“Iya sih, mirip bak pao,” gumannya
dalam hati. Kemudian
Vania melirik kedua kakinya,
mengusap-usap kedua betisnya.
”Masa betis mirip talas Bogor seperti ini dibilang Betis Nangka?
Benar-benar keterlaluan,” omel Vania
sendirian.
“Heh, ngomong sendirian,” tiba-tiba
sebuah tepukan keras mendarat dipunggung Vania. Vania sudah bersiap untuk marah-marah, tetapi tidak jadi karena yang membuat dia
kaget setengah mati adalah Rika teman sebangkunya. Sambil tersenyum Rika kemudian duduk disebelah Vania.
“Kamu tadi kenapa tidak menunggu aku?”, tanya Rika.
“Aku tadi menunggu kamu didepan. Tetapi si Rio jelek dan teman-temannya
cari masalah dengan aku lagi, jadi aku langsung kabur”
“Cari masalah bagimana?”
“Aku diledekin seperti biasa”
“Ahhh, orang iseng seperti Rio kok ditanggapin sih?”, Rika mengibaskan
tangannya.
“Bukan kamu sih yang diledek, jadi kamu gampang ngomongnya”. Vania memukul
lengan Rika pelan. Rika tertawa kecil.
“Rika”
“Ya?”
“Menurutmu aku gendut nggak?”
“Iya”, jawab Rika cepat. Vania melotot galak. Rika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Kamu memang gendut kok”
“Coba kamu lihat pipiku,” ujar Vania
lagi. “Mirip bak pao nggak?”. Rika memandangi pipi Vania dengan serius.
“Nggak ah, nggak mirip bak pao”. Vania tersenyum gembira.
“Nggak mirip bak pao, lebih mirip bola basket”. Senyum Vania langsung hilang.
“Trus kenapa kalau pipimu mirip bola basket?
“Bak pao, bukan bola basket,” potong Vania dengan nada
protes.
“Terserah deh. Memangnya kenapa kalau betismu mirip meriam?”. Vania langsung berdiri dan berkacak pinggang.
“Kata siapa betisku mirip meriam?”
“Eh, Rio meledek betismu bagaimana sih?”
“Betis Nangka”
“Ya itu, maksudku Betis Nangka. So
what gitu lho…”
“So what gitu lho gimana?”
“Peduli amat? Yang penting kan kamu teman yang asyik dan baik”. Vania tertegun.
“Apa benar aku teman yang asyik dan baik?”, tanya Vania sambil menyentuh
punggung tangan Rika.
“Enggak sih”, jawab Rika enteng.
“Rikaaaaaa…..”. Vania menjerit kesal.
“Bercanda”. Rika tertawa terbahak-bahak.
“Kamu memang teman yang asyik dan baik kok. Kalo nggak, mana mau aku jadi
teman sebangku kamu”, ujar Vania dengan mimik lucu.
Keesokan harinya, jam istirahat dikantin sekolah. Rika dan Vania sedang
serius menikmati semangkok bakso ketika Rio dan rombongannya lewat.
“Cewek gendut berpipi bak pao, tadi dari kelas menuju kantin kamu jalan
atau menggelinding?”. Rio mulai meledek lagi.
“Terbang”, jawab Vania singkat, yang langsung disikut Rika yang duduk
disebelahnya.
“Jangan diladenin”, bisik Rika. “Nanti makin menjadi-jadi lho”. Rio dan teman-temannya terbahak-bahak.
“Cewek Betis Nangka, nanti balik ke kelas berguling atau memantul-mantul?”.
Ternyata benar dugaan Rika.
“Salto diudara”, jawab Vania singkat. Rika melotot, tetapi Vania cuek saja sambil terus menikmati baksonya. Rio dan teman-temannya kembali tertawa. Bukan tertawa mengejek, tetapi tertawa
karena merasa jawaban Vania sangat lucu. Bagaimana tidak lucu membayangkan
Vania terbang dan salto diudara dari kantin menuju kelas. Saking hebohnya tertawa, Rio tanpa sengaja menabrak Willy anak kelas enam
yang suka kasar kepada adik kelas. Melihat Willy yang memasang wajah sangar, Rio langsung gelagapan.
“Eh, maaf kak. Aku tidak sengaja’, ujar Rio takut. Willy yang
bertubuh besar mencengkeram kerah leher Rio.
“Kamu jangan macam-macam ya? Mau cari masalah ya dengan aku?”. Teman-teman
Rio langsung menghindar satu persatu. Rika mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kantin, tidak ada guru
piket.
“Wah gawat, Willy bakal nekad nih”, kata Rika dalam hati. Tiba-tiba Vania berdiri dan menghampiri Willy yang masih mencengkeram kerah
baju Rio dengan kasar.
“Kamu mau apa, cewek gendut?”, kata Willy dengan senyum mengejek.
“Maaf kak, saya tadi lihat dia tidak sengaja menabrak kakak. Dia juga sudah
minta maaf, kenapa kakak masih belum melepaskannya?”.
“Bukan urusanmu, gendut”, sembur Willy lagi.
