Sudah hampir lima belas menit Alex mematut-matut dirinya dikaca. Dengan
setelan celana blue jeans dan kemeja kotak-kotak, dia merasa bahwa saat itu dia adalah anak laki-laki paling cakep sejagad raya. Menurut dia sih, kalo menurut orang lain kan belum tentu.
“Ah, gantengnya aku”, gumannya pada diri sendiri sambil sesekali
memperagakan gaya binaraga yang sedang pamer otot. Ketika masih sibuk mencoba gaya dan ekspresi yang aneh-aneh, tiba-tiba Mama
sudah berdiri dipintu kamarnya.
“Eh Mama, bikin kaget saja”. Mama tersenyum simpul.
“Kamu jadi pergi?”, tanya Mama. Alex mengangguk mantap. Mama diam sejenak,
kemudian melangkah masuk kedalam kamar dan menghampiri tempat tidur dibelakang
Alex. Mama kemudian meraba kening Ari yang sedang terbaring lemah. Seluruh
tubuhnya terbungkus selimut dan butir-butir keringat memenuhi selutuh permukaan
wajahnya.
Ari adalah adik satu-satunya Alex. Mereka tinggal bertiga dirumah itu. Papa
Alex pergi mencari kerja keluar kota sejak tiga tahun yang lalu ketika Alex
masih berusia sembilan tahun dan sampai sekarang tidak ada kabar beritanya.
“Kamu masih pusing?”, tanya Mama dengan lembut. Ari tidak menjawab, dia hanya menggeleng dengan pelan. Dia bahkan tidak
membuka matanya. Alex
memandang Mama dan Ari lewat bayangan cermin didepannya. Ari sudah sakit selama
tiga hari. Badannya panas dan lemah.
Kemarin sore sudah dibawa ke Puskesmas, tetapi sakitnya belum sembuh. Mau
dibawa ke Rumah Sakit, Mama belum punya uang.
“Alex…”. Mama memanggil dengan lembut. “Mama bisa minta tolong nggak?”.
Alex diam saja. Dia sudah bisa menebak kira-kira Mama mau minta tolong apa.
Alex berbalik dan melangkah menghampiri tempat tidur dan duduk dengan muka
cemberut.
“Mama mau minta tolong Alex menjaga Ari ya?”. Mama menganggguk ragu-ragu.
“Memangnya Mama mau kemana?”.
“Mama mau kerumah nenek sebentar”.
“Mau ngapain kerumah nenek?”.
Mama diam sejenak, kemudian menatap Ari yang masih tergolek lemah.
“Ari sudah tiga hari sakit. Sepertinya Mama harus bawa dia ke Rumah Sakit.
Mama mau pinjam uang dari nenek untuk biaya Rumah Sakit nanti”.
“Ke rumah nenek lama nggak?”
“Kira-kira dua jam”.
“Hah, dua jam? Duhhh Mama, Alex kan udah bilang kalau hari ini Alex mau
pergi dengan teman-teman. Sebentar lagi teman-teman Alex akan datang
menjemput”.
“Alex, kamu kan tau rumah nenek jauh”.
Alex memberenggut marah. Tiba-tiba dia merasa kesal dengan Ari. Gara-gara
Ari acara dengan teman-temannya jadi berantakan.
“Kenapa sih sakitnya sekarang, kenapa tidak minggu depan saja”, omel Alex,
tetapi dalam hati saja.
“Kapan-kapan kan masih bisa pergi dengan teman-teman”, bujuk Mama sambil
membelai rambut Alex.
“Alex maunya sekarang, Ma”, tukas Alex. Matanya mulai berkaca-kaca, dia
yakin Mama akan memaksa dia untuk tinggal dirumah menjaga Ari.
“Lagian, kenapa sih Ari harus dijaga. Dia khan sudah besar, sudah bisa
ditinggal sendiri dirumah”.
“Alex, Ari kan sedang sakit. Harus ada yang menjaga dia, siapa tau nanti
dia butuh minum atau mau makan. Dia masih sangat lemah untuk berjalan dari
tempat tidur”.
Lagi-lagi Alex diam. Bibirnya maju tiga senti, menandakan kalau dia kesal
sekali.
Mama sudah sepuluh menit yang lalu berangkat. Alex yang masih memakai baju
kerennya duduk dimeja belajarnya dengan wajah kesal, dia sebelahnya Ari
tertidur dengan gelisah. Sesekali dia mengigau pelan. Terdengar
suara ramai didepan itu rumah. Itu sepertinya teman-teman Alex. Dengan sigap
Alex berlari kedepan dan menjumpai teman-temannya.
“Kita langsung berangkat sekarang?”, tanya salah satu dari tiga temannya
ketika melihat penampilan Alex yang rapi. Alex terlihat bingung.
“Kok bingung? Kapan lagi kita bisa main Playstation gratis dirumah Dika, mumpung
Mama’nya yang galak itu sedang keluar negeri”, ujar teman yang satu lagi.
Alex masih belum bicara.
“Kamu jadi ikut kan?”, tanya temannya lagi.
“Sebentar”, jawab Alex pendek, kemudian masuk lagi kedalam rumah. Alex meletakkan segelas air diatas meja belajar disamping tempat tidur.
“Nanti kalau kamu haus, airnya sudah aku siapkan diatas meja belajar ya”,
bisik Alex pelan ditelinga Ari. Ari diam
saja, hanya suara desah nafasnya yang berat yang terdengar. Tanpa menunggu
lama-lama lagi, Alex langsung melesat menjumpai teman-temannya didepan.
“Ayo kita berangkat”, ajaknya dengan semangat.
Ari membuka matanya pelan. Suasana disekeliling sangat sunyi, Alex sudah
pergi dengan teman-temannya lima menit yang lalu. Kepalanya masih terasa sangat
pusing. Seandainya kepalanya bisa dicopot maka Ari akan mencopot kepalanya
sejenak, mungkin itu bisa mengurangi rasa pusingnya untuk beberapa saat.
Dia merasa haus. Ari mencoba mengangkat kepalanya, terasa sangat berat dan
membuat pandangannya berkunang-kunang. Ari meletakkan kepalanya kembali keatas
bantal. Dia menoleh keatas meja disebelah tempat tidur, dia melihat segelas
air. Ari kemudian mengangkat tangan kanannya, mencoba meraih gelas itu. Ketika tangannya sudah berhasil memegang gelas itu, pelan-pelan dia
menggesernya kepinggir meja didekat kepalanya.
Gerakan tangan Ari yang kaku membuat posisi gelas itu limbung dan akhirnya
jatuh terguling kemudian terjun bebas keatas lantai. Prang!!!!! Gelas berisi air itu pecah diatas lantai. Tiba-tiba Ari merasa
sangat mual dan akan muntah. Dengan gerakan lemah dia akhirnya mencoba bangkit
dari tempat tidur, dia harus kekamar mandi. Setelah berhasil duduk diatas
tempat tidur, Ari memandangi pecahan gelas yang berserakan dilantai dengan
ngeri.
Perasaan mual itu semakin terasa mendesak dan Ari tidak mau muntah didalam kamar.
Dia menurunkan kakinya dilantai yang dingin, mencari celah yang tidak ada
pecahan kaca dan genangan airnya.
Saat dia mencoba berdiri, ternyata tubuhnya masih sangat lemah. Kedua
kakinya tidak cukup kuat menahan tubuhnya. Tiba-tiba dia merasa sangat pusing
yang semakin menjadi-jadi dan pandangannya menjadi sangat gelap. Lantai tempat
kakainya berpijak sepertinya goyang. Tanpa bisa ditahan lagi, tubuh Ari
terjatuh kelantai yang dipenuhi pecahan kaca. Belum sempat tubuh Ari menyentuh
lantai, sesosok tubuh berlari melesat dari pintu kamar dan menangkap tubuh Ari.
Hari sudah malam ketika Mama tiba dirumah. Dengan tergesa-gesa Mama
langsung menuju kamar Alex dan Ari. Senyumnya terkembang ketika melihat kedalam kamar melalui pintu kamar.
Diatas tempat tidur terlihat Ari yang sedang membalas senyuman Mama.
“Sssttt…”, Ari menempelkan jari telunjuknya dibibirnya sambil melirik
sesosok tubuh yang sedang tertidur pulas sambil memeluk Ari. Mama kemudian berjalan mendekati tempat tidur, kemudian dia membelai rambut
Ari dengan lembut.
“Besok pagi kita ke Rumah Sakit”, ujar Mama sambil mencium kening Ari.
Kemudian dia beralih ke sosok yang tertidur diselah Ari dan mencium keningnya juga.
“Terima kasih ya udah membantu Mama menjaga Ari”. Alex membuka matanya pelan, kemudian tersenyum.
“Lapar, Ma”, ujarnya sambil mengelus perutnya. Mama mengangkat kantung plastik putih ditangan kanannya tinggi-tinggi dan
langsung tercium aroma sedap. Bahkan Ari yang selama tiga hari ini tidak selera
makan karena sakit terlihat ingin segera menyantap makanan yang dibawa Mama.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Lima menit sesudah Alex dan teman-temannya meninggalkan rumah, ditengah
perjalanan tiba-tiba Alex merasa telah menjadi kakak yang sangat jahat karena
telah memilih pergi dengan teman-teman untuk bersenang-senang daripada menjaga
adiknya yang sedang sakit.
“Teman-teman, aku tidak jadi ikut. Maaf ya”, kata Alex yang langsung
berbalik dan berlari pulang kerumah. Teman-temannya saling berpandangan
bingung, kemudian melanjutkan perjalanan.





