua rak, nanti pasti ketemu kok”, jawab cuek sambil menghilang di
balik pintu, melesat ke luar.
Berani taruhan, pasti tadi Tantri langsung dipelototi Ibu Sri. Di perpustakaan kan dilarang teriak-teriak. Ah, aku mungkin jahat. Tetapi yang namanya hati memang tidak bisa dibohongi. Aku cemburu.