Pages

Subscribe:

Labels

Monday, 24 February 2014

Tersenyumlah Ayah



Dengan langkah gontai aku menghampiri tempat tidur orangtuaku. Menyingkap selimut tipis yang menutupi wajah ayahku yang terbaring sakit. Begitu menyadari ada yang membuka selimutnya, ayahku membuka matanya pelan memandangku dengan matanya yang kelabu. Ayahku tersenyum kemudian dengan susah payah mengangkat salah satu tangannya dan membelai rambutku.

“Kamu sudah mau pergi?”, tanyanya lembut. Aku mengangguk ragu-ragu. Sudah seminggu ini ayah sakit demam dan muntah-muntah. Setiap makanan yang ditelan akan dimuntahkan lagi dalam hitungan menit. Tubuhnya sudah sangat lemah setelah tiga hari ini dia hanya minum air putih saja. Aku dan ibuku tidak bisa membawa ayahku ke Rumah Sakit, karena kami tidak punya uang untuk biaya. Tadinya ayahku hanya buruh bangunan, sudah tiga bulan dia tidak mendapat proyek. Sementara ibuku yang bekerja sebagai tukang cuci pendapatannya hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Karena itulah hari ini aku bertekad ikut lomba menggambar di Balai Kota. Uang tabunganku sebesar dua puluh lima ribu rupiah sudah aku relakan sebagai biaya pendaftaran peserta minggu lalu. Tidak apa-apa aku menguras uang tabunganku demi hadiah utama satu juta rupiah seandainya aku menang. Aku pikir hadiah uang sebanyak itu sudah lebih dari cukup untuk membawa ayahku ke Rumah Sakit.

“Ayah, sebenarnya aku ingin ayah ikut bersamaku. Aku ingin ayah bisa melihat aku berkompetisi”, ujarku sambil menggenggam tangan ayahku yang hangat. Ayahku tersenyum tipis.

“Ayah juga ingin ikut bersamamu untuk melihatmu berlomba. Tetapi dengan keadaan ayah seperti ini, bisa-bisa nanti kamu malah tidak konsentrasi karena sebentar-sebentar ayah akan pingsan dan menimpa gambarmu”, canda ayahku. Aku tersenyum kecut dan merebahkan kepalaku disamping kepala ayah.

“Sudah, kamu berangkat saja sana. Nanti terlambat”, ujar ayahku sambil menepuk pipiku. Aku menatap jam dinding butut diatas tempat tidur. Sudah jam dua lewat lima menit. Lomba menggambar akan dimulai jam tiga tepat. Aku berdiri dan menggenggam tangan ayah erat.

“Hari ini aku akan menang, Ayah. Begitu aku pulang nanti membawa hadiah uang, kita langsung ke Rumah Sakit. Tunggu aku pulang ya, Ayah”, ujarku mantap. Ayah hanya tersenyum dan kemudian tertidur lagi. Aku mencium kening ayah yang panas dan berkeringat. Kemudian aku berjalan keluar kamar.

Di ruang tengah aku mempersiapkan segalanya. Pensil, penghapus, spidol hitam, pensil warna, penggaris semuanya kau masukkan ke dalam kantongan plastik.

“Ibu, aku pergi dulu ya”, teriakku kepada ibuku yang sedang menjemur pakaian disamping rumah. Ibu tersenyum dan melambaikan tangannya ketika aku berlari kecil melintasi halaman.

Jarak dari rumahku ke Balai Kota cukup jauh, sekitar tiga kilometer. Tadi aku meninggalkan rumah sekitar jam dua lewat lima belas menit. Aku hanya punya waktu tiga puluh lima menit lagi. Aku tidak punya sepeser uangpun untuk ongkos naik angkutan umum. Aku terpaksa harus berjalan kaki atau tepatnya berlari kalau tidak ingin terlambat.