“Tentu saja urusanku. Dia kan temanku”. Rio langsung memandang Vania dengan tatapan protes, seolah mengatakan “sejak kapan aku temanmu?”.
“Hahahaha”, Willy tertawa dibuat-buat. “Siapa yang mau berteman dengan
cewek gembul seperti kamu?”.
“Aku”, jawab Rika cepat. Dia
berdiri di samping
Vania, memandang Willy dengan tajam.
“Sebentar lagi jam bel tanda masuk akan segera berbunyi. Jadi sekali lagi
aku minta kakak lepaskan temanku”. Lagi-lagi Rio memandang Vania dengan tatapan protes, tetapi Vania cuek
saja.
“Bukan urusanku, bodoh”, hardik Willy galak. Mendengar itu, Vania mulai
kehilangan kesabarannya. Anak ini sudah tidak sopan dan harus diberi pelajaran.
“Sekali lagi kak, tolong lepasin temanku atau…”.
“Atau apa?”, bentak Willy galak memotong ucapan Vania.
BUK!!! Sebuah tinju mendarat dipipi Willy dengan sangat keras. Willy sampai
jatuh terduduk kebelakang, cengkeraman tangannya terlepas dari baju Rio. Dia tidak menyangka kalau Vania akan berani memukulnya. Dia memandangi
Vania dengan tatapan kaget.
“Bagaimana mungkin cewek seperti dia bisa memukul sekeras ini”, pikir Willy
gusar.
“Maaf, aku tadi sudah memperingatkanmu kak”, ujar Vania, kemudian memberi
kode kepada Rio untuk segera kabur dari tempat itu. Tanpa dikomando dua kali, Rio segera lari dan menghilang.
“Kamu pasti cowok yang menyamar jadi cewek”, tuduh Willy, kemudian bangkit
dan berlari keluar kantin sambil terbirit-birit.
“Aku pikir dia tidak akan berani lagi menunjukkan arogansinya selama beberapa
hari ini”, guman Rika sambil merangkul bahu Vania.
“Mudah-mudahan untuk selamanya”, jawab Vania. Keduanya pun berjalan menuju
kelas sementara siswa-siswa yang masih berada dikantin saling berbisik dan
tersenyum hampir tak percaya dengan
kejadian barusan.
Ketika sedang mencorat-coret sesuatu dibukunya dengan posisi menunduk, Vania
merasa ada yang sedang berdiri didepan mejanya. Ketika mengangkat kepala, dia melihat Rio didepannya. Langsung Vania
membentak Rio dengan galak.
“Mau apa kamu kesini? Mau memanggil aku Si Pipi Bak Pao atau si Betis
Nangka lagi? Silahkan! Aku sudah tidak peduli”, semprot Vania panjang lebar.
“Vania, aku eh…aku”, Rio berbicara dengan gugup. Vania hampir tidak mempercayai pendengarannya. Benarkan barusan Rio
memanggil dengan ‘Vania’, bukan dengan sebutan-sebutan konyol seperti biasa?
“Kamu memanggil aku Vania?”, tanya Vania untuk memastikan.
“Nama kamu memang Vania kan?”. Sekarang Rio yang kebingungan.
“Iya kalau siang namaku Vania, tetapi kalau malam berubah menjadi Bambang”.
Rio tertawa terbahak-bahak.
“Aku suka kamu, Vania!”, ujar Rio spontan.
“Maksudmu?”. Vania melotot galak sambil berdiri dan berkacak pinggang.
“Eh, maksudku aku suka mendengar ocehanmu. Kamu ternyata lucu”, ralat Rio.
“Kamu sebenernya mau ngapain sih kesini?”. Vania buru-buru mengalihkan topik
pembicaraan agar Rio tidak melihat wajahnya yang memerah karena tersipu-sipu.
“Aku mau mengucapkan terima kasih atas kejadian yang kemarin. Kalau kamu
tidak ada, mungkin aku sudah jadi korban Willy”.
“Pilih mana? Mau jadi korban Willy atau korban Vania?”. Rio tersipu-sipu.
“Kamu sedang ngapain sih?”, tanya Rio sambil melirik hasil coretan Vania
yang tadi.
“Aku lagi belajar menggambar manga”, jawab malu-malu sambil berusaha menutupi coretannya dengan kedua
tangannya.
“Mangga?”
“Manga, bukan mangga”
“Aku bisa gambar manga. Mau aku ajarin?”
“Benar?”. Wajah Vania berbinar-binar. Rio mengangguk mantap. Ketika sedang asyik menggambar, Rika yang baru datang langsung menyindir.
“Kalau baru dapat teman baru, teman yang lama jangan dilupain dong”. Vania dan Rio menatap Rika sekilas, kemudian melanjutkan gambar mereka.
Pura-pura tidak kenal Rika.
“Ya udah, aku berteman dengan Willy saja”, ujar Rika sambil pura-pura
pergi. Vania dan Rio tertawa geli, hingga Rika memukuli punggung mereka dengan
gemas.





