Sudah jam 6.30, tetapi sehabis
mandi Peter bukannya mengganti piyamanya dengan seragam sekolahnya. Dia malah
duduk di tempat tidur
sibuk memikirkan alasan apa yang kira-kira paling masuk akal agar hari ini bisa
bolos sekolah.
Pura-pura sakit adalah alasan
yang paling dibenci Peter sebab dia selalu bilang kepada semua orang kalau dia adalah anak yang kuat dan sehat.
Kalau pura-pura pingsan, lebih
parah lagi. Nanti dikira Peter pingsan karena tidak tahan kena air di pagi hari sehingga begitu selesai mandi langsung pingsan. Bah, ini
lebih parah daripada pura-pura sakit. Tiba-tiba pintu kamar Peter terbuka dan dari balik
pintu muncul Mama.
“Lho, Peter kok belum
siap-siap?”. Peter diam saja. Mama kemudian berjalan
mendekati Peter yang masih duduk terdiam ditempat tidurnya.
“Kamu sakit?”. Peter
menggeleng.
“Kamu lupa mengerjakan PR
sehingga takut nanti kena hukuman?”. Lagi-lagi Peter menggeleng.
“Ma, hari ini Peter mau bolos
dulu. Boleh nggak, Ma?”, tanya Peter ragu-ragu.
“Kenapa”, Tanya Mama sambil
memegang kening Peter, memastikan apakah Peter demam.
“Peter malu, Ma”. Peter
menundukkan kepalanya dengan sedih, matanya mulai berkaca-kaca.
“Malu kenapa?”. Setelah terdiam
beberapa saat, mulailah Peter bercerita.
Kemarin pada saat jam pelajaran
pertama Bahasa Indonesia, seluruh anak kelas tiga mendapat giliran maju satu
persatu ke depan kelas
untuk bercerita tentang cita-cita mereka bila sudah besar nanti. Ketika giliran
Peter, semua teman sekelas Peter tertawa terbahak-bahak hanya karena Peter
bercerita bahwa cita-citanya adalah ingin menjadi pangeran. Pada jam istirahat sampai pulang sekolah,
Peter menjadi bahan olok-olokan teman-temannya.
“Kamu mau jadi pangeran apa? Pangeran
kodok?”, begitu bunyi ledekan Tony.
“Nah, ini dia pangeran kita.
Beri hormat!”, sambung Aby.
“Yang Mulia, sudilah kiranya
menikahi teman saya yang gembul”, goda Tria sambil menarik tangan Noni yang
bertubuh gendut. Noni memandangi Peter malu-malu sambil mengedipkan matanya
genit.
“Hoekkkk….”, Peter langsung
melarikan diri. Dia menyesal kenapa tadi
tidak bercerita tentang cita-cita menjadi dokter atau tentara. Tetapi apa salahnya
bercita-cita menjadi pangeran? Noni yang tadi bercerita bahwa dia ingin menjadi pawang unta saja tidak ada
yang meledek.
“Memang menjadi pangeran tidak
boleh ya, Ma?”, tanya Peter kepada Mama setelah menceritakan kejadian kemarin.
“Kamu kenapa bercita-cita menjadi
pangeran?”, tanya Mama lembut.
“Pangeran itu kan gagah.
Pangeran juga suka menyelamatkan orang-orang. Pangeran itu juga harus pintar
supaya nanti bisa jadi raja yang bijaksana memerintah rakyatnya. Makanya Peter
ingin jadi pangeran”. Mendengar itu Mama tersenyum geli sekaligus bangga.
“Bagus kalau kamu bercita-cita
ingin menjadi pangeran. Jadi kenapa harus malu?”.
“Tetapi teman-teman Peter
meledek terus, Ma”. Peter kembali cemberut.
“Lho, bagaimana bisa menjadi
pangeran kalau baru diledek saja sudah malu?”, goda Mama. Peter
terdiam, kemudian tersenyum sambil memeluk Mamanya.
“Pangeran Peter siap berangkat
sekolah sekarang?”, tanya Mama sambil mengelus rambut Peter. Peter
mengangguk mantap.
Dengan dada berdebar-debar, Peter
bersiap memasuki kelas yang sudah ramai
oleh teman-teman sekelasnya. Maklum, sepuluh menit lagi bel tanda pelajaran
pertama dimulai akan segera berbunyi. Begitu memasuki ruangan, seisi kelas
langsung menoleh kearah Peter. Peter dengan tenang berjalan menuju bangkunya dibarisan tengah.
“Woi, sang pangeran sudah datang.
Kira-kira tadi malam sudah membunuh berapa ekor naga ya?”. Tony mulai meledek lagi yang disambut tawa seluruh teman-teman
sekelas Peter.
“Dan sudah menyelamatkan berapa putri dari tawanan
monster”, timpal Tria. Peter hanya tersenyum.
“Pangeran Peter mau belajar
dulu hari ini biar pintar dan nanti
bisa menjadi raja yang arif dan bijaksana serta disayangi rakyatnya. Jadi tolong para pengawal dan dayang-dayang tidak boleh
berisik, nanti saya hukum berkelahi dengan macan”, jawab Peter dengan tenang
sambil meletakkan tasnya di atas meja,
kemudian tersenyum manis kepada seluruh teman-teman sekelasnya. Semua anak terdiam. Tanpa
mereka sadari ternyata menjadi cita-cita pangeran itu sangat keren.
“Aku juga mau kok jadi
pangeran”, tiba-tiba Tony - yang tadi
paling semangat meledek Peter - bersuara dengan lantang.
“Aku juga, aku juga…’, sahut
anak-anak yang lain.
“Aku juga”, Noni tak mau
ketinggalan. Semua langsung memandang Noni dengan tatapan aneh.
“Kamu kan anak perempuan, mana
mungkin jadi pangeran?”, protes anak perempuan yang lain. Tetapi Noni
tidak peduli. Menurutnya pangeran itu jauh lebih keren karena bisa naik kuda dan punya
pedang untuk berkelahi dengan naga. Daripada menjadi pawang unta dan harus
tinggal digurun pasir? Huh, membayangkan tinggal di gurun pasir yang tidak ada penjual es krimnya sudah membuat Noni mengganti
cita-citanya dengan cepat. Dan sepanjang hari
itu dan seterusnya, tidak ada lagi yang meledek Peter dan cita-citanya itu.