Ketika sudah mulai keringatan berlari, tiba-tiba ada empat orang anak yang tubuhnya lebih besar dariku berlari menjejeri langkahku dari arah belakang. Aku tidak mengenal mereka dan firasatku mengatakan mereka akan menggangguku. Dan benar, tiba-tiba salah satu dari mereka memukul punggungku dengan keras sehingga aku terjerembab jatuh tengkurap ke jalan berbatu. Kantong plastik ditanganku jatuh, sementara wajahku mendarat ditanah yang berdebu. Mereka tertawa kegirangan melihat aku terjatuh, kemudian salah satu dari mereka memungut kantong plastikku dan memeriksa isinya.

“Bah, ternyata dia hanya membawa sampah”, ejek mereka sambil mengeluarkan peralatan gambarku dan melemparkannya ke wajahku, kemudian merobek kantong plastikku hingga tidak berbentuk lagi. Pensil, penghapus, spidol, dan pensil warnaku berhamburan ketanah. Aku tidak berani melawan, aku menundukkan kepalaku menyembunyikan tangisku. Mereka terlalu banyak dan terlalu besar untuk aku hadapi seorang diri. Tiba-tiba salah satu dari mereka mengangkat tanganku keatas, memaksaku berdiri. Sementara anak yang lain menggeledah kantong celanaku yang bocor. Tentu saja mereka tidak menemukan apa-apa. Karena kesal tidak menemukan apa-apa, masing-masing mereka menghadiahi aku sebuah tonjokan keras diwajahku. Tonjokan terakhir berhasil mengucurkan darah dari hidungku. Setelah mereka meninggalkan aku sambil memaki, aku memunguti peralatan pensil-pensilku sambil menangis diam-diam. Seluruh wajahku terasa panas dan sakit. Aku melirik lutut dan siku tanganku yang berdarah akibat terjatuh tadi. Tidak ada waktu lagi untuk merasakan sakit dan menangis, setelah menyeka darah yang keluar dari hidungku dengan ujung bajuku aku kembali  berlari lagi.

Aku melirik jam besar diatas pintu masuk Balai Kota yang tertutup rapat, sudah jam tiga lewat dua puluh menit. Aku terlambat. Aku tidak mau, aku tidak terima, aku tidak rela perjalananku kesini sia-sia. Aku mengetuk pintu gedung Balai Kota yang tertutup rapat. Tidak ada jawaban. Aku mengetuk lebih keras lagi. Tetap tidak ada jawaban. Dengan histeris aku menggedor-gedor pintu Balai Kota. Tangisku pecah. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku kecewa pada keadaanku.

Setelah lelah menggedor pintu sambil menangis, dengan gontai aku menjatuhkan diriku terduduk di depan pintu. Aku duduk berselonjor, pensil dan pensil warnaku berserakan di dekat kakiku.

“Maafkan aku ayah”, ujarku sendu. Keinginan memenangkan lomba gambar dan menggunakan hadianya untuk membawa ayah ke rumah sakit pupus sudah. Pelan-pelan airmataku mengalir lagi. Aku tidak bisa memenuhi janjiku kepada ayah. Bahkan aku sudah kalah sebelum bertanding. Ayah pasti akan sangat kecewa apabila dia tau hal ini. Entah berapa lama aku terduduk diam, tiba-tiba pintu yang aku sandari terbuka. Aku hampir saja terjatuh ke belakang karena pintu tempat aku bersandar terdorong kedalam. Buru-buru aku segera berdiri. Seorang bapak-bapak berpenampilan rapi keluar dan terkejut melihat aku. Begitu melihat pensil warnaku yang berserakan dilantai, bapak itu memandangku bingung.

“Kamu ikut lomba menggambar?”, tanya bapak itu. Aku mengangguk pelan.
“Kamu baru datang?”, tanyanya lagi.
“Aku terlambat, Pak. Ketika saya sampai disini, pintunya sudah tertutup”.
“Naik apa kamu kesini?”
“Naik kaki, Pak”.
“Maksudmu?”
“Eh, maksud saya berlari Pak”.
“Kenapa berlari?”
“Saya tidak punya uang untuk naik bus, Pak”.
“Ya ampun!”, Bapak itu terkejut mendengar jawabanku, kemudian menyuruhku memunguti pensil warnaku dan menyeret tanganku masuk ke dalam.

