Pages

Subscribe:

Labels

Monday, 24 February 2014

Prasangka



Catatan : Cerita ini sudah pernah dimuat di Kompas Minggu, 4 Oktober 2009 dengan judul Belajar Dari Dido.

Pulang sekolah, aku mendapati kamarku berantakan seperti baru disapu badai. Padahal seingatku tadi pagi ketika aku berangkat sekolah, aku sudah merapikannya. Aku menjerit sekeras-kerasnya ketika diatas meja belajarku aku melihat gelar air minumku yang seharusnya masih penuh kini tinggal berisi setengah. Dan di samping gelas itu komik Asterix yang baru aku beli tergeletak basah.

Amarahku langsung naik sampai keubun-ubun. Siapa lagi yang suka bikin ulah dirumah ini. Tak lain dan tak bukan pasti Dido adikku. Pasti tadi sepulang sekolah dia telah bergerilya didalam kamarku. Karena ketika aku sedang berada dirumah, dia tidak pernah aku izinkan memasuki kamarku.

Dari kamar sebelah kudengar suara Dido sedang menyanyikan sebuah lagu dengan sangat cempreng. Tanpa membuang waktu aku langsung memburunya kesana. Didalam kamarnya aku menemukan Dido sedang bernyanyi diatas tempat tidurnya sambil rebahan. Melihat aku didepan pintu, dia tersenyum dan menghentikan konser sianng bolongnya itu untuk sementara. Dia pikir dengan senyuman konyolnya itu dia bisa lolos dari jeweranku. Lihat saja.

“Hai kak!”, tegurnya ramah, tetapi aku tidak peduli.
“Siapa suruh kamu masuk ke kamarku?”, bentakku langsung. Dido tampak kaget, kemudian dia duduk di atas tempat tidurnya.
“Aku tidak masuk kekamar kak Fido kok”. Dia menatapku dengan pandangan memelas.
”Masih berani bohong ya?”, seruku lagi dan mulai berjalan mendekatinya.
“Sumpah. Aku tidak masuk kekamar kak Fido”.
“Oh bagus sekali. Sudah bikin salah, bukannya minta maaf malah berbohong ya”. Tanganku langsung bergerak dengan cepat menjewer telinganya.

Aku meninggalkan kamar Dido dengan senyum puas, dari arah belakang aku mendengar suara Dido kembali. Bukan menyanyi seperti tadi, tetapi menangis sambil menjerit. Itu akibatnya kalau berbohong dan tidak mau minta maaf. Aku masuk ke kamarku dan menutup pintu. Masih dengan perasaan yang kesal aku naik ke tempat tidurku dan mencoba untuk tidur dan pura-pura tidak mendengar tangisan Dido dari kamar sebelah.

Aku terbangun ketika sebuah tepukan lembut menyentuh pipiku. Dengan malas-malasan aku membuka mata. Aku melihat wajah Mama tersenyum lembut.

“Bangun tukang tidur, sudah sore”, ujar Mama. “Kamu mandi dulu sana, habis itu boleh makan bakso”.
“Bakso?”, aku buru-biri bangkit dari tempat tidur. “Bakso dari mana?”
“Tadi Mama beli waktu Mama sedang belanja. Tuh, Dido sedang makan”.
Mendengar nama Dido, mukaku langsung cemberut.

“Oh ya, tadi Mama pinjam pena dan selembar kertas dari mejamu untuk menulis daftar belanjaan Mama”. Aku terbelalak kaget.
“Mama tadi masuk ke kamarku?”
“Iya. Karena buru-buru, Mama tidak sengaja menyenggol gelas minummu hingga tumpah membasahi komik di atas mejamu. Mama minta maaf ya. Benar lho, Mama tidak sengaja”. Aku masih menatap Mama dengan mata terbelalak. Jadi tadi siang Dido memang tidak bohong.
“Kamu melihat Mama jangan begitu amat dong. Nanti Mama ganti deh komiknya”, bujuk Mama karena melihat ekspresiku yang aneh.
“Dido mana?”, tanyaku dengan perasaan yang tidak karuan.
“Di meja makan sedang menikmati jatah baksonya”, jawab Mama.

Setelah mandi dan berpakaian rapi, dengan langkah malu-malu aku berjalan menuju meja makan. Disana aku melihat Dido masih sibuk menikmati baksonya. Begitu melihatku, dia langsung tersenyum ceria.

“Kak Fido, Mama bawa bakso lho”, serunya sambil mengangkat mangkoknya tinggi-tinggi. Aku tersenyum kikuk. Aku benar-benar merasa bersalah dengan kelakuanku tadi siang.
“Baksonya enak lho, Kak. Cobain deh”, Dido masih juga mengajakku bicara dengan ramah. Tidak ada dendam atau marah atas salah paham yang aku lakukan kepadanya tadi siang. Melihat sikapnya dan ketulusan senyumnya aku merasa Dido sudah memaafkanku bahkan sebelum aku minta maaf.

“Hmm, baksonya terlalu banyak nih. Aku sepertinya enggak akan  kuat kalau makan sendiri”, ujarku sambil melirik ke Dido. Wajah Dido semakin ceria.
“Benarkah? Aku mau bantuin kak Fido makan baksonya lho”, tawarnya polos. Sambil tersenyum, aku membagi setengah bagian jatah baksoku ke dalam mangkok milik Dido yang sudah kosong.

“Wah, terima kasih ya kak”, seru Dido girang seperti mendapat rezeki nomplok.
Aku mengangguk sambil menepuk bahu Dido pelan. Hari ini aku belajar sesuatu dari Dido, yaitu untuk selalu bersedia memaafkan kesalahan orang lain, bahkan sebelum orang tersebut minta maaf.