”Kamu mencium bau kembang nggak?”,
tanya Mama sambil mengendus-endus udara dikamar Tanto.
”Iya, Ma. Mama baru beli kembang ya?”.
”Ngaco. Ngapain Mama beli kembang malam-malam. Mama kira tadi kamu yang
sedang mandi kembang”.
”Lha, ngapain Tanto mandi kembang?”
”Ya siapa tau deodoran dan parfum sudah tak mampu lagi membendung aroma
tubuhmu, jadi kamu nekad mandi kembang karena frustasi”.
”Yahhhh mama, sama anak sendiri kok begitu”, rajuk Tanto.
”Ya sudah kalo begitu”, ujar Mama sambil menutup pintu dari luar.
Beberapa saat kemudian, Tanto berbalik hendak mengabil pengharum ruangan
di sudut kamar ketika dia menangkap sesosok bayangan melesat ke dalam kamar mandi
di kamarnya. Dengan berjalan pelan-pelan penuh curiga dan siap memukul, Tanto
beringsut-ingsut mengintip dari pintu kamar mandi.
”Heh, mau ngintip ya? Sama-sama cowok juga!”.Tiba-tiba suara itu
mengagetkan Tanto. Pemilik bayangan itu ternyata seorang cowok seusia Tanto
yang memakai baju model entah dari zaman kapan. Hanya beberapa helai kain lusuh
yang dililit sembarangan ke tubuhnya.
”Kamu siapa ya?”, tanya Tanto kaget campur heran. Darimana anak ini masuk?
”Oh maaf, kita belum kenalan ya? Namaku Firmansyah, tetapi nama
panggilannya Mokka”, cowok itu mengulurkan tangannya.
”Namaku Tanto. Eh, kok bisa namanya Firmansyah, tetapi panggilannya Mokka?”
”Ya suka-suka dong, kan nggak ada yang larang. Kayak kamu, namamu Tanto,
nama yang pasaran banget. Tetapi kalau kamu mau, aku bersedia memanggilmu
Trengginas”.
”Oh, terima kasih atas idenya. Tapi nggak usah deh. Aku lebih suka
dipanggil Tanto daripada Trengginas. Wew!”.
”Ya sudah kalau begitu”
”Eh, kamu darimana? Kok tiba-tiba sudah ada dalam kamarku? Maling ya?”
”Enak aja maling”
”Lha, kamu kenapa tiba-tiba ada di kamarku?”
”Kan kamu yang ngundang aku”
”Kapan aku ngundang kamu?. Lagian, buat apa aku ngundang kamu? Ulang
tahunku masih tujuh bulan lagi, selain itu aku juga nggak kenal kamu”.
”Oh, gitu ya kalian sekeluarga? Udah ngundang, kemudian ngaku nggak kenal.
Heran deh!”
”Kamu berasal dari keluarga pihak Mama atau Papa?”
”Bukan keduanya”
”Lho?”
”Udah ah, aku mau menikmati tempat tinggal baruku dulu”.
”Tempat tinggal barumu?”
”Iya dong”
”Maksudmu di sini?”
”Bukan, di Istana Merdeka. Ya iyalah di sini, gimana sih kamu? Kan aku sudah
ada di sini”
”Mama sudah tau kamu di sini?”
”Belum dan nggak perlu”
”Kok begitu?”
”Kan kamu yang ngundang aku, bukan mama kamu”.
”Perasaan, aku nggak ada ngundang siapa-siapa deh. Oh, aku tau. Kamu
Tristan yang sedang menyamar ya. Ayo, buka wig dan topengmu”. Tanto dengan
antusias menarik-narik rambut dan kulit wajah cowok di depannya.
”Eh, eh...hentikan. Aku bukan jerigen”
”Bukan jerigen, tetapi Tristan”
”Terserah deh siapa namanya”.
”Kalau benar aku pernah ngundang kamu, mana undangannya?”
”Tuh”, Mokka menunjuk kearah layar komputer di meja belajar Tanto.