“Perlombaan sudah berjalan selama satu jam empat puluh menit. Kalau kamu mau ikut, kamu tinggal punya waktu dua puluh menit lagi. Bagaimana menurutmu?”, tanya Bapak itu sambil menyerahkan selembar kertas karton ukuran A3 dan mempersilahkan aku mengambil tempat di barisan peserta paling belakang. Aku melihat sebagian peserta sudah mengumpulkan hasil karyanya ke meja panitia didepan.

“Saya tanya bagaimana menurutmu?”. Bapak itu mengulang pertanyaannya.
“Maaf, Pak?”, tanyaku gelagapan.
“Kamu cuma punya waktu dua puluh menit lagi”.
“Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih”, ujarku sambil duduk dilantai.
“Ingat, tema gambarnya adalah keluarga yang bahagia”.
“Baik, Pak”, jawabku sambil mulai menggambar. Selama mengerjakan gambarku, aku diam-diam menangis lagi. Entah menagis karena lega, bahagia atau putus asa. Aku tidak tau.

Dengan senyum terkembang aku berjalan mantap memasuki gang menuju rumahku. Tangan kananku menepuk-nepuk sebuah bungkusan padat disaku celanaku, sementara tangan kiriku dengan hati-hati memegang piagam penghargaan dan kertas hasil gambarku yang dilapisi dengan plastik agar tidak kotor atau lecek. Gambar anak laki-laki yang memeluk ayahnya sambil tersenyum itu berhasil keluar sebagai juara utama. Ya, tadi aku memutuskan untuk menggambar diriku sendiri dan ayahku. Panitia mengizinkan aku membawa pulang gambarku untuk ditunjukkan kepada ayah dengan syarat besok aku harus mengantarkan kembali gambarku ke Balai Kota sebagai untuk dipamerkan minggu depan. Aku sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah dan memamerkan hadiah uang dan gambarku kepada ayah dan ibuku. Malam ini juga aku akan mengajak ibu membawa ayah ke Rumah Sakit. Semoga hadiah uang di kantongku ini cukup untuk membiayai pengobatan ayah sampai sembuh.
 
Dari jauh, aku melihat rumahku dikerumuni banyak orang. Suasana di dalam rumahku juga terang benderang, jendela dan pintu dibiarkan terbuka. Beberapa bapak-bapak duduk diteras rumahku. Begitu melihatku, mereka langsung menghampiriku dan memelukku. Aku merasa ada yang tidak beres.

“Ada apa, Pak?”, tanyaku kepada bapak yang mengusap kepalaku dan membimbingku masuk. Tidak ada jawaban atas pertanyaanku. Begitu memasuki rumah, aku menyadari apa yang terjadi. Ayahku telah terbaring kaku. Matanya terpejam, tetapi garis bibirnya seperti membentuk sebuah senyuman. Senyuman yang persis dia berikan kepadaku saat aku hendak berangkat tadi siang. Aku duduk disebelah ibuku yang menangis pilu. Aku tidak ingin menangis. Aku sudah terlalu lelah menangis hari ini. Dengan pelan, aku meletakkan gambar, piagam penghargaan dan hadiah uang dari dalam sakuku di sisi kepala ayahku. Dalam hati aku berdoa.

”Tuhan, tolong sampaikan pada ayahku bahwa aku berhasil menang. Aku berhasil menang seperti janjiku tadi siang”. Kemudian aku menyandarkan kepalaku di bahu ibuku dan tertidur. Aku sangat lelah sekali. Aku ingin tidur dan mudah-mudahan aku bisa melihat ayahku tersenyum untuk yang terakhir kalinya di dalam mimpiku.