Hari ini adalah hari
bahagia untuk Boy karena hari ini Papa akan membelikan sepatu baru untuknya.
Sebenarnya sepatu Boy yang lama masih ada, tetapi bagian solnya sudah terkelupas, sehingga sepatunya terlihat seperti nyengir. Mama pernah mengusulkan agar sepatunya dijahit saja, tetapi Boy lebih suka membeli sepatu baru, sebab sepatu yang lama itu sudah usang. Alasannya, sepatu baru yang akan dibeli nanti lebih tahan lama dan tidak gampang rusak sehingga tidak perlu lagi bolak-balik membeli sepatu. Akhirnya Mama setuju.
“Jadi beli sepatunya?”, sambut Mama sedikit bingung saat Boy dan Papa sudah sampai di rumah, tetapi Papa dan Boy sama sekali tidak membawa bungkusan apa-apa. Boy juga masih memakai sandal yang tadi dipakai sewaktu pergi, jadi tidak ada kemungkinan Boy langsung memakai sepatu barunya.
Sebenarnya sepatu Boy yang lama masih ada, tetapi bagian solnya sudah terkelupas, sehingga sepatunya terlihat seperti nyengir. Mama pernah mengusulkan agar sepatunya dijahit saja, tetapi Boy lebih suka membeli sepatu baru, sebab sepatu yang lama itu sudah usang. Alasannya, sepatu baru yang akan dibeli nanti lebih tahan lama dan tidak gampang rusak sehingga tidak perlu lagi bolak-balik membeli sepatu. Akhirnya Mama setuju.
Sore itu, Papa
memenuhi janjinya kepada Boy untuk mengajaknya ke toko sepatu.
“Cuaca begitu cerah,
kita sebaiknya jalan kaki saja karena toko sepatu letaknya tidak begitu jauh.
Bagaimana menurutmu, Boy?”, tanya Papa.
“Tidak masalah, Pa”,
jawab Boy. Papa dan Boy-pun memutuskan untuk jalan kaki menuju toko
sepatu yang letaknnya kira-kira dua ratus meter dari kompleks perumahan tempat
tinggal mereka.
Di tengah jalan, Boy
melihat seorang bapak tua duduk di pinggir jalan. Di depannya ada sebuah
peti yang di atasnya ada tumpukan sepatu
butut.
“Bapak itu pejual
sepatu ya, Pa? Siapa yang mau membeli sepatu butut seperti itu?”, tanya Boy
kepada Papa sambil menunjuk ke arah
bapak tua itu.
“Bukan. Bapak itu
bukan menjual sepatu, tetapi menjahit sepatu”, jawab Papa.
“Tetapi kenapa dia
tidak terlihat sedang menjahit
sepatu?”, tanya Boy lagi.
“Mungkin hari ini
bapak itu sedang tidak mempunyai pelanggan. Orang-orang kan tidak setiap hari
menjahit sepatu, jadi kadang ada, kadang tidak ada”
“Oh, begitu”, guman
Boy pelan sambil terus berjalan mengikuti Papa.
Di toko sepatu, beberapa
pasang sepatu telah dijejerkan di depan
Boy. Boy bahkan sudah mencobanya satu persatu, tetapi tampaknya Boy tidak
berminat pada salah satu sepatu itu.
“Bukankah sepatu
seperti ini yang selama ini kamu inginkan, Boy?”, tanya Papa sambil menunjuk
sepatu yang ada lencana bintangnya.
“Ya, Pa…”, Boy
menjawab ragu.
“Ya sudah, cari saja
nomor yang sesuai dengan ukuran kakimu”, usul Papa. Boy diam saja, seperti ada
yang menganggu pikirannya.
“Jadi beli sepatunya?”, sambut Mama sedikit bingung saat Boy dan Papa sudah sampai di rumah, tetapi Papa dan Boy sama sekali tidak membawa bungkusan apa-apa. Boy juga masih memakai sandal yang tadi dipakai sewaktu pergi, jadi tidak ada kemungkinan Boy langsung memakai sepatu barunya.