”Itu komputer, bukan undangan”
”Nah, tadi kamu di komputer kamu ngapain?”
”Main internet”.
”Iya, main internetnya ngapain aja?”. Tanto tersenyum malu-malu.
”Liat foto-foto orang miskin”.
”Foto-foto orang miskin?”
”Maksudnya orang-orang yang enggak punya baju”
”Huuuuu, bilang aja lihat foto-foto porno. Nah, sebelum itu kamu ngapain?”
”Liat foto-foto hantu”
"Nah, itu dia undangannya”. Mendengar itu Tanto terdiam sejenak. Dia
langsung sadar kalau kehadiran cowok ini yang tadi menebarkan aroma bunga
melati. Cowok ini hantu yang numpang lewat, tetapi keburu betah.
”Masa itu undangan sih?”
”Ya iyalah. Buat kami itu adalah undangan terselubung untuk diminta datang”
”Emang kelihatan dari jauh?”
”Eh, sebenernya enggak begitu.
Kebetulan tadi aku cuma lewat sekelebatan, eh gambar-gambar di layar komputermu
menarik perhatianku, jadi aku tinggal sebentar. Tetapi ternyata aku betah”.
”Gambar-gambar orang miskin itu?”
”Bukan, gambar-gambar hantu itu. Feels like home gitu lho”
“Eh, kamu kok bau melati sih?”
”Oh, itu karena aku makanannya melati”
”Emang melati enak dimakan?”
”Enggak enak-enak banget sih, agak getir. Tetapi mending makan melati
daripada makan bangkai tikus mati”
”Oh, jadi yang suka menebar aroma bau busuk itu yang makanannya bangkai
tikus mati ya?”.
”Iya, istilah bahasa Inggrisnya : you
smell what you eat. Yang makan
kemenyan, menebar aroma kemenyan. Yang makan bensin, ya menebar aroma bensin”.
”Bensin diminum kali, bukan dimakan”.
”Ya gitu deh”
”Emang ada ya hantu yang minum bensin?”
”Ya kali aja ada yang doyan”
”Tetapi kamu nggak boleh tinggal di sini”
”Kenapa?”
”Ya enggak boleh aja, tempat kamu kan seharusnya bukan dirumah orang.
Dimana kek, di kolong jembatan kek, di pepohonan kek, di kuburan kek”.
”Kamu nggak suka ya aku tinggal aku disini?”
”Ya iyalah, gila aja kalo aku suka tinggal sama hantu”.
”Ya sudah kalo begitu”
”Jadi kamu mau pergi nih?”
”Kamu nggak mau aku pergi?”
”Eh, ya sudah. Pergilah kalau mau pergi”.
”Oke deh, tetapi lain kali aku boleh mampir lagi nggak?”
”Eh, nggak usah deh”.
”Pokoknya aku bakal mampir lagi kalau kamu liat-liat foto teman-temanku itu
lagi di komputer”.
”Ok deh”
”Sampai jumpa lagi ya”
”Enggak deh, ma kasih. Byeeee.....”, ujar Tanto cepat. Tubuh cowok itu
seketika menyatu dengan tiupan angin lembut yang tiba-tiba bertiup didalam
kamar Tanto, kemudian melayang melalui celah jendela meninggalkan tirai jendela
yang berkibar-kibar.
Pintu kamar kembali dibuka dari luar, dan menyembul wajah Mama.
”Eh, bau melatinya sudah hilang tuh. Tetapi sekarang kok bau pandan ya?”
”Mungkin ada tukang putu bambu lewat, Ma”, jawab Tanto sambil menarik nafas
lega. Untung bukan bau bangkai, makin gawat deh.
”Oh iya kali ya”, jawab Mama, kemudian kembali menutup pintu. Seketika ekor mata Tanto menangkap sekelebat bayangan lain masuk kedalam
kamar mandi.
”Ya ampun, yang ini jenisnya pasti yang suka ngemil daun pandan”, gerutu
Tanto sambil menuju kamar mandi dan kembali harus negosiasi.




