Pages

Subscribe:

Labels

Sunday, 23 February 2014

Sahabat



Yudhis sedang tidur-tidur ayam di atas tempat tidur kamar Daniel ketika Daniel sibuk mengacak-acak lemari pakaiannya kemudian mengambil sesuatu dari bawah tumpukan celana dalamnya. Sejenak dia menimang-nimang amplop di tangannya sambil menoleh ke arah Yudhis yang tengkurap  terkantuk-kantuk di tempat tidur Daniel.

”Yud, tadi siang aku baru membayar uang sekolah”, ujar Daniel seolah-olah sedang mengabarkan kabar gembira.
”Oh ya?”, jawab Yudhis sekedar menanggapi agar terdengar sopan, padahal sebenarnya dia tidak peduli.
”Pak Andi nanyain kamu”, kata Daniel lagi. Yudhis agak terkejut, tetapi kemudian pura-pura cuek. Pak Andi adalah petugas administrasi disekolah mereka, semua siswa menyetor uang sekolah dan biaya lain-lain kepada beliau.

”Yud”, panggil Daniel pelan sambil berjalan menghampiri Yudhis yang kini sudah duduk diatas tempat tidur dengan posisi kaki menjuntai kelantai.
”Iya, aku tau. Aku belum bayar uang sekolah bulan ini”. Yudhis menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya.

”Tepatnya kamu sudah menunggak selama tiga bulan”.
”Pak Andi ngomong begitu?”. Daniel mengangguk. 
”Pembohong tua sialan!!!”, maki Yudhis emosi.
”Kamu kok enggak cerita sih, Yud?”.
”Cerita apa?”
”Masalahmu”
”Masalah apa? Aku tidak merasa ada masalah kok?”.
”Yud, kamu bisa saja membohongi Aston, Bowo dan Ridho karena mereka memang gerombolan bodoh. Tetapi kamu tidak bisa membohongi aku”.
”Aku tidak mengerti”, elak Yudhis. Daniel menghela nafas. Mahluk yang satu ini memang terlalu gengsi untuk mengakui masalah pelik yang sedang dia hadapi. Yudhis memang penganut faham ’biar mati yang penting gengsi’.

”Devon sudah cerita”, ujar Daniel pelan. Devon adalah adik Yudhis. Yudhis mengangkat kepalanya dan menatap Daniel tajam.

“Cerita apa?”
“Semuanya. Tentang masalah keluargamu. Tentang papamu yang kena PHK beberapa bulan yang lalu, tentang uang sekolah kalian yang sudah menunggak beberapa bulan, tentang kesulitan keuangan keluarga kalian saat ini”
”Kunyuk yang satu itu memang tukang ngarang”.
“Kamu kok enggak cerita padaku, Yud?”
“Aku akan cekik anak itu nanti”
”Kamu boleh cekik dia nanti, tapi sekarang aku hanya ingin supaya kamu mau menerima ini”, ujar Daniel dengan lembut sambil menatap Yudhi. Yudhis memandang amplop tebal yang disodorkan Daniel dengan ragu.

”Apa ini?”
"Menurutmu apa? Granat? Racun tikus?"
"Uang?"
”Jumlahnya memang tidak banyak, tetapi aku harap bisa sedikit membantu masalah keluargamu”
”Apa ini?”, Yudhis mengulang kembali pertanyaannya. 
 "Apa ini-apa ini. Mbah-mu ini", jawab Daniel jengkel. Tangan Yudhis sedikit gemetar ketika Daniel memaksanya menggenggam amplop tersebut.

”Kamu jangan berpikir macam-macam. Aku tidak ada maksud lain, hanya sekedar ingin membantu sebagai seorang teman”, ujar Daniel lagi. Yudhis berdiri membalik tubuhnya membelakangi Daniel karena tidak mau Daniel melihat matanya yang tiba-tiba mulai basah. Tetapi dari gerakan bahunya yang naik turun dan bergetar, Daniel tau bahwa Yudhis menangis. Daniel menepuk-nepuk bahu Yudhis. Setelah sesaat bisa kembali menguasai emosinya, Yudhis buru-buru menyeka airmatanya dan berbalik menghadap Daniel.

”Aku janji demi harga diri keluargaku, aku akan segera mengembalikannya”
”Aku sudah bilang tadi, aku nggak butuh omong kosongmu”.
”Aku janji, lengkap dengan bunganya. Percayalah”.
”Jangan ngawur, kamu pikir aku rentenir?”
”Pokoknya aku janji....”
”Udah, kamu diam deh sebelum aku berubah pikiran”, potong Daniel sebelum Yudhis menyelesaikan kalimatnya.            
 ”Nggak usah dipikirin dulu kapan mau dikembalikan. Gunakan dengan bijaksana, OK?”. Daniel tersenyum dengan tulus. Yudhis sudah tidak tahan lagi, dia menubruk tubuh Daniel dan menangis sesegukan sambil memeluk Daniel. Akhirnya si Raja Gengsi itu tumbang juga.

”Aku tidak tau harus akan jadi apa hidupku seandainya aku tidak pernah mengenalmu”, isak Yudhis di antara tangisnya. Daniel hanya bisa menepuk-nepuk punggung Yudhis.
“Bagai sayur tanpa garam, bagai lidah tak bertulang. Terserah deh!”, sambut Daniel tanpa pakai pikir dulu, tetapi berhasil membuat Yudhis tersenyum.
”Udah ah, jangan kayak sinetron”. Daniel mengibaskan tangannya di depan wajah Yudhis, lalu membalikkan badan, berusaha menyembunyikan tangis bahagianya sendiri.