Mama melirik Papa
minta penjelasan, apakah Boy ngambek sehingga tidak mau memilih sepatunya?.
Atau apakah Boy tidak menemukan sepatu yang sesuai dengan keinginannya?
Atau apakah toko sepatu tersebut tidak memiliki nomor sepatu yang cocok dengan ukuran kaki Boy? Baru saja Papa hendak bercerita tentang perubahan sikap Boy di toko sepatu tadi, tiba-tiba Boy sudah muncul sambil menjinjing sebuah kantong plastik.
Atau apakah toko sepatu tersebut tidak memiliki nomor sepatu yang cocok dengan ukuran kaki Boy? Baru saja Papa hendak bercerita tentang perubahan sikap Boy di toko sepatu tadi, tiba-tiba Boy sudah muncul sambil menjinjing sebuah kantong plastik.
“Apa itu, Boy?”, tanya
Mama keheranan. Boy
tersenyum penuh rahasia.
“Ini sepatuku yang lama,
Ma”
“Mau dibawa kemana?”
kali ini Papa yang bertanya.
“Setelah melihat bapak
tua penjahit sepatu di pinggir
jalan tadi, aku jadi berpikir bahwa lebih baik aku menjahit sepatuku yang lama
daripada membeli sepatu baru”.
Mama dan Papa saling berpandangan.
Mama dan Papa saling berpandangan.
“Aku baru sadar kalau
sepatuku yang lama rusaknya belum begitu parah, hanya jahitannya saja yang
terlepas. Kebetulan aku masih sangat menyukai sepatu ini, jadi aku merasa
sayang kalau harus menggantinya dengan yang baru”, jawab Boy malu-malu.
“Apa benar itu
alasannya kenapa kamu tidak jadi membeli sepatu?”, tanya Papa penuh selidik
sambil tersenyum jahil. Boy menatap Papa, kemudian mengangguk ragu-ragu.
“Tidak ada alasan yang
lain?”.
Boy menunduk sejenak, kemudian menatap Papa dan Mamanya bergantian.
Boy menunduk sejenak, kemudian menatap Papa dan Mamanya bergantian.
“Aku merasa sangat
tidak adil jika harus membeli sepatu baru, sementara sepatuku yang lama masih
bisa dipakai jika sudah dijahit. Aku melihat bapak tua penjahit sepatu tadi
belum punya pelanggan hari ini. Jadi aku akan merasa lebih senang jika bisa membantu bapak itu
mendapatkan rezeki jika aku berhemat dengan cara menjahitkan sepatuku yang lama, karena uang
untuk menjahit sepatu pasti tidak sebanyak uang untuk membeli sepatu baru
kan?”.
Mama dan Papa
tersenyum bangga.
“Yuk, kita sama-sama menjahit sepatu. Kebetulan Mama juga punya sepatu yang perlu dijahit. Benar kata Boy, ini namanya membantu orang lain mendapat rezeki sambil berhemat”
“Yuk, kita sama-sama menjahit sepatu. Kebetulan Mama juga punya sepatu yang perlu dijahit. Benar kata Boy, ini namanya membantu orang lain mendapat rezeki sambil berhemat”
“Papa juga punya
beberapa pasang sepatu yang perlu dijahit. Terima kasih, Boy. Hari ini kamu
sudah mengajarkan Papa dan Mama tentang cara berhemat sambil membantu orang
lain”, timpal Papa.
Boy tersipu-sipu. Ada
rasa bahagia yang dia rasakan saat membayangkan wajah bapak tua penjahit sepatu
yang tadi dia lihat di pinggir
jalan. Boy ingin sekali segera ke sana membawa sepatunya dan berharap bisa
melihat bapak tua itu tersenyum penuh syukur.