Pages

Subscribe:

Labels

Monday, 24 February 2014

Malaikat Tak Bersayap



Catatan : Cerita ini sudah permah dimuat di Kompas Minggu, 3 Mei 2009 dengan judul Harta Terindah

Sudah hampir lima belas menit Alex mematut-matut dirinya dikaca. Dengan setelan celana blue jeans dan kemeja kotak-kotak, dia merasa bahwa saat itu dia adalah anak laki-laki paling cakep sejagad raya. Menurut dia sih, kalo menurut orang lain kan belum tentu.

“Ah, gantengnya aku”, gumannya pada diri sendiri sambil sesekali memperagakan gaya binaraga yang sedang pamer otot. Ketika masih sibuk mencoba gaya dan ekspresi yang aneh-aneh, tiba-tiba Mama sudah berdiri dipintu kamarnya.

“Eh Mama, bikin kaget saja”. Mama tersenyum simpul.
“Kamu jadi pergi?”, tanya Mama. Alex mengangguk mantap. Mama diam sejenak, kemudian melangkah masuk kedalam kamar dan menghampiri tempat tidur dibelakang Alex. Mama kemudian meraba kening Ari yang sedang terbaring lemah. Seluruh tubuhnya terbungkus selimut dan butir-butir keringat memenuhi selutuh permukaan wajahnya. 

Ari adalah adik satu-satunya Alex. Mereka tinggal bertiga dirumah itu. Papa Alex pergi mencari kerja keluar kota sejak tiga tahun yang lalu ketika Alex masih berusia sembilan tahun dan sampai sekarang tidak ada kabar beritanya.

“Kamu masih pusing?”, tanya Mama dengan lembut. Ari tidak menjawab, dia hanya menggeleng dengan pelan. Dia bahkan tidak membuka matanya. Alex memandang Mama dan Ari lewat bayangan cermin didepannya. Ari sudah sakit selama tiga hari. Badannya panas dan lemah.

Kemarin sore sudah dibawa ke Puskesmas, tetapi sakitnya belum sembuh. Mau dibawa ke Rumah Sakit, Mama belum punya uang.
“Alex…”. Mama memanggil dengan lembut. “Mama bisa minta tolong nggak?”.
Alex diam saja. Dia sudah bisa menebak kira-kira Mama mau minta tolong apa. Alex berbalik dan melangkah menghampiri tempat tidur dan duduk dengan muka cemberut.

“Mama mau minta tolong Alex menjaga Ari ya?”. Mama menganggguk ragu-ragu.
“Memangnya Mama mau kemana?”.
“Mama mau kerumah nenek sebentar”.
“Mau ngapain kerumah nenek?”.
Mama diam sejenak, kemudian menatap Ari yang masih tergolek lemah.
“Ari sudah tiga hari sakit. Sepertinya Mama harus bawa dia ke Rumah Sakit. Mama mau pinjam uang dari nenek untuk biaya Rumah Sakit nanti”.
“Ke rumah nenek lama nggak?”
“Kira-kira dua jam”.
“Hah, dua jam? Duhhh Mama, Alex kan udah bilang kalau hari ini Alex mau pergi dengan teman-teman. Sebentar lagi teman-teman Alex akan datang menjemput”.
“Alex, kamu kan tau rumah nenek jauh”.
Alex memberenggut marah. Tiba-tiba dia merasa kesal dengan Ari. Gara-gara Ari acara dengan teman-temannya jadi berantakan.

“Kenapa sih sakitnya sekarang, kenapa tidak minggu depan saja”, omel Alex, tetapi dalam hati saja.
“Kapan-kapan kan masih bisa pergi dengan teman-teman”, bujuk Mama sambil membelai rambut Alex.
“Alex maunya sekarang, Ma”, tukas Alex. Matanya mulai berkaca-kaca, dia yakin Mama akan memaksa dia untuk tinggal dirumah menjaga Ari.
“Lagian, kenapa sih Ari harus dijaga. Dia khan sudah besar, sudah bisa ditinggal sendiri dirumah”.
“Alex, Ari kan sedang sakit. Harus ada yang menjaga dia, siapa tau nanti dia butuh minum atau mau makan. Dia masih sangat lemah untuk berjalan dari tempat tidur”.
Lagi-lagi Alex diam. Bibirnya maju tiga senti, menandakan kalau dia kesal sekali.

Mama sudah sepuluh menit yang lalu berangkat. Alex yang masih memakai baju kerennya duduk dimeja belajarnya dengan wajah kesal, dia sebelahnya Ari tertidur dengan gelisah. Sesekali dia mengigau pelan.  Terdengar suara ramai didepan itu rumah. Itu sepertinya teman-teman Alex. Dengan sigap Alex berlari kedepan dan menjumpai teman-temannya.

“Kita langsung berangkat sekarang?”, tanya salah satu dari tiga temannya ketika melihat penampilan Alex yang rapi. Alex terlihat bingung.
“Kok bingung? Kapan lagi kita bisa main Playstation gratis dirumah Dika, mumpung Mama’nya yang galak itu sedang keluar negeri”, ujar teman yang satu lagi.
Alex masih belum bicara.
“Kamu jadi ikut kan?”, tanya temannya lagi.
“Sebentar”, jawab Alex pendek, kemudian masuk lagi kedalam rumah. Alex meletakkan segelas air diatas meja belajar disamping tempat tidur.
“Nanti kalau kamu haus, airnya sudah aku siapkan diatas meja belajar ya”, bisik Alex pelan ditelinga Ari.  Ari diam saja, hanya suara desah nafasnya yang berat yang terdengar. Tanpa menunggu lama-lama lagi, Alex langsung melesat menjumpai teman-temannya didepan.
“Ayo kita berangkat”, ajaknya dengan semangat.

Ari membuka matanya pelan. Suasana disekeliling sangat sunyi, Alex sudah pergi dengan teman-temannya lima menit yang lalu. Kepalanya masih terasa sangat pusing. Seandainya kepalanya bisa dicopot maka Ari akan mencopot kepalanya sejenak, mungkin itu bisa mengurangi rasa pusingnya untuk beberapa saat.

Dia merasa haus. Ari mencoba mengangkat kepalanya, terasa sangat berat dan membuat pandangannya berkunang-kunang. Ari meletakkan kepalanya kembali keatas bantal. Dia menoleh keatas meja disebelah tempat tidur, dia melihat segelas air. Ari kemudian mengangkat tangan kanannya, mencoba meraih gelas itu. Ketika tangannya sudah berhasil memegang gelas itu, pelan-pelan dia menggesernya kepinggir meja didekat kepalanya.

Gerakan tangan Ari yang kaku membuat posisi gelas itu limbung dan akhirnya jatuh terguling kemudian terjun bebas keatas lantai. Prang!!!!! Gelas berisi air itu pecah diatas lantai. Tiba-tiba Ari merasa sangat mual dan akan muntah. Dengan gerakan lemah dia akhirnya mencoba bangkit dari tempat tidur, dia harus kekamar mandi. Setelah berhasil duduk diatas tempat tidur, Ari memandangi pecahan gelas yang berserakan dilantai dengan ngeri.
Perasaan mual itu semakin terasa mendesak dan Ari tidak mau muntah didalam kamar. Dia menurunkan kakinya dilantai yang dingin, mencari celah yang tidak ada pecahan kaca dan genangan airnya.

Saat dia mencoba berdiri, ternyata tubuhnya masih sangat lemah. Kedua kakinya tidak cukup kuat menahan tubuhnya. Tiba-tiba dia merasa sangat pusing yang semakin menjadi-jadi dan pandangannya menjadi sangat gelap. Lantai tempat kakainya berpijak sepertinya goyang. Tanpa bisa ditahan lagi, tubuh Ari terjatuh kelantai yang dipenuhi pecahan kaca. Belum sempat tubuh Ari menyentuh lantai, sesosok tubuh berlari melesat dari pintu kamar dan menangkap tubuh Ari.

Hari sudah malam ketika Mama tiba dirumah. Dengan tergesa-gesa Mama langsung menuju kamar Alex dan Ari. Senyumnya terkembang ketika melihat kedalam kamar melalui pintu kamar. Diatas tempat tidur terlihat Ari yang sedang membalas senyuman Mama.

“Sssttt…”, Ari menempelkan jari telunjuknya dibibirnya sambil melirik sesosok tubuh yang sedang tertidur pulas sambil memeluk Ari. Mama kemudian berjalan mendekati tempat tidur, kemudian dia membelai rambut Ari dengan lembut.
“Besok pagi kita ke Rumah Sakit”, ujar Mama sambil mencium kening Ari. Kemudian dia beralih ke sosok yang tertidur diselah Ari dan mencium keningnya juga.

“Terima kasih ya udah membantu Mama menjaga Ari”. Alex membuka matanya pelan, kemudian tersenyum.
“Lapar, Ma”, ujarnya sambil mengelus perutnya. Mama mengangkat kantung plastik putih ditangan kanannya tinggi-tinggi dan langsung tercium aroma sedap. Bahkan Ari yang selama tiga hari ini tidak selera makan karena sakit terlihat ingin segera menyantap makanan yang dibawa Mama.

-------------------------------------------------------------------------------------------

Lima menit sesudah Alex dan teman-temannya meninggalkan rumah, ditengah perjalanan tiba-tiba Alex merasa telah menjadi kakak yang sangat jahat karena telah memilih pergi dengan teman-teman untuk bersenang-senang daripada menjaga adiknya yang sedang sakit.

“Teman-teman, aku tidak jadi ikut. Maaf ya”, kata Alex yang langsung berbalik dan berlari pulang kerumah. Teman-temannya saling berpandangan bingung, kemudian melanjutkan perjalanan.