Yudhis sedang tidur-tidur ayam di atas tempat tidur kamar Daniel ketika Daniel sibuk mengacak-acak lemari
pakaiannya kemudian mengambil sesuatu dari bawah tumpukan celana dalamnya.
Sejenak dia menimang-nimang amplop di tangannya sambil menoleh ke arah Yudhis yang tengkurap terkantuk-kantuk di tempat tidur
Daniel.
”Yud, tadi siang aku baru membayar uang sekolah”, ujar Daniel seolah-olah
sedang mengabarkan kabar gembira.
”Oh ya?”, jawab Yudhis sekedar menanggapi agar terdengar sopan, padahal
sebenarnya dia tidak peduli.
”Pak Andi nanyain kamu”, kata Daniel lagi. Yudhis agak terkejut, tetapi
kemudian pura-pura cuek. Pak Andi adalah petugas administrasi disekolah mereka,
semua siswa menyetor uang sekolah dan biaya lain-lain kepada beliau.
”Yud”, panggil Daniel pelan sambil berjalan menghampiri Yudhis yang kini
sudah duduk diatas tempat tidur dengan posisi kaki menjuntai kelantai.
”Iya, aku tau. Aku belum bayar uang sekolah bulan ini”. Yudhis
menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya.
”Tepatnya kamu sudah menunggak selama tiga bulan”.
”Pak Andi ngomong begitu?”. Daniel mengangguk.
”Pembohong tua sialan!!!”, maki Yudhis emosi.
”Kamu kok enggak cerita sih, Yud?”.
”Cerita apa?”
”Masalahmu”
”Masalah apa? Aku tidak merasa ada masalah kok?”.
”Yud, kamu bisa saja membohongi Aston, Bowo dan Ridho karena mereka memang
gerombolan bodoh. Tetapi kamu tidak bisa membohongi aku”.
”Aku tidak mengerti”, elak Yudhis. Daniel menghela nafas. Mahluk yang satu ini memang terlalu gengsi untuk mengakui masalah pelik yang sedang
dia hadapi. Yudhis memang penganut faham ’biar mati yang penting gengsi’.
”Devon sudah cerita”, ujar Daniel pelan. Devon adalah adik Yudhis. Yudhis mengangkat kepalanya dan menatap Daniel tajam.
“Cerita
apa?”
“Semuanya.
Tentang masalah keluargamu. Tentang papamu yang kena PHK beberapa bulan yang
lalu, tentang uang sekolah kalian yang sudah menunggak beberapa bulan, tentang
kesulitan keuangan keluarga kalian saat ini”
”Kunyuk yang satu itu memang tukang ngarang”.
“Kamu kok
enggak cerita padaku, Yud?”
“Aku akan
cekik anak itu nanti”
”Kamu boleh cekik dia nanti, tapi sekarang aku hanya ingin supaya kamu mau
menerima ini”, ujar Daniel dengan lembut sambil menatap Yudhi. Yudhis memandang
amplop tebal yang disodorkan Daniel dengan ragu.
”Apa ini?”
"Menurutmu apa? Granat? Racun tikus?"
"Uang?"
”Jumlahnya memang tidak banyak, tetapi aku harap bisa sedikit membantu masalah keluargamu”
”Apa ini?”, Yudhis mengulang kembali pertanyaannya.
"Apa ini-apa ini. Mbah-mu ini", jawab Daniel jengkel. Tangan Yudhis sedikit gemetar ketika
Daniel memaksanya menggenggam amplop tersebut.
”Kamu jangan berpikir macam-macam. Aku tidak ada maksud lain, hanya sekedar
ingin membantu sebagai seorang teman”, ujar Daniel lagi. Yudhis berdiri membalik tubuhnya membelakangi Daniel karena tidak mau Daniel
melihat matanya yang tiba-tiba mulai basah. Tetapi dari gerakan bahunya yang
naik turun dan bergetar, Daniel tau bahwa Yudhis menangis. Daniel menepuk-nepuk
bahu Yudhis. Setelah sesaat bisa kembali menguasai emosinya, Yudhis buru-buru
menyeka airmatanya dan berbalik menghadap Daniel.
”Aku janji demi harga diri keluargaku, aku akan segera mengembalikannya”
”Aku sudah bilang tadi, aku nggak butuh omong kosongmu”.
”Aku janji, lengkap dengan bunganya. Percayalah”.
”Jangan ngawur, kamu pikir aku rentenir?”
”Pokoknya aku janji....”
”Udah, kamu diam deh sebelum aku berubah pikiran”, potong Daniel sebelum
Yudhis menyelesaikan kalimatnya.
”Nggak usah dipikirin dulu kapan mau
dikembalikan. Gunakan dengan bijaksana, OK?”. Daniel tersenyum dengan tulus.
Yudhis sudah tidak tahan lagi, dia menubruk tubuh Daniel dan menangis sesegukan
sambil memeluk Daniel. Akhirnya si Raja Gengsi itu tumbang juga.
”Aku tidak tau harus akan jadi apa hidupku seandainya aku tidak pernah
mengenalmu”, isak Yudhis di antara tangisnya. Daniel hanya bisa menepuk-nepuk punggung Yudhis.
“Bagai sayur
tanpa garam, bagai lidah tak bertulang. Terserah deh!”, sambut Daniel tanpa
pakai pikir dulu, tetapi berhasil membuat Yudhis tersenyum.
”Udah ah, jangan kayak sinetron”. Daniel mengibaskan tangannya di depan wajah Yudhis, lalu membalikkan badan, berusaha menyembunyikan
tangis bahagianya sendiri.





