Begitu
meletakkan tas di atas meja di kamarnya, Andi langsung berlari ke dapur
menghampiri Mama yang sedang sibuk membersihkan kompor.
“Ma, aku ingin
Sugar Glider,” seru Andi sambil terengah-engah.
“Iya, nanti kita
beli,” jawab Mama lembut.
“Bener, Ma?”
“Bener. Tapi makannya
jangan banyak-banyak ya, nanti gigi kamu berlubang”
Andi
mengernyitkan keningnya bingung, tapi kemudian cuek saja. “Nanti kita beli tiga
ekor ya, Ma”
Kali
ini giliran Mama yang mengernyitkan keningnya.
“Tiga ekor?
Maksudmu tiga buah?”
“Bukan, Ma. Tiga
ekor. Kan Sugar Glider itu binatang, jadi dihitung pakai ekor, bukan pakai buah”
“Binatang?”,
Mama mendadak kaget. “Mama pikir tadi Sugar Glider itu nama buah atau nama
permen”
“Yahhh, Mama.
Masak nggak tau Sugar Glider?”
“Jadi maksudmu,
kamu mau memelihara Sugar Glider?”.
Andi mengangguk mantap.
“Boleh ya, Ma?”
tanya Andi penuh harap. Mama tidak langsung menjawab.
“Mama perlu tau
dulu Sugar Glider itu seperti apa,” kata
Mama dengan tegas. Andi terdiam, tidak berani membantah.
“Andi...”,
teriak Mama dari depan laptop-nya. Andi berlari tergopoh-gopoh dari dalam kamar
menghampiri Mama di ruang tengah.
“Iya, Ma. Ada
apa?”
“Kamu mau
memelihara tikus?”. Mama tampak kegelian melihat foto-foto Sugar Glider di
layar laptop. Ternyata Mama mencari informasi mengenai Super Glider lewat
Google.
“Kok tikus sih,
Ma? Beda dong, yang ini tampangnya unyu-unyu”
“Apa itu
unyu-unyu?”
“Menggemaskan,
Ma”
“Memangnya Sugar
Glide bisa dipelihara manusia? Bukannya harus hidup bebas?”
“Bisa Ma.
Teman-teman Andi banyak yang sudah memelihara. Badannya kecil, bisa masuk saku”
“Ihhhh...”, Mama
menggigil kegelian.
“Boleh ya, Ma?”
“Jangan asal
boleh. Kita harus lihat dulu bagaimana
cara memeliharanya”.
Mama
lalu mengetik sesuatu. Kemudian Mama dan Andi serius membaca di layar laptop.
“Makannya buah,
sayur dan kacang-kacangan, Ma. Andi pikir Sugar Glider makan gula”, guman Andi,
lalu lanjut membaca lagi.
“Wow, jenis makanannya juga harus ganti-ganti
setiap hari mengikuti selera makan Sugar Glider yang tak tentu”, seru Andi
lagi. Tetapi kali ini nada suaranya sudah tidak
seriang tadi.
“Saat melatih
Sugar Glider agar akrab dengan pemiliknya, badan pemiliknya akan sering
baret-baret karena kuku Sugar Glider
runcing saat memanjat-manjat tubuh pemiliknya”, kali ini Mama yang membaca
dengan suara yang sengaja dibuat terdengar jelas. Andi diam saja. Dia sudah kehilangan minat.
“Ternyata
memelihara Sugar Glider repot ya, Ma”, gumannya pelan.
“Bukan hanya
memelihara Super Glider yang repot, tetapi hampir semua binatang peliharaan.
Memiliki hewan peliharaan itu bukan asal memiliki saja, tetapi harus
bertanggung jawab. Mulai dari mempelajari cara memeliharanya, menjaga makanannya,
menjaga kesehatannya dan lain-lain”, ujar Mama sambil tersenyum.
“Untung kita
belum beli ya, Ma”. Andi menarik nafas lega.
“Makanya,
sebelum memutuskan untuk membeli atau memiliki sesuatu harus mencari informasi
dulu apakah kita benar-benar menginginkannya atau membutuhkannya. Yang paling
penting lagi, apakah kita mampu dan siap? Jangan cuma sekedar ikut-ikutan
saja”, nasehat Mama. Andi tersenyum malu.
“Andi mau
peliharaan yang praktis saja. Apa ya kira-kira?,” celutuk Andi sambil kembali
ke kamarnya. Mama hanya menggeleng-geleng kepalanya.
Sepulang
sekolah, Andi mendapati Mama di ruang
tengah, sedang menyusun bunga-bunga untuk ditaruh di dalam vas. Mama terseyum
menyambut Andi.
“Masih ingin
memelihara Sugar Glider”, goda Mama.
“Nggak, Ma.
Tetapi Andi sudah memutuskan untuk memelihara apa”, jawab Andi. Mama menoleh
penasaran.
“Sekarang kamu
ingin memelihara apa?”
“Ada deh”
“Sudah mencari
informasinya belum?”
“Sudah, Ma”
“Jadi sudah
yakin?”
“Sudah. Nggak
merepotkan lho, Ma. Nggak usah dikasih makan dan nggak usah diurusin”.
Mama
memandang Andi dengan serius. “Mama nggak suka
lho kalau kamu memelihara sesuatu tetapi tidak peduli dengannya”
“Memang benar,
Ma. Peliharaan yang ini praktis, tidak merepotkan”. Mama semakin penasaran.
“Memangnya kamu
mau memelihara apa sih?”
“Tuh”, jawab
Andi sambil menunjuk ke langit-langit rumah. “Dia bisa mencari makanannya
sendiri dan menjaga kesehatannya sendiri”.
Di
langit-langit, tampak seekor cicak diam mematung. Sejenak dia menoleh ke arah
Andi, lalu ke arah Mama, seperti sedang menguping pembicaraan Mama dan Andi. Kemudian
cicak itu merayap cepat ke arah sudut.
“Dia tau kita
sedang membicarakannya”, bisik Mama bercanda. Andi tertawa.