Pages

Subscribe:

Labels

Friday, 28 February 2014

Boy & Sepatu Baru

Hari ini adalah hari bahagia untuk Boy karena hari ini Papa akan membelikan sepatu baru untuknya. 

Sebenarnya sepatu Boy yang lama masih ada, tetapi bagian solnya sudah terkelupas, sehingga sepatunya terlihat seperti nyengir. Mama pernah mengusulkan agar sepatunya dijahit saja, tetapi Boy lebih suka membeli sepatu baru, sebab sepatu yang lama itu sudah usang. Alasannya, sepatu baru yang akan dibeli nanti lebih tahan lama dan tidak gampang rusak sehingga tidak perlu lagi bolak-balik membeli sepatu. Akhirnya Mama setuju.

Sore itu, Papa memenuhi janjinya kepada Boy untuk mengajaknya ke toko sepatu. 

“Cuaca begitu cerah, kita sebaiknya jalan kaki saja karena toko sepatu letaknya tidak begitu jauh. Bagaimana menurutmu, Boy?”, tanya Papa.
“Tidak masalah, Pa”, jawab Boy. Papa dan Boy-pun memutuskan untuk jalan kaki menuju toko sepatu yang letaknnya kira-kira dua ratus meter dari kompleks perumahan tempat tinggal mereka.  

Di tengah jalan, Boy melihat seorang bapak tua duduk di pinggir jalan. Di depannya ada sebuah peti yang di atasnya ada tumpukan sepatu butut.

“Bapak itu pejual sepatu ya, Pa? Siapa yang mau membeli sepatu butut seperti itu?”, tanya Boy kepada Papa sambil menunjuk ke arah bapak tua itu.
“Bukan. Bapak itu bukan menjual sepatu, tetapi menjahit sepatu”, jawab Papa.
“Tetapi kenapa dia tidak terlihat sedang menjahit sepatu?”, tanya Boy lagi.
“Mungkin hari ini bapak itu sedang tidak mempunyai pelanggan. Orang-orang kan tidak setiap hari menjahit sepatu, jadi kadang ada, kadang tidak ada”
“Oh, begitu”, guman Boy pelan sambil terus berjalan mengikuti Papa.

Di toko sepatu, beberapa pasang sepatu telah dijejerkan di depan Boy. Boy bahkan sudah mencobanya satu persatu, tetapi tampaknya Boy tidak berminat pada salah satu sepatu itu.

“Bukankah sepatu seperti ini yang selama ini kamu inginkan, Boy?”, tanya Papa sambil menunjuk sepatu yang ada lencana bintangnya.
“Ya, Pa…”, Boy menjawab ragu.
“Ya sudah, cari saja nomor yang sesuai dengan ukuran kakimu”, usul Papa. Boy diam saja, seperti ada yang menganggu pikirannya.


“Jadi beli sepatunya?”, sambut Mama sedikit bingung saat Boy dan Papa sudah sampai di rumah, tetapi Papa dan Boy sama sekali tidak membawa bungkusan apa-apa. Boy juga masih memakai sandal yang tadi dipakai sewaktu pergi, jadi tidak ada kemungkinan Boy langsung memakai sepatu barunya.

Mama melirik Papa minta penjelasan, apakah Boy ngambek sehingga tidak mau memilih sepatunya?. Atau apakah Boy tidak menemukan sepatu yang sesuai dengan keinginannya? 
Atau apakah toko sepatu tersebut tidak memiliki nomor sepatu yang cocok dengan ukuran kaki Boy? Baru saja Papa hendak bercerita tentang perubahan sikap Boy di toko sepatu tadi, tiba-tiba Boy sudah muncul sambil menjinjing sebuah kantong plastik.

“Apa itu, Boy?”, tanya Mama keheranan. Boy tersenyum penuh rahasia.
“Ini sepatuku yang lama, Ma”
“Mau dibawa kemana?” kali ini Papa yang bertanya.
“Setelah melihat bapak tua penjahit sepatu di pinggir jalan tadi, aku jadi berpikir bahwa lebih baik aku menjahit sepatuku yang lama daripada membeli sepatu baru”
Mama dan Papa saling berpandangan.

“Aku baru sadar kalau sepatuku yang lama rusaknya belum begitu parah, hanya jahitannya saja yang terlepas. Kebetulan aku masih sangat menyukai sepatu ini, jadi aku merasa sayang kalau harus menggantinya dengan yang baru”, jawab Boy malu-malu.

“Apa benar itu alasannya kenapa kamu tidak jadi membeli sepatu?”, tanya Papa penuh selidik sambil tersenyum jahil. Boy menatap Papa, kemudian mengangguk ragu-ragu.
“Tidak ada alasan yang lain?”. 
Boy menunduk sejenak, kemudian menatap Papa dan Mamanya bergantian.

“Aku merasa sangat tidak adil jika harus membeli sepatu baru, sementara sepatuku yang lama masih bisa dipakai jika sudah dijahit. Aku melihat bapak tua penjahit sepatu tadi belum punya pelanggan hari ini. Jadi aku akan merasa  lebih senang jika bisa membantu bapak itu mendapatkan rezeki jika aku berhemat dengan cara menjahitkan sepatuku yang lama, karena uang untuk menjahit sepatu pasti tidak sebanyak uang untuk membeli sepatu baru kan?”.

Mama dan Papa tersenyum bangga.  
“Yuk, kita sama-sama menjahit sepatu. Kebetulan Mama juga punya sepatu yang perlu dijahit. Benar kata Boy, ini namanya membantu orang lain mendapat rezeki sambil berhemat”
“Papa juga punya beberapa pasang sepatu yang perlu dijahit. Terima kasih, Boy. Hari ini kamu sudah mengajarkan Papa dan Mama tentang cara berhemat sambil membantu orang lain”, timpal Papa.

Boy tersipu-sipu. Ada rasa bahagia yang dia rasakan saat membayangkan wajah bapak tua penjahit sepatu yang tadi dia lihat di pinggir jalan. Boy ingin sekali segera ke sana membawa sepatunya dan berharap bisa melihat bapak tua itu tersenyum penuh syukur.