Catatan : Cerita ini sudah pernah dimuat di Kompas Minggu, 4 Oktober 2009 dengan judul Belajar Dari Dido.
Pulang sekolah, aku mendapati kamarku berantakan seperti baru disapu badai.
Padahal seingatku tadi pagi ketika aku berangkat sekolah, aku sudah
merapikannya. Aku menjerit
sekeras-kerasnya ketika diatas meja belajarku aku melihat gelar air minumku
yang seharusnya masih penuh kini tinggal berisi setengah. Dan di samping gelas
itu komik Asterix yang baru aku beli tergeletak
basah.
Amarahku langsung naik sampai keubun-ubun. Siapa lagi yang suka bikin ulah
dirumah ini. Tak lain dan tak bukan pasti Dido adikku. Pasti tadi sepulang
sekolah dia telah bergerilya didalam kamarku. Karena ketika aku sedang berada
dirumah, dia tidak pernah aku izinkan memasuki kamarku.
Dari kamar sebelah kudengar suara Dido sedang menyanyikan sebuah lagu
dengan sangat cempreng. Tanpa membuang waktu aku langsung memburunya kesana.
Didalam kamarnya aku menemukan Dido sedang bernyanyi diatas tempat tidurnya
sambil rebahan. Melihat aku
didepan pintu, dia tersenyum dan menghentikan konser sianng bolongnya itu untuk
sementara. Dia pikir dengan senyuman konyolnya itu dia bisa lolos dari
jeweranku. Lihat saja.
“Hai kak!”, tegurnya ramah, tetapi aku tidak peduli.
“Siapa suruh kamu masuk ke kamarku?”, bentakku langsung. Dido tampak kaget, kemudian dia duduk di atas tempat tidurnya.
“Aku tidak masuk kekamar kak Fido kok”. Dia menatapku dengan pandangan
memelas.
”Masih berani bohong ya?”, seruku lagi dan mulai berjalan mendekatinya.
“Sumpah. Aku tidak masuk kekamar kak Fido”.
“Oh bagus sekali. Sudah bikin salah, bukannya minta maaf malah berbohong
ya”. Tanganku langsung bergerak dengan cepat menjewer telinganya.
Aku meninggalkan kamar Dido dengan senyum puas, dari arah belakang aku
mendengar suara Dido kembali. Bukan menyanyi seperti tadi, tetapi menangis
sambil menjerit. Itu akibatnya kalau berbohong dan tidak mau minta maaf. Aku masuk ke kamarku dan
menutup pintu. Masih dengan perasaan yang kesal aku naik ke tempat tidurku dan mencoba untuk tidur dan pura-pura tidak mendengar
tangisan Dido dari kamar sebelah.
Aku terbangun ketika sebuah tepukan lembut menyentuh pipiku. Dengan
malas-malasan aku membuka mata. Aku melihat wajah Mama tersenyum lembut.
“Bangun tukang tidur, sudah sore”, ujar Mama. “Kamu mandi dulu sana, habis
itu boleh makan bakso”.
“Bakso?”, aku buru-biri bangkit dari tempat tidur. “Bakso dari mana?”
“Tadi Mama beli waktu Mama sedang belanja. Tuh, Dido sedang makan”.
Mendengar nama Dido, mukaku langsung cemberut.
“Oh ya, tadi Mama pinjam pena dan selembar kertas dari mejamu untuk menulis
daftar belanjaan Mama”. Aku terbelalak kaget.
“Mama tadi masuk ke kamarku?”
“Iya. Karena buru-buru, Mama tidak sengaja menyenggol gelas minummu hingga
tumpah membasahi komik di atas mejamu. Mama minta maaf ya. Benar lho, Mama tidak sengaja”. Aku masih menatap Mama dengan mata terbelalak. Jadi tadi siang Dido memang
tidak bohong.
“Kamu melihat Mama jangan begitu amat dong. Nanti Mama ganti deh komiknya”,
bujuk Mama karena melihat ekspresiku yang aneh.
“Dido mana?”, tanyaku dengan perasaan yang tidak karuan.
“Di meja makan
sedang menikmati jatah baksonya”, jawab Mama.
Setelah mandi dan berpakaian rapi, dengan langkah malu-malu aku berjalan
menuju meja makan. Disana aku melihat Dido masih sibuk menikmati baksonya.
Begitu melihatku, dia langsung tersenyum ceria.
“Kak Fido, Mama bawa bakso lho”, serunya sambil mengangkat mangkoknya
tinggi-tinggi. Aku
tersenyum kikuk. Aku benar-benar merasa bersalah dengan kelakuanku tadi siang.
“Baksonya enak lho, Kak. Cobain deh”, Dido masih juga mengajakku bicara
dengan ramah. Tidak ada dendam atau marah atas salah paham yang aku lakukan
kepadanya tadi siang. Melihat sikapnya dan ketulusan senyumnya aku merasa Dido
sudah memaafkanku bahkan sebelum aku minta maaf.
“Hmm, baksonya terlalu banyak nih. Aku sepertinya enggak akan kuat kalau makan sendiri”, ujarku sambil melirik
ke Dido. Wajah Dido semakin ceria.
“Benarkah? Aku mau bantuin kak Fido makan baksonya lho”, tawarnya polos. Sambil tersenyum, aku membagi setengah bagian jatah baksoku ke dalam mangkok milik Dido yang sudah kosong.
“Wah, terima kasih ya kak”, seru Dido girang seperti mendapat rezeki
nomplok.
Aku mengangguk sambil menepuk bahu Dido pelan. Hari ini aku belajar sesuatu
dari Dido, yaitu untuk selalu bersedia memaafkan kesalahan orang lain, bahkan
sebelum orang tersebut minta maaf.





