Pages

Subscribe:

Labels

Monday, 24 February 2014

Pangeran Peter



Sudah jam 6.30, tetapi sehabis mandi Peter bukannya mengganti piyamanya dengan seragam sekolahnya. Dia malah duduk di tempat tidur sibuk memikirkan alasan apa yang kira-kira paling masuk akal agar hari ini bisa bolos sekolah. 

Pura-pura sakit adalah alasan yang paling dibenci Peter sebab dia selalu bilang kepada semua orang kalau dia adalah anak yang kuat dan sehat.  

Kalau pura-pura pingsan, lebih parah lagi. Nanti dikira Peter pingsan karena tidak tahan kena air di pagi hari sehingga begitu selesai mandi langsung pingsan. Bah, ini lebih parah daripada pura-pura sakit. Tiba-tiba pintu kamar Peter terbuka dan dari balik pintu muncul Mama.

“Lho, Peter kok belum siap-siap?”.  Peter diam saja. Mama kemudian berjalan mendekati Peter yang masih duduk terdiam ditempat tidurnya.
“Kamu sakit?”. Peter menggeleng.
“Kamu lupa mengerjakan PR sehingga takut nanti kena hukuman?”. Lagi-lagi Peter menggeleng.
“Ma, hari ini Peter mau bolos dulu. Boleh nggak, Ma?”, tanya Peter ragu-ragu.
“Kenapa”, Tanya Mama sambil memegang kening Peter, memastikan apakah Peter demam.
“Peter malu, Ma”. Peter menundukkan kepalanya dengan sedih, matanya mulai berkaca-kaca.
“Malu kenapa?”. Setelah terdiam beberapa saat, mulailah Peter bercerita.

Kemarin pada saat jam pelajaran pertama Bahasa Indonesia, seluruh anak kelas tiga mendapat giliran maju satu persatu ke depan kelas untuk bercerita tentang cita-cita mereka bila sudah besar nanti. Ketika giliran Peter, semua teman sekelas Peter tertawa terbahak-bahak hanya karena Peter bercerita bahwa cita-citanya adalah ingin menjadi pangeran.  Pada jam istirahat sampai pulang sekolah, Peter menjadi bahan olok-olokan teman-temannya.

“Kamu mau jadi pangeran apa? Pangeran kodok?”, begitu bunyi ledekan Tony.
“Nah, ini dia pangeran kita. Beri hormat!”, sambung Aby.
“Yang Mulia, sudilah kiranya menikahi teman saya yang gembul”, goda Tria sambil menarik tangan Noni yang bertubuh gendut. Noni memandangi Peter malu-malu sambil mengedipkan matanya genit.
“Hoekkkk….”, Peter langsung melarikan diri.  Dia menyesal kenapa tadi tidak bercerita tentang cita-cita menjadi dokter atau tentara. Tetapi apa salahnya bercita-cita menjadi pangeran? Noni yang tadi bercerita bahwa dia ingin menjadi pawang unta saja tidak ada yang meledek.

“Memang menjadi pangeran tidak boleh ya, Ma?”, tanya Peter kepada Mama setelah menceritakan kejadian kemarin.
“Kamu kenapa bercita-cita menjadi pangeran?”, tanya Mama lembut.
“Pangeran itu kan gagah. Pangeran juga suka menyelamatkan orang-orang. Pangeran itu juga harus pintar supaya nanti bisa jadi raja yang bijaksana memerintah rakyatnya. Makanya Peter ingin jadi pangeran”. Mendengar itu Mama tersenyum geli sekaligus bangga.

“Bagus kalau kamu bercita-cita ingin menjadi pangeran. Jadi kenapa harus malu?”.
“Tetapi teman-teman Peter meledek terus, Ma”. Peter kembali cemberut.
“Lho, bagaimana bisa menjadi pangeran kalau baru diledek saja sudah malu?”, goda Mama. Peter terdiam, kemudian tersenyum sambil memeluk Mamanya.
“Pangeran Peter siap berangkat sekolah sekarang?”, tanya Mama sambil mengelus rambut Peter. Peter mengangguk mantap.

Dengan dada berdebar-debar, Peter bersiap memasuki kelas  yang sudah ramai oleh teman-teman sekelasnya. Maklum, sepuluh menit lagi bel tanda pelajaran pertama dimulai akan segera berbunyi. Begitu memasuki ruangan, seisi kelas langsung menoleh kearah Peter. Peter dengan tenang berjalan menuju bangkunya dibarisan tengah.

“Woi, sang pangeran sudah datang. Kira-kira tadi malam sudah membunuh berapa ekor naga ya?”. Tony mulai meledek lagi yang disambut tawa seluruh teman-teman sekelas Peter.
“Dan sudah menyelamatkan berapa putri dari tawanan monster”, timpal Tria. Peter hanya tersenyum.

“Pangeran Peter mau belajar dulu hari ini biar pintar dan nanti bisa menjadi raja yang arif dan bijaksana serta disayangi rakyatnya. Jadi tolong para pengawal dan dayang-dayang tidak boleh berisik, nanti saya hukum  berkelahi dengan macan”, jawab Peter dengan tenang sambil meletakkan tasnya di atas meja, kemudian tersenyum manis kepada seluruh teman-teman sekelasnya. Semua anak terdiam. Tanpa mereka sadari ternyata menjadi cita-cita pangeran itu sangat keren.

“Aku juga mau kok jadi pangeran”, tiba-tiba Tony  - yang tadi paling semangat meledek Peter - bersuara dengan lantang.
“Aku juga, aku juga…’, sahut anak-anak yang lain.
“Aku juga”, Noni tak mau ketinggalan. Semua langsung memandang Noni dengan tatapan aneh.

“Kamu kan anak perempuan, mana mungkin jadi pangeran?”, protes anak perempuan yang lain. Tetapi Noni tidak peduli. Menurutnya pangeran itu jauh lebih keren karena bisa naik kuda dan punya pedang untuk berkelahi dengan naga. Daripada menjadi pawang unta dan harus tinggal digurun pasir? Huh, membayangkan tinggal di gurun pasir yang tidak ada penjual es krimnya sudah membuat Noni mengganti cita-citanya dengan cepat. Dan sepanjang hari itu dan seterusnya, tidak ada lagi yang meledek Peter dan cita-citanya itu.