Sepasang remaja laki-laki dan perempuan berseragam putih abu-abu berjalan sambil berpegangan
tangan di pinggir jalan raya. Tampaknya mereka baru pulang sekolah. Sepanjang jalan,
mereka menyanyikan lagu Tua Tua Keladi dengan sekeras-kerasnya hingga
memancing perhatian orang yang lalu lalang.
“Engkau lupakan anak cucumu.
Hanya demi kenikmatan. Harga dirimu, bahkan terbuang. Yang ada hanya rayuan.
Mengaku bujangan. Kepada setiap wanita.
Ternyata cucunya segudang”.
Orang-orang yang melihat kelakuan kedua remaja belia itu cuma
tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba si anak perempuan berhenti bernyanyi, membuat anak laki-laki
itu menoleh kepadanya dengan tatapan bingung.
"Kamu kenapa? Kok tiba-tiba berhenti bernyanyi? Mau ganti lagu?”.
Gadis berambut
kuncir kuda itu seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi ragu-ragu.
"Kamu mau kita menyanyikan lagu Bayang Bayang Ilusi?”. Anak
lelaki di sebelahnya mulai bernyanyi, berharap si gadis kecil akan mengikutinya ikut
bernyanyi.
“Haruskan kuhidup dalam
angan-angan. Merengkuh ribuan impian. Haruskan kulari dan terus
berlari….”
Tetapi gadis kecil itu masih diam, kemudian dengan suara pelan dia berkata.
“Carlie, aku haus”.
Carlie menoleh
cepat. “Kamu haus?”. Gadis itu mengangguk pelan. Anak laki-laki
itu kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu lembar uang
seratusan.
"Wah, uang kita tidak cukup beli sirup”. Carlie memandangi
beberapa keping recehan di telapak tangannya. Si gadis itu mulai
sedikit cemberut.
“Bagaimana kalo beli air es saja?”. Kelly tersenyum penuh
pengertian.
“Air es juga tidak apa-apa”.
“OK, kamu tunggu disini ya. Aku mau nyebrang dulu. Di sana tuh yang jual air es-nya’, ujar anak laki-laki itu sambil menunjuk ke sebuah warung di seberang jalan.
Gadis itu duduk dibawah pohon memperhatikan anak laki-laki itu menoleh
kekiri dan kekanan untuk menunggu waktu yang tepat untuk menyeberang. Tubuh
kecilnya yang tegap berlari menyeberang jalan raya dua jalur tersebut. Dari
seberang sana dia sudah mengacungkan dua bungkus air es sambil tersenyum ke arahnya. Kelly melonjak-lonjak senang.
GLEK! Tiba-tiba lonjakan dan senyum girangnya sirna. Di ujung sana dia melihat orang gila berjalan dikejauhan menuju kearahnya.
Jantungnya berdebar kencang. Dia paling takut dengan orang
gila. Karena panik dan takut berdekatan dengan orang gila itu, Kelly memutuskan
untuk menyeberang menuju Carlie di seberang.
“Kelly, jangan menyeberang”, teriak Carlie dari ujung sana melihat
gelagat Kelly yang hendak menyeberang jalan dengan panik.
“Nggak mau. Ada orang gila. Aku takut!”
“Kelly, jangan! Berbahaya”, teriak Carlie dengan nada khawatir. Tetapi
gadis itu tidak peduli karena terlanjur ketakutan. Begitu dia merasa aman untuk
menyeberang, dia berlari memotong jalan raya dua lajur tersebut.
Dia sudah tinggal dua langkah lagi menginjak trotoar di seberang jalan tempat anak laki-laki itu berdiri, ketika
tiba-tiba dia menoleh kearah kanan, bagian depan sebuah truk yang tampak sangat
besar melaju kencang ke arahnya. Tidak ada waktu
lagi menghindar, truk itu terlalu cepat dan terlalu dekat. Kelly menjerit
sambil menutup matanya. Sebuah dorongan keras menghantam tubuhnya hingga
terpental kebelakang, terlempar kembali ke tengah jalan
raya.
Tubuhnya terguling tepat di depan sebuah sedan yang direm
mendadak. Bunyi decitan ban mobil tersebut sangat memekakkan telinga. Jarak roda depan mobil
tersebut dengan tubuhnya hanya tinggal sekitar beberapa sentimeter. Kelly merasa sudah
mati, tetapi kenapa tubuhnya masih terasa sakit dan punggungnya masih bisa
merasakan keras dan panasnya aspal. Dia membuka matanya. Langit
terlihat mendung dan mulai mencurahkan titik hujan gerimis.
“Aku masih di bumi, belum terangkat ke surga atau neraka”, batinnya
lega. Seorang ibu membantu Kelly berdiri dan membawanya ke tepi jalan raya. Ada
keramaian kecil di sebelah sana dimana orang-orang berkerumun. Tetapi dia tidak peduli, dia masih
shock dan masih tidak percaya dia
masih hidup. Dia disuruh duduk dan menenangkan diri di sebuah
warung makan. Seorang bapak petugas kebersihan bercerita kepada seorang
polisi yang baru saja tiba ditempat kejadian itu.
“Anak perempuan ini tadi menyeberang, tetapi ada truk yang ngebut dan akan
menabrak dia. Terus ada anak laki-laki mencoba menyelamatkannya dengan cara
mendorong anak perempuan ini kembali ke tengah jalan dan membiarkan tubuhnya
sendiri yang ditabrak truk”. Kelly tersentak mendengar cerita bapak
petugas kebersihan yang berdiri disampingnya. Anak laki-laki? Mobil truk?
Kesadaran Kelly itu langsung pulih. Dia langsung bangkit berdiri
dan berlari keluar warung. Dia menuju kerumunan orang-orang
dipinggir jalan dan menyeruak ke tengah-tengah dan mendapati
sesosok tubuh berseragam
SMA yang sangat dia kenal tergeletak tak bergerak dan tak
bernafas. Ada gumpalan darah mengalir dari hidung, sudut bibir dan telinganya.
Wajahnya pucat pasi namun ada senyum samar digaris bibirnya, tetapi rona
diwajahnya sudah redup, tidak ada kehidupan lagi. Kelly menjatuhkan
dirinya bersimpuh di sisi tubuh yang tergeletak itu. Butir-butir air hujan mulai membasahi wajah
anak laki-laki itu, membasuh darah dari wajahnya yang dingin dan membasahi
trotoar dengan aliran kecil berwarna merah.
Ada yang terasa akan meledak di dada Kelly. Ada rasa
kehilangan yang tidak mungkin akan tergantikan. Ada kesedihan yang mungkin
tidak akan pernah terlupakan. Ada sesuatu yang telah musnah dan tidak tau
kemana lagi harus mencari penggantinya. Kelly hanya sanggup menangis
terisak-isak sambil meletakkan kepala anak laki-laki itu di pangkuannya seiring dengan suara sirene mobil ambulans yang terdengar mulai
mendekat.
“Carlie!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”. Gadis kecil itu menjerit sekuat tenaganya
sambil menatap langit hitam penuh dendam, seakan menyalahkan curah hujan yang
kini membasahi seluruh tubuhnya dan wajah yang terkulai di pangkuannya